Jambore Keris kebudayaan setengah sadar

Dari seminar akademis sampai live demo empu, Jambore Keris di Keraton Surakarta mencoba menyelamatkan warisan budaya.

Keris dan kebudayaan setengah sadar. © Maulana Surya/Antara
Pengunjung mengamati deretan keris pusaka yang dijual dalam Jambore Keris di Keraton Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (24/6/2025). © Maulana Surya/Antara

Pekan ini, kita disuguhi acara megah bernama Jambore Keris di Keraton Surakarta. Acara ini, katanya, untuk merawat, mempopulerkan, dan mengenalkan keris sebagai warisan budaya Nusantara. Tapi kalau dilihat dari audiens yang hadir, sepertinya yang mengenal keris makin sedikit, sementara yang sibuk selfie di depan stan pameran makin banyak.

Acara berlangsung dari 23 sampai 26 Juni 2025, penuh dengan kegiatan yang (secara teknis) berbobot: seminar akademik, pameran tosan aji, kontes karya cipta keris, sampai demo tempa keris langsung oleh empu legendaris. Tapi tetap saja muncul pertanyaan klasik: kenapa generasi muda lebih paham skin katana di game daripada fungsi pamor keris Mpu Gandring?

Live demo tempa keris oleh Empu Thoufiq Badjra Lawu menjadi magnet utama. Orang-orang berkerumun, sebagian terkagum, sebagian lainnya mungkin mengira sedang menonton tutorial blacksmith di TikTok versi offline.

Salah satu acara pamungkas Jambore Keris adalah seminar bertema “Perkembangan Keris dari Sudut Pandang Akademisi.” Temanya ciamik, narasumbernya dosen dari ISI Surakarta. Tapi seperti seminar-seminar kebudayaan lainnya, isinya akan terhenti di ruang diskusi dan tidak pernah bocor sampai ke dalam kurikulum nasional.

Anak-anak sekolah diajarkan cara menjawab soal pilihan ganda sejarah, tapi tak pernah tahu bagaimana keris dibuat, siapa empunya, atau apa arti dari pamor "Buntel Mayit". Bahkan guru sejarah pun lebih akrab dengan PowerPoint ketimbang pamor keris.

Pameran tosan aji di Jambore Keris tak hanya menampilkan koleksi lawas, tapi juga kreasi baru alias keris yasan enggal. Tentu ini menarik—kalau kita memang masih menghargai seni ukir logam lebih dari seni edit video pendek.

Namun sayangnya, mayoritas pengunjung datang bukan karena paham filosofi keris, tapi karena ingin konten Instagram yang lebih ethnic. Tidak ada yang salah memang, tapi ketika budaya hanya jadi latar belakang estetik demi engagement, maka posisinya tak ubahnya wallpaper Zoom.

Keris itu tak sekadar senjata atau perhiasan, tapi lambang spiritualitas, filsafat, dan sejarah peradaban. Tapi di tangan generasi yang menganggap "pamor" adalah singkatan dari "pamer motor", nilai-nilai itu cepat menguap seperti embun di atas bilah.

Menariknya, acara ini digelar di Keraton Surakarta—sebuah institusi budaya yang hidup segan, mati dilarang, dan setiap tahun tampil dengan dualisme politik internal. Disambut oleh KGPH Hangabehi dan GKR Wandansari, kita semua diajak melihat seolah-olah keraton sedang gagah-gagahnya.

Padahal, sudah jadi rahasia umum kalau urusan keraton itu lebih banyak drama dalam daripada prestasi luar. Keris mungkin disakralkan, tapi perselisihan internal seringkali lebih tajam dari warangka keris itu sendiri. Dalam konteks ini, Jambore Keris bisa jadi semacam PR stunt untuk mengalihkan sorotan dari perebutan legitimasi budaya menjadi selebrasi kosong belaka.

Surojo, pengamat budaya yang cukup waras di tengah pesta kebudayaan ini, menyatakan bahwa jambore ini layak diapresiasi karena membahas keris dari sudut ilmiah, bukan mistik. Bagus. Karena terlalu lama keris direduksi jadi benda angker yang harus diberi bunga melati dan air kembang tujuh rupa.

Tapi ironisnya, generasi muda lebih tahu horor Jurnal Risa daripada sejarah keris Majapahit. Ketika budaya diwariskan tapi tidak dipelajari, maka pewarisnya tak lebih dari penonton pasif yang mengira semua bisa dipahami lewat caption singkat.

Puncak acara akan ditutup dengan kehadiran Menteri Kebudayaan, penyerahan hadiah lomba cipta keris, dan pengumuman kontes tosan aji. Setelah itu, kita kembali ke rutinitas: empu kembali ke dapur tempa, panitia kembali ke file Excel, dan publik kembali ke tren video parodi.

Kita bisa membanggakan jambore ini di laporan tahunan kementerian. Tapi apakah setelah itu keris benar-benar hidup di tengah masyarakat, atau hanya jadi objek tontonan dalam bingkai kaca?

Keris bukanlah produk viral yang cukup ditampilkan dalam festival tahunan. Ia adalah bagian dari sistem nilai, spiritualitas, dan sejarah panjang. Tapi kita memperlakukannya seperti koleksi pameran, dipoles setahun sekali, lalu dibungkus kembali dengan plastik bening dan disimpan di lemari museum.

Jika ingin keris tetap hidup, maka kebijakan harus lebih dari sekadar jambore. Harus ada pendidikan budaya yang konsisten, pengakuan profesi empu sebagai warisan hidup, dan integrasi pengetahuan keris dalam sistem pendidikan formal.

Jambore ini, sebagaimana banyak acara kebudayaan lain di negeri ini, menunjukkan satu hal: kita bangga pada simbol, tapi tak tahu cara menjaganya. Kita lebih sibuk menjadikan keris sebagai dekorasi protokoler daripada menghidupkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.

Dan selama budaya hanya jadi konten, bukan kesadaran; selama empu hanya jadi performer, bukan guru; selama keris hanya jadi objek nostalgia, bukan penguat identitas—maka keris akan tetap diasah, tapi tak pernah benar-benar tajam untuk kehidupan masa kini.

Lainnya

Tentang

Novanka Laras
Laras di sini menulis seni dan budaya.

Posting Komentar