Omon-omon pemberantasan korupsi

Presiden Prabowo harus buktikan komitmen pemberantasan korupsi dengan kebijakan nyata, bukan hanya omon-omon.

Omon-omon pemberantasan korupsi. © Muhammad Adimaja/Antara
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sambutan saat peletakan batu pertama proyek Ekosistem Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi di Karawang, Jawa Barat, Minggu (29/6/2025). © Muhammad Adimaja/Antara

Presiden Prabowo harus buktikan komitmen pemberantasan korupsi yang selama ini hanya omon-omon lewat pidato penuh semangat dan retorika nasionalis. Dari kampanye hingga duduk di kursi kekuasaan, suara nyaring tentang “memiskinkan koruptor” dan “perang melawan kebocoran anggaran” terus menggema di udara, namun tak pernah benar-benar mendarat di meja kebijakan. Sayangnya, untuk menghentikan korupsi tidak cukup dengan orasi omon-omon. Apalagi jika koruptornya duduk di barisan tamu undangan.

Pidato memang bisa membuat warga negara terharu, tapi hukum hanya takut pada bukti, bukan air mata atau tepuk tangan. Komitmen yang seharusnya berbentuk revisi undang-undang, reformasi lembaga penegak hukum, hingga pengesahan regulasi strategis seperti RUU Perampasan Aset dan pembatasan transaksi uang tunai, justru tampak seperti bagian dari cerita dongeng yang selalu diulang tapi tak pernah selesai.

Presiden Prabowo seolah tak pernah lelah mengulang pidato antikorupsi di berbagai kesempatan. Dari proyek energi hingga peringatan Hari Buruh, dari baliho hingga bali, retorika tentang manajemen bersih dan efisien selalu hadir. Tapi, seperti kata pepatah, semakin banyak omon-omon, semakin sedikit bekerja. Begitulah, pemberantasan korupsi tampaknya telah dipatenkan sebagai naskah pidato tetap, bukan agenda pemerintahan.

Pidato presiden memang penting. Tapi pidato saja tidak membuat orang takut korupsi karena koruptor di negeri ini bukan hanya bermental baja, tapi juga berkoneksi platinum.

Bukti nyata lebih dibutuhkan. Terutama dalam bentuk kebijakan riil yang bisa membuat KPK kembali menggigit, bukan hanya menggonggong. Namun hingga kini, revisi UU KPK yang membuat lembaga itu seperti anak buah Presiden sendiri, belum juga disentuh. Ironisnya, institusi yang dulu ditakuti para pejabat kini bahkan bisa diajak rapat koordinasi.

Presiden Prabowo harus buktikan komitmen pemberantasan korupsi lewat reformasi penegakan hukum. Tapi bagaimana caranya, jika institusi penegak hukum malah jadi bagian dari masalah? Di negeri ini, pagar tak hanya dimakan hama—pagar itu sendiri yang makan tanaman.

Sudah bukan rahasia lagi jika aparat penegak hukum dari tingkat bawah hingga atas—bahkan hingga Mahkamah Agung—terlibat kasus korupsi. Tapi alih-alih reformasi struktural, yang ditawarkan hanyalah kenaikan gaji hakim. Seolah-olah korupsi adalah penyakit perut lapar, bukan keserakahan akut.

Resep reformasi hukum sudah ada sejak zaman Presiden Jokowi. Bahkan sempat dibuatkan tim reformasi. Tapi, seperti banyak dokumen strategis di negeri ini, ia hanya menjadi kenangan indah dalam bentuk PDF.

Beberapa gebrakan kejaksaan sempat membuat publik sedikit berharap. Tapi harapan itu cepat pupus ketika mengetahui bahwa kasus-kasus besar hanya disentuh di permukaan. Misalnya, kasus jual beli perkara di Mahkamah Agung yang melibatkan mantan pejabat Zarof Ricar. Uang tunai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas ditemukan di rumahnya, tapi tak satu pun penerima suap lainnya diseret ke pengadilan.

Kasus impor minyak Pertamina 2018–2023 pun begitu. Sembilan tersangka ditangkap, tapi yang lain seolah punya jubah gaib. Korupsi di sektor pertambangan? Diam seribu bahasa.

Penegakan hukum tanpa keteladanan adalah panggung kosong. Yang ditonton cuma bayangan. Apalagi kalau penegakan hukum hanya berlaku pada musuh politik, bukan sahabat koalisi.

Indonesia Corruption Watch bahkan menilai bahwa sejak Oktober 2024 belum ada satu pun langkah konkret dari Presiden Prabowo. Semua hanya sampai di bibir podium. Aspek pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas tetap gelap. Bahkan program-program populer seperti makan bergizi gratis dan Danantara pun penuh kabut pertanyaan soal anggaran.

Presiden Prabowo harus buktikan komitmen pemberantasan korupsi dengan regulasi konkret, bukan sekadar slogan. Tapi hingga hari ini, RUU Perampasan Aset masih tertidur, bahkan tidak pernah bangun meskipun sudah dibangunkan sejak masa Presiden Jokowi.

Padahal, dalam setiap pidatonya, Presiden Prabowo selalu menyebut “memiskinkan koruptor” sebagai misi utama. Tapi bagaimana bisa, jika perangkat hukumnya saja tidak ada? Warga negara bisa saja menulis “niat baik” di atas batu, tapi hukum tidak bisa dijalankan dengan prasangka baik.

Prabowo pernah berkata, seluruh pejabat harus bekerja efisien. Tapi mungkin yang dia maksud adalah efisien dalam mengelak audit, efisien dalam membagikan proyek ke kolega, atau efisien dalam membungkam kritik.

Ia juga mengatakan bahwa korupsi, manipulasi, dan pemborosan anggaran harus dihentikan. Namun tanpa perombakan sistemik di lembaga-lembaga pengawas dan penyusun anggaran, semua itu hanya akan menjadi lelucon tahunan yang disambut dengan tepuk tangan birokrasi.

Di negara dengan korupsi berjamaah, bahkan niat baik bisa didaur ulang jadi proyek mercusuar. Terlebih, jika lembaga-lembaga hukum dan DPR malah menjadi saksi bisu. Bukannya membahas RUU yang penting, mereka malah sibuk menyusun strategi pencitraan pemilu.

Selama ini pemerintah belum menunjukkan niat serius memberantas korupsi. Bahkan, dalam program-program kebijakan strategis, pengawasan anggaran tetap nihil. Transparansi hanya jadi istilah branding.

Dan, lucunya, semua pejabat sepakat bahwa korupsi harus diberantas. Tapi entah mengapa, setiap upaya pemberantasan selalu terhambat. Mungkin karena korupsi adalah “musuh bersama”—selama musuh itu bukan dari lingkaran sendiri.

Presiden Prabowo harus buktikan komitmen pemberantasan korupsi bukan hanya omon-omon karena warga negara sudah bosan mendengar janji, tapi karena waktu habis untuk menyusun kata-kata indah sementara uang negara terus menguap.

Jika pidato bisa menghukum, mungkin separuh koruptor sudah masuk penjara. Tapi karena yang dibutuhkan adalah tindakan, maka saat ini warga negara hanya bisa menunggu: apakah era Prabowo akan menjadi sejarah baru dalam perang antikorupsi, atau sekadar satu bab tambahan dari naskah panjang berjudul Korupsi di Negeri Omon-omon?

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar