Wilmar setor 11,8 triliun: itikad baik atau jurus menghindar?

Wilmar setor 11,8 triliun dalam kasus ekspor minyak sawit 2022 dan menyebutnya sebagai jaminan, bukan pengakuan bersalah.
Oo. © Bayu Pratama S/Antara
Tumpukan uang. © Bayu Pratama S/Antara

Selamat datang di Indonesia, tempat hukum dan logika bisa bersanding seaneh debat tentang nasi goreng versus mi goreng. Kali ini, panggungnya milik Wilmar International, sang raksasa agribisnis, yang dengan manis menyetor 11,8 triliun ke Kejaksaan Agung—tapi jangan salah paham dulu, katanya ini bukan karena bersalah, tapi demi "itikad baik".

Ah, tentu. Karena dalam republik penuh "itikad baik" ini, menyetor belasan triliun rupiah ke aparat hukum bukanlah tindakan mencurigakan, melainkan ekspresi cinta kepada sistem peradilan kita yang bisa ditebak tapi tak bisa dipercaya.

Jadi ceritanya begini. Grup Wilmar, bersama dua kawan seperjuangan korporatnya—Grup Pertama Hijau dan Musim Mas—dituduh bermain kotor dalam pemberian fasilitas ekspor minyak sawit pada 2022. Singkat cerita, mereka dinyatakan lepas oleh hakim Tipikor Jakarta pada 19 Maret 2025. Tapi jaksa tak rela dan melayangkan kasasi ke Mahkamah Agung.

Lalu muncullah kabar mengguncang: Wilmar katanya sudah mengembalikan kerugian negara 11,8 triliun. Masyarakat mulai berpesta. "Akhirnya, keadilan!" teriak netizen dari balik layar. Tapi eits—jangan buka botol soda dulu.

Grup Wilmar buru-buru klarifikasi: "Uang itu bukan pengganti kerugian negara, Pak. Itu jaminan. Kami cuma ingin menunjukkan bahwa kami percaya hukum Indonesia, meskipun kadang hukum itu lebih lincah dari ayam sabung di arena tikus berdasi."

Pernyataan Wilmar adalah salah satu contoh terbaik dari seni berbicara tanpa mengakui dosa. "Itikad baik", "jaminan", "percaya pada sistem hukum"—semua terdengar seperti barisan puisi yang ditulis untuk membuai penegak hukum agar hatinya luluh.

Masalahnya, Kejagung punya tafsir berbeda. Mereka menganggap uang itu sebagai barang bukti, bahkan sebagai pengganti kerugian negara. Artinya, kalau Mahkamah Agung mengamini jaksa, uang itu bisa disita permanen. Tapi kalau Wilmar menang? Ya, mungkin uangnya dikembalikan, mungkin juga tinggal sisa kembalian receh.

Luar biasa, bukan? Negara kita bisa menampung dua narasi hukum yang bertabrakan, tapi tetap disebut proses hukum berjalan dengan "baik".

Wilmar tetap bersikeras: "Kami tidak bersalah. Ekspor kami sah. Kami hanya setor uang supaya semua tenang." Sekali lagi, ini adalah logika khas korporat besar: tidak bersalah, tapi siap setor triliunan.

Coba Anda sebagai warga biasa setor uang ke Kejagung dan bilang, "Ini itikad baik saya saja, Pak, bukan karena saya maling." Kira-kira, disambut dengan senyum atau borgol?

Konon, uang itu disetor oleh lima anak perusahaan Wilmar, yang katanya meraup untung tak sah waktu Indonesia panik karena minyak goreng langka. Jadi di saat emak-emak antre minyak sambil panas-panasan, ada perusahaan yang panen uang dan sekarang pura-pura polos.

Di sisi lain, Kejagung kelihatan mantap. "Tidak ada istilah jaminan dalam perkara korupsi," kata Harli Siregar. Wah, mantap. Tapi jangan lupa, pengadilan Tipikor malah memutus lepas. Kalau uang ini memang hasil korupsi, kenapa dilepas? Kalau bukan hasil korupsi, kenapa disita?

Sementara itu, Pak Jaksa juga menambahkan uang itu dimasukkan dalam memori kasasi. Artinya, uang itu sekarang menjadi bagian dari argumen hukum. Luar biasa. Di negara lain, uang adalah alat tukar. Di Indonesia, uang bisa jadi alat argumen.

Kalau Mahkamah Agung memutuskan Wilmar tak bersalah, uang itu bisa dikembalikan. Kalau MA bilang Wilmar salah, uangnya hilang. Tapi di balik itu, ada pertanyaan yang lebih besar: kenapa sebuah korporasi bisa sedemikian percaya diri bahwa mereka bisa mengatur permainan hukum?

Apakah kita sedang melihat ujian terhadap integritas MA? Ataukah ini hanya bagian dari babak panjang drama Indonesia bertajuk "Kami Tidak Bersalah, Tapi Nih Duit"?

Fenomena ini bukan sekadar soal Wilmar setor 11,8 triliun. Ini tentang bagaimana negara dan korporat bermain peran dalam drama hukum. Masyarakat jadi penonton, media jadi narator, dan hakim jadi juri dalam pertunjukan yang naskahnya sering ditulis di balik layar.

Sejak kapan "itikad baik" jadi pengganti pengakuan hukum? Sejak kapan setor duit triliunan jadi bukti suci bahwa niat kita tulus? Kalau itu benar, maka kita sedang membangun yurisprudensi baru: "Tak bersalah, tapi bisa bayar."

Jangan kaget kalau sebentar lagi, banyak terdakwa lain ikut-ikutan pakai template ini:

"Kami tidak korupsi, kami hanya menyumbang."

Wilmar setor 11,8 triliun adalah potret buram dari relasi antara kuasa uang dan hukum di negeri ini. Dan selama hukum masih bisa diajak kompromi lewat istilah ambigu seperti "itikad baik" atau "jaminan kepercayaan", maka jangan heran jika keadilan terus jadi bahan lelucon di warung kopi.

Dan ya, kalau besok-besok Anda ketahuan mencuri ayam, coba setor 50 juta dulu ke Kejaksaan. Siapa tahu Anda juga bisa lepas... dengan itikad baik.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar