Ketidaksinkronan para menteri dan orkestrasi ekonomi

Soliditas di Kabinet Merah Putih tinggal legenda, warga malah disuguhi drama rebutan panggung dan beda nada antarpejabat.
Ketidaksinkronan para menteri dan orkestrasi ekonomi. © Aerogondo/iStock
Mikrofon rapat. © Aerogondo/iStock

Di tengah ekonomi yang sedang ngos-ngosan, daya beli yang kempes seperti balon bekas ulang tahun, dan ancaman badai PHK di mana-mana, publik seharusnya bisa sedikit tenang jika tahu para pejabat pemerintah solid dan kompak. Tapi harapan tinggal harapan. Yang tersaji justru adalah ketidaksinkronan para menteri dan orkestrasi ekonomi—simfoni pemerintahan yang terdengar seperti grup marching band sekolah yang lupa bawa partitur.

Ya, ketidaksinkronan para menteri dan orkestrasi ekonomi ini bukan hanya membuat telinga berdenging, tapi juga membuat kepala warga negara makin pusing. Bayangkan, di tengah kecemasan soal pemutusan hubungan kerja massal dan daya beli yang makin lemah, yang muncul bukan solusi terpadu, tapi saling bantah antarpembantu presiden. Bukan simfoni merdu yang kita dengar, melainkan kebisingan dari nada-nada sumbang para menteri yang main sendiri-sendiri.

Contoh paling segar—dan menyebalkan—adalah drama diskon listrik. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan penuh semangat mengumumkan rencana diskon tarif listrik 50% untuk pelanggan rumah tangga kecil. Warga langsung semringah. Akhirnya, ada sedikit kelegaan di tengah tagihan hidup yang makin mencekik.

Tapi apa yang terjadi? Menteri Keuangan Sri Mulyani langsung membatalkannya. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia—yang notabene ngurus listrik—malah angkat tangan dan berkata tidak tahu-menahu. Lah, jadi selama ini mereka ngobrol di mana? Grup WhatsApp menteri ke mana?

Beginilah potret nyata ketidaksinkronan para menteri dan orkestrasi ekonomi. Yang satu bicara, yang satu membatalkan, yang satu lagi malah cuci tangan. Warga? Kembali makan indomie dangan telur dua tambah cabe lima sambil ngelus dada.

Belum selesai cerita listrik, kita disuguhi kisah lain: bubarnya PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex. Perusahaan tekstil kebanggaan nasional tumbang. Tapi alih-alih saling bahu-membahu mencari solusi, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan malah saling lempar alasan.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang bilang, biang keroknya adalah kebijakan impor yang ngawur dari Kementerian Perdagangan. Sementara Menteri Perdagangan Budi Santoso santai saja membantah—menyebut aturan impornya tidak ada sangkut paut dengan pailitnya Sritex. Jadi, siapa yang benar?

Warga tak peduli siapa yang benar. Yang dibutuhkan adalah kerja nyata, bukan sandiwara rebutan mikrofon. Kalau aturan impor memang berbahaya, ya revisi. Kalau tidak, ya duduk bareng bahas solusinya. Tapi jangan jadikan rapat kabinet seperti talk show infotainment.

Dalam sistem pemerintahan yang sehat, antarmenteri itu ibarat instrumen dalam sebuah orkestra: harus main dalam satu partitur. Tapi dalam orkestra Kabinet Merah Putih ini, tiap pemain sibuk dengan not balok masing-masing. Tidak heran jika lagu yang dihasilkan lebih cocok untuk film horor ekonomi.

Apa susahnya koordinasi? Bukankah itu tugas dasar sebagai menteri? Atau jangan-jangan komunikasi antarmenteri sekarang hanya sebatas lambaian tangan saat rapat kabinet, lalu blokir setelahnya? Kalau begitu, sebaiknya cari menteri baru di divisi customer service, yang setidaknya paham cara menjawab pertanyaan dan menyambungkan komunikasi.

Yang paling menyedihkan dari ketidaksinkronan para menteri dan orkestrasi ekonomi ini adalah hilangnya kepercayaan. Investor ragu, publik muak, dan pelaku usaha bingung harus percaya siapa. Pemerintah ingin mengejar pertumbuhan ekonomi 8%, tapi dengan para menteri yang tidak bisa duduk satu meja tanpa saling tuding, jangankan berlari—jalan pun bisa kesandung meja sendiri.

Presiden Prabowo tidak bisa tinggal diam. Para pembantu presiden yang tidak bisa bekerja dalam satu irama layaknya penabuh tambur yang mabuk, perlu ditegur, dipanggil, dan jika tetap ngeyel—diganti. Reshuffle bukan hukuman, tapi penyegaran. Ibarat band, kadang drummer harus diganti kalau sudah tidak tahan beat. Apalagi kalau beat-nya bikin penonton bubar.

Yang paling dirugikan dari kekacauan ini bukanlah para menteri yang duduk di kursi empuk dengan gaji belasan juta dan tunjangan mewah. Tapi warga negara yang harus menunggu kepastian kebijakan yang entah datang dari mana. Para buruh yang menunggu kepastian nasib. Pengusaha mikro yang menunggu keringanan listrik. Pedagang pasar yang berharap tidak diimpor sampai mati.

Kebijakan publik tidak boleh dibuat dengan asal ucap lalu dibantah sendiri. Ini bukan arena stand-up comedy di mana semua bebas melucu. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak.

Kalau memang para menteri tidak bisa diajak selaras, maka Presiden sebagai konduktor orkestra harus mengambil langkah. Apakah partitur yang harus diganti? Apakah pemain yang sudah tidak fokus perlu ditarik ke belakang panggung?

Satu hal yang pasti: warga negara tidak butuh drama tambahan. Hidup sudah berat. Harga bahan pokok naik, PHK mengancam, dan daya beli makin tipis. Jangan tambah beban warga negara dengan menyuguhkan konflik internal kabinet yang seharusnya justru menjadi sumber ketenangan.

Dalam dunia birokrasi, miskomunikasi dan miskoordinasi adalah musuh utama. Tapi di kabinet hari ini, justru dua hal itu yang jadi menu utama. Jika ini terus dibiarkan, maka janji pertumbuhan ekonomi 8% akan tinggal janji. Yang akan tumbuh justru adalah pesimisme, ketidakpercayaan, dan akhirnya apatisme publik.

Karena itu, ketidaksinkronan para menteri dan orkestrasi ekonomi bukan masalah sepele. Ini tanda serius bahwa mesin pemerintahan sedang batuk-batuk dan perlu dibongkar. Dan kalau memang menterinya sudah tak segendang sepenarian, kenapa dipaksa main di panggung yang sama?

Lebih baik ganti pemain daripada memaksa warga negara menikmati simfoni palsu yang tak kunjung selesai.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar