Timur Tengah panas, Indonesia ikut meleleh

Konflik Iran dan Israel bikin harga minyak dunia naik, APBN sesak napas, dan warga siap-siap puasa bensin.
Timur Tengah panas, Indonesia ikut meleleh. © Zain Jaafar/AFP/Getty Images
Rudal Iran. © Zain Jaafar/AFP/Getty Images

Perang Iran-Israel kembali memanas. Bukan sekadar perang dua negara dengan dendam sejarah, tapi juga pertunjukan internasional yang bikin dunia ngos-ngosan. Di tengah bunyi rudal dan dengungan drone, harga minyak dunia langsung loncat lebih tinggi dari cita-cita anak muda yang baru lulus kuliah.

Dan tentu saja, Indonesia—negara yang belum sempat berdaulat energi tapi sudah berani bicara hilirisasi—langsung terkena getahnya. Begitu harga minyak dunia naik, APBN langsung batuk-batuk dan warga diminta "bersabar". Karena itulah, perang Iran-Israel bikin minyak naik, dan akibatnya, warga negara Indonesia makin tercekik, baik secara ekonomi maupun psikologis.

Tak perlu rudal nyasar ke Jakarta. Cukup perang di Selat Hormuz, dan seluruh sistem keuangan Indonesia langsung menggigil. Harga minyak Brent naik 9%, WTI melonjak hampir 10%, dan kita masih pakai asumsi ICP di angka US$82 per barel. Padahal jika konflik terus berlanjut, harga bisa tembus US$100. Selamat datang, revisi APBN mendadak!

Masalahnya, kita ini importir minyak. Jadi kalau harga naik, yang panik duluan bukan diplomat, tapi tukang ojek, pedagang gorengan, dan emak-emak yang harus bayar gas melon. Pemerintah bilang akan siapkan skenario. Tapi skenario yang mana? Skenario "BBM naik tapi jangan demo dulu" atau skenario "subsidi jalan terus, pembangunan nanti dulu"?

Dengan asumsi harga minyak meroket, beban subsidi bisa meledak sampai Rp250 triliun. Anggaran pembangunan bisa kena sunat, proyek molor, dan janji kampanye tinggal kenangan. Tapi jangan khawatir, pemerintah punya solusi klasik: lempar jargon. Ekonomi kuat, ekonomi tangguh, ekonomi tahan banting. Tapi kalau disuruh turun harga beras, semua mendadak amnesia.

Perang Iran-Israel bikin minyak naik, dan bukan cuma APBN yang sesak napas. Seluruh rantai logistik dan distribusi ikut megap-megap. Transportasi naik, harga barang ikut-ikutan, dan industri teriak karena ongkos produksi melonjak. Ujungnya? Inflasi makin jadi hantu. Warga disuruh "berhemat", padahal sudah hidup dalam mode hemat sejak tiga presiden yang lalu.

Inflasi adalah makhluk halus yang suka datang tanpa diundang, tapi kali ini dia membawa rombongan: harga pangan, harga gas, harga transportasi, semua ikut naik. Pemerintah dihadapkan pada pilihan seperti film horor: naikkan harga BBM dan elpiji atau bakar duit untuk subsidi yang tak kunjung tepat sasaran. Dua-duanya menyeramkan, tapi pemerintah tampaknya sedang menimbang pilihan mana yang lebih minim suara demo.

Lucunya, setiap kali inflasi naik, pemerintah langsung tampil di media dengan wajah serius sambil berkata, "Kami sudah siapkan langkah mitigasi." Biasanya, langkah ini berupa rapat-rapat panjang dan wacana-wacana yang sudah basi sebelum disampaikan. Masyarakat? Dibiarkan menebak kapan minyak goreng akan kembali ke harga normal.

Selain sektor energi, perang Iran-Israel juga membuat sektor moneter Indonesia seperti pelari maraton yang lupa sarapan. Investor global buru-buru kabur ke pelukan dolar, sementara rupiah tinggal menatap langit sambil merenungi nasib. Nilai tukar makin tenggelam, dan harga barang impor pun ikut menyebalkan.

Kondisi ini jelas tidak ideal bagi negara yang doyan belanja produk luar negeri. Dari iPhone sampai bahan baku industri, semuanya naik. Dan karena kita belum bisa mandiri dalam banyak hal, masyarakat harus membayar lebih mahal hanya karena dua negara jauh di sana tak bisa akur.

Yang bikin tambah lucu—dan tragis—adalah respons pemerintah yang tetap setia pada kebiasaan lama: menyangkal. "Ekonomi kita kuat," katanya. "Kita tidak terlalu terdampak," katanya lagi. Padahal, warga sudah merasakan dampaknya dari warung ke pasar, dari pom bensin ke dapur.

Inilah saatnya pemerintah berhenti memakai template lama dan mulai bekerja serius. Susun rencana mitigasi yang konkret. Jangan cuma panggil ekonom di TV untuk menenangkan publik, tapi realisasikan kebijakan yang berpihak pada warga negara. Kalau perlu, potong anggaran pencitraan dan alihkan ke sektor pangan.

Sejak harga minyak dunia sensitif, seharusnya pemerintah sudah punya plan A sampai Z. Tapi kenyataannya, kita masih bicara mitigasi di tengah krisis yang sudah separuh matang. Sungguh mengharukan.

Mitigasi bukan soal pidato atau infografis. Ini soal bagaimana Indonesia bisa bertahan di tengah badai perang dan ketidakpastian global. Kurangi ketergantungan pada impor. Dorong industri dalam negeri. Kalau pemerintah benar-benar mau melindungi warganya, sekarang saatnya bekerja, bukan bersilat kata.

Perang Iran-Israel bikin minyak naik, dan itu bukan hanya soal geopolitik. Itu soal nasib warga negara yang makin hari makin susah beli bensin, bayar listrik, dan beli beras. Perang ini bukan cuma konflik dua negara, tapi domino yang mengguncang kantong kita semua.

Kalau pemerintah terus berdiam dan menenangkan diri dengan narasi "kita kuat", maka jangan salahkan warga kalau mereka mulai bertanya: kuat yang mana, Pak? Karena saat ini, yang terasa cuma kuatnya tekanan hidup.

Pemerintah harus segera bertindak. Karena jika tidak, perang di Timur Tengah bisa jadi hanya pembuka dari kerusuhan ekonomi lokal yang lebih dahsyat. Dan saat itu terjadi, tidak ada satupun pidato yang bisa meredakan amarah warga negara yang lapar dan lelah.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar