Anwar Ibrahim disambut meriam di Istana Merdeka

Kunjungan resmi PM Anwar disambut dengan dentuman meriam, karpet biru, sesi jabat tangan teatrikal, dan parade menteri penuh gaya.

Anwar Ibrahim disambut meriam di Istana Merdeka. © Hafidz Mubarak A/Antara
Presiden Prabowo Subianto (tengah) berjalan bersama Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim (kanan) saat menginspeksi pasukan dalam upacara kenegaraan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (27/6/2025). © Hafidz Mubarak A/Antara

Suara meriam membahana 21 kali, karpet biru terbentang mewah, pasukan berjajar rapi, dan buku tamu siap diisi. Itulah cara Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyambut kedatangan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Istana Merdeka, Jumat siang. Bukan sekadar sambutan biasa, tapi pertunjukan diplomasi penuh simbolisme—yang cocok ditonton sambil minum teh sore dengan camilan nasionalisme.

Prabowo sambut Anwar Ibrahim dengan meriam, bukan hanya sekadar tajuk berita, tapi babak terbaru dalam diplomasi Indonesia yang semakin mirip parade seni pertunjukan. Keduanya turun dari mobil yang sama, seolah-olah menyampaikan pesan: “Lupakan perbedaan, kita bahkan bisa berbagi sopir.”

PM Anwar tiba di Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma sekitar pukul 13.00 WIB, disambut langsung oleh Presiden Prabowo yang tampak lebih ceria dibanding biasanya—mungkin karena udara Jakarta sedang cerah atau karena diplomasi kali ini bisa viral.

Menteri Luar Negeri Sugiono, Menteri Investasi dan CEO multi-peran Rosan Roeslani, serta Gubernur DKI Pramono Anung ikut menyambut. Sebuah paduan pejabat yang cukup untuk memulai orkestra penyambutan. Tapi tentu saja, klimaksnya belum di sana. Itu baru babak pembuka dari sinetron kenegaraan ini.

Setibanya di Istana Merdeka, Anwar dan Prabowo berjalan beriringan menuju mimbar kehormatan. Lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Negaraku dikumandangkan, menggetarkan langit ibu kota. Tapi tidak cukup hanya dengan lagu—21 kali dentuman meriam pun dilepaskan sebagai tanda penghormatan. Apakah Anwar menghitungnya satu per satu? Tak penting. Yang penting meriamnya keras, penuh semangat.

Karpet biru membentang indah di pelataran istana—warna biru yang tenang, elegan, dan cocok dengan suasana yang katanya serius tapi tetap instagramable. Keduanya berjalan menyusuri karpet tersebut sambil memeriksa pasukan. Tak jelas apakah mereka benar-benar memeriksa atau hanya pura-pura mengangguk penuh wibawa, seperti yang diajarkan dalam protokol penyambutan diplomatik.

Setelah puas dengan dentuman dan karpet, tibalah saatnya sesi jabat tangan akbar. Presiden Prabowo memperkenalkan jajaran menteri Kabinet Merah Putih. Dari Sugiono sang Menlu yang multitugas, hingga Meutya Hafid yang kini menjadi Menteri Komunikasi dan Digital, semua tampak berdiri dengan senyum yang sudah dilatih sehari sebelumnya.

Tak mau kalah, Anwar juga memperkenalkan jajaran menterinya—semua dengan nama panjang, lengkap dengan gelar kebangsawanan yang bisa membuat satu kartu nama jadi selebar A4. Di antara mereka ada Menteri Pelaburan, Menteri Perladangan, hingga Menteri Pendidikan Tinggi yang gelarnya bisa dipakai sebagai sandi Wi-Fi.

Sesi perkenalan ini lebih mirip ajang "siapa punya menteri paling banyak" daripada sekadar kenalan. Tapi begitulah tradisi kenegaraan: di balik senyum, selalu ada kalkulasi geopolitik.

Sesi berikutnya—dan tak kalah sakral—adalah penandatanganan buku tamu. Sebuah tradisi yang tetap lestari di era digital karena tidak semua hal bisa ditandatangani via PDF. Prabowo dan Anwar masing-masing mengisi buku dengan tulisan tangan terbaik mereka—mungkin menulis puisi, mungkin hanya "Terima kasih atas sambutan hangat"—tak ada yang tahu pasti.

Lalu tiba sesi foto. Prabowo mengulurkan tangan, Anwar membalas dengan jabat tangan penuh semangat, dan kamera-kamera berlomba menangkap momen sakral ini. Beberapa jurnalis politik menyebut ini "jabat tangan paling erat sejak ASEAN berdiri."

Setelah jabat tangan, keduanya masuk ke ruang kerja Presiden RI di Istana Merdeka untuk pertemuan empat mata. Sebuah istilah yang mengisyaratkan pembicaraan serius, tetapi ternyata sempat dibuka untuk sesi foto. Karena, sekali lagi, diplomasi tanpa dokumentasi adalah nihil.

Apa yang dibahas di dalam? Warga negara hanya bisa menduga. Apakah soal investasi? Perbatasan? Atau apakah Prabowo meminta tips nasi lemak otentik? Tidak penting isinya, yang penting ekspresi mereka penuh intensitas.

Lanjut ke pertemuan bilateral yang lebih formal, kedua pemimpin memimpin delegasi masing-masing. Delegasi Indonesia tampak lengkap: Sugiono, Airlangga Hartarto, Rosan, Brian Yuliarto, Meutya Hafid, Prasetyo Hadi, dan Teddy Indra Wijaya. Semua duduk tegap, wajah serius, dan tangan siap mencatat hal penting—atau setidaknya berpura-pura.

Dari pihak Malaysia, datang juga tokoh-tokoh kelas berat dengan nama panjang yang bisa mengalahkan password komputer: Dato’ Seri Utama Haji Mohamad bin Haji Hasan, Datuk Seri Tengku Zafrul, hingga Dr. Zambry yang punya gelar selevel buku ensiklopedia.

Pertemuan ini, seperti biasa, menghasilkan "pernyataan bersama"—sebuah dokumen yang umumnya ditulis dengan bahasa yang sangat diplomatis dan sangat tidak bisa dipahami warga negara biasa.

Lawatan PM Anwar kali ini adalah balasan dari kunjungan Prabowo ke Kuala Lumpur pada 26–27 Mei 2025. Jadi wajar jika segala sesuatunya dibuat megah. Karena apa artinya diplomasi kalau tidak ada simetri kunjungan? Sudah bukan zamannya hanya bertemu di sela-sela forum internasional—harus semobil, sekarpet, dan semeriam.

Kunjungan ini memang bukan hanya soal politik. Ini soal penampilan, simbolisme, dan kesan di kamera. Di era media sosial, jabat tangan harus sudut kanan, ekspresi harus hangat, dan meriam harus cukup keras untuk masuk ke berita utama.

Dari balik layar ponsel, warga negara menyimak dengan penuh rasa ingin tahu (dan sedikit bosan). Sebagian bertanya: apakah pertemuan ini bisa menurunkan harga kebutuhan pokok? Sebagian lain hanya heran kenapa setiap kali pejabat luar datang, meriam selalu jadi pembuka.

Namun bagi warga negara, diplomasi terbaik tetaplah yang bisa dirasakan langsung: harga lebih murah, kerja lebih mudah, dan jalan tidak ditutup setiap kali tamu datang. Selebihnya? Silakan lanjutkan jabat tangan, semobil, dan sesi foto.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar