Diskon hukuman, sekarang resmi dari pemerintah

PP No 24/2025 bikin pelaku korupsi bisa dapat diskon hukuman asal mau buka suara tentang bosnya.

Diskon hukuman, sekarang resmi dari pemerintah. © Schmidt-z/Getty Images
Jabat tangan. © Schmidt-z/Getty Images

Pemerintah baru di bawah Presiden Prabowo Subianto tampaknya tidak main-main dalam urusan hukum. Serius sekali—sampai-sampai tersangka dan terpidana kejahatan pun kini berpeluang dapat penghargaan. Ya, lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 24 Tahun 2025, para penjahat yang mau buka suara bisa dapat kado hukum berupa remisi, pembebasan bersyarat, bahkan mungkin standing ovation dari penegak hukum.

Ini bukan satire, ini fakta. Prabowo beri penghargaan bagi pelaku kejahatan yang bersedia jadi justice collaborator. Semacam kawan keadilan—sebuah istilah indah untuk menyebut orang yang sebelumnya main kotor, lalu berubah jadi whistleblower karena situasi terjepit.

Dengan logika ini, penjahat bisa menulis surat cinta ke aparat: “Saya memang maling, tapi saya tahu siapa bos saya. Kalau saya cerita, bisa tolong potong masa tahanan saya, ya?”

Kalau dulu diskon hanya ada di e-commerce dan pusat perbelanjaan, sekarang juga tersedia di lembaga pemasyarakatan. Lewat PP No 24/2025, negara resmi membuka peluang bagi pelaku kejahatan—dari yang nyolong sandal negara sampai garong APBN—untuk dapat penghargaan asal mau membantu penegak hukum membongkar kejahatan lebih besar.

“Justice collaborator” ini bukan istilah baru, tapi PP ini menjadikannya lebih konkret, teknis, dan—yang penting—bisa dipakai siapa saja. Termasuk koruptor elite, mafia hukum, dan penjahat berdasi. Asal mereka “kerja sama,” negara siap menyambut.

Ini seperti acara The Voice, tapi untuk maling: “Ceritakan siapa atasanmu, dan kamu dapat golden ticket.”

Kalau kita berpikir positif (dengan sangat keras), ini strategi cerdas. Banyak dalang korupsi susah dijerat karena hanya anak buah yang tertangkap. Si bos selalu aman di balik layar: punya kuasa, akses ke anggaran, dan koneksi ke semua institusi penting.

Makanya, dengan justice collaborator, anak buah bisa dimotivasi untuk buka suara. Daripada dipenjara 15 tahun sendirian, lebih baik seret bos sekalian dan dapat remisi. Dan memang, sejarah sudah membuktikan keberhasilan strategi ini.

Lihat saja kasus Al Capone di AS, atau Muhammad Nazaruddin di Indonesia. Tanpa kerja sama “orang dalam,” para dalang besar hanya akan jadi legenda urban.

Tapi, kalau kita berpikir realistis (dengan mata terbuka), ada risiko besar: apa jadinya jika semua pelaku minta jadi justice collaborator, bukan karena integritas, tapi karena iming-iming keringanan? Lalu siapa yang bisa memastikan mereka bicara jujur? Jangan-jangan mereka jual nama hanya untuk keluar lebih cepat dari penjara dan kembali ke kursi kekuasaan?

Kalau dulu barter dilakukan dengan ayam dan beras, sekarang bisa dengan pengakuan. “Saya sebut nama si A, lalu saya dapat diskon masa tahanan.” Kita bisa membayangkan ruang penyidikan seperti toko retail: semakin banyak informasi yang kamu bawa, semakin besar potongan harganya.

Masalahnya, siapa yang verifikasi informasi itu? Jangan sampai ada justice collaborator palsu: ngomong asal tuduh demi bebas cepat. Di tengah kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum yang makin menipis, PP ini bisa jadi pedang bermata dua—atau lebih tepatnya: silet tanpa pegangan.

Konsep justice collaborator baru bisa jalan kalau penegak hukumnya bersih. Sayangnya, dalam negeri +62 tercinta, kita belum pernah dapat garansi soal itu. Sering kali, penegak hukum kita juga perlu “diluruskan” jalannya.

Makanya, kritik terhadap PP ini muncul dari kekhawatiran: bagaimana kalau konsep ini disalahgunakan? Bagaimana kalau malah muncul “bisnis baru” jual-beli status justice collaborator? Penjahat A setor duit, lalu dipastikan status “kawan keadilan” diberikan. Proses hukum jadi ajang tawar-menawar, bukan lagi jalan mencari kebenaran.

Tanpa kontrol publik dan transparansi, PP ini bisa jadi alat suci untuk membasmi korupsi—atau justru jadi bungkus cantik untuk praktik mafia hukum yang lebih canggih.

Tujuan PP ini sebenarnya baik: membantu penegak hukum menembus tembok kekuasaan dan menyeret dalang-dalang besar ke pengadilan. Tapi kita tahu, sejarah penegakan hukum Indonesia tak pernah berjalan lurus. Kadang, saat satu masalah dibereskan, muncul masalah lain yang lebih busuk.

Tanpa kontrol dari masyarakat, tanpa transparansi, kita berisiko jatuh ke jurang baru. Dari mulut singa ke mulut buaya. Atau kalau kita pakai analogi dapur: lantai disapu bersih, tapi sapunya sendiri penuh kotoran.

Dan jangan lupa, di negeri ini, yang jadi justice collaborator bukan cuma yang bersalah. Kadang orang dijebak, dipaksa, bahkan diiming-imingi untuk “mengaku” dan menyebut nama orang yang belum tentu salah. Demi statistik kinerja penegak hukum.

Bisa jadi, PP ini akan melahirkan fenomena baru: narapidana berprestasi. Mereka yang dipenjara bukan karena menyesal, tapi karena sedang menulis daftar nama yang bisa dijual. Kalau ini terjadi, Lapas akan berubah jadi ruang brainstorming elite politik. Mirip tempat pelatihan koruptor pemula, di mana mereka belajar: bagaimana cara selamat dari hukuman dan tetap punya kekuasaan.

Kita bisa membayangkan wisuda Justice Collaborator Terbaik 2025. Ada panggung, piagam, bahkan kemungkinan revisi vonis. Semua demi “kerja sama.” Sekali lagi, bukan satire. Ini potensi realita jika PP ini dijalankan tanpa pengawasan ketat.

Pada akhirnya, Prabowo beri penghargaan bagi pelaku kejahatan yang mau buka suara adalah langkah gila yang bisa jadi jenius—atau justru malapetaka. Tergantung siapa yang menjalankannya.

Kalau dijalankan oleh penegak hukum jujur, ini palu godam. Tapi kalau dijalankan oleh aparat yang sudah biasa dagang kasus, ini hanya akan jadi dagangan baru dalam etalase panjang mafia hukum Indonesia.

Warga negara? Seperti biasa, kita hanya jadi penonton. Duduk di tribun, nonton teater hukum, sambil berharap satu-dua aktor akhirnya benar-benar tertangkap. Tapi kita tahu, ending-nya sering tak sesuai naskah.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar