Dengan senyum selebar layar YouTube Sekretariat Presiden dan kata-kata manis yang terdengar seperti pembuka konser amal, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyambut kedatangan Perdana Menteri Malaysia Dato’ Sri Anwar Ibrahim di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat, dalam sebuah pertemuan bilateral yang penuh simbol persahabatan.
Dalam pidato kenegaraan rasa personal, Prabowo sebut Anwar Ibrahim sahabat rakyat Indonesia, pernyataan yang tentu saja menyiratkan bahwa Prabowo telah berhasil melakukan survei nasional untuk mewakili seluruh rakyat. Tapi jangan khawatir, rakyat tak perlu merasa ditanyai—persahabatan bilateral lebih penting dari sekadar izin suara.
"Saya hari ini sangat gembira dan berbahagia dapat menyambut Perdana Menteri Malaysia Dato’ Sri Anwar Ibrahim di Jakarta. Pak Anwar bukan saja sahabat saya, tetapi sahabat rakyat Indonesia," ujar Presiden Prabowo dengan wajah sumringah dan nada suara hangat, seperti menyambut tamu di syukuran keluarga.
Tidak hanya sekadar jabat tangan atau sesi foto, Prabowo sebut Anwar Ibrahim sahabat rakyat Indonesia sebagai penegasan bahwa hubungan Jakarta-Kuala Lumpur kini bukan cuma soal politik, tapi juga urusan hati dan perasaan.
Apakah rakyat dimintai pendapat soal siapa sahabat mereka? Tentu tidak. Dalam dunia diplomasi, rasa bersahabat bisa ditetapkan sepihak dan diumumkan secara nasional tanpa polling.
Sebelum tampil di podium bersama, Prabowo dan Anwar menggelar pertemuan empat mata. Sayangnya, karena hanya empat mata yang hadir, publik dibiarkan menerka-nerka. Mungkin mereka membahas ASEAN, mungkin juga membandingkan nasi goreng khas dua negara. Yang jelas, hasilnya selalu sama: “membahas isu penting secara intens.”
Setelah sesi rahasia, barulah keduanya muncul bersama di podium, tampak akrab dan senada. Kamera pun merekam senyum, saling puji, dan saling menguatkan dalam kalimat yang sangat diplomatis—dan sangat bisa di-copy-paste ke setiap kunjungan kenegaraan.
Tak hanya berdua, pertemuan bilateral juga melibatkan delegasi lengkap dari dua negara. Dari pihak Indonesia, hadir Sugiono sang Menteri Luar Negeri, Airlangga sang Koordinator Perekonomian, Rosan sang CEO sekaligus Menteri Investasi, serta jajaran lain yang namanya panjang dan portofolionya lebih panjang lagi.
Dari Malaysia, hadir juga para menteri dengan nama dan gelar yang bisa membuat kartu nama Anda kehabisan ruang. Semua tampak duduk khidmat, dengan map di tangan, sesekali mengangguk, dan sesekali melihat ke arah kamera—karena diplomasi juga butuh dokumentasi.
Meskipun delegasi lengkap, rakyat masih bertanya-tanya: apa hasilnya? Adakah kesepakatan yang akan menurunkan harga minyak goreng? Atau mempercepat buka-tutup TikTok Shop? Sayangnya, pertemuan seperti ini lebih sering menghasilkan pernyataan bersama yang penuh kata sifat tapi minim tindak lanjut.
Ketika Prabowo sebut Anwar Ibrahim sahabat rakyat Indonesia, publik dibuat bertanya-tanya: apakah ini bentuk diplomasi baru—lebih banyak pujian, lebih sedikit kebijakan?
Hubungan Indonesia dan Malaysia memang sudah seperti saudara kandung—suka ribut soal rendang dan budaya, tapi tetap bersatu kalau ada negara lain yang ikut campur. Persahabatan ini kini ditampilkan dengan gaya teatrikal: karpet biru, deretan pasukan, buku tamu, hingga jabat tangan yang direkam dari tiga sudut kamera berbeda.
Semua dilakukan demi memberi kesan bahwa dua negara ini sangat akur. Bahkan ketika perbatasan laut kadang jadi sumber debat, atau TKI masih menghadapi tantangan di Malaysia, dalam dunia diplomasi, semua bisa diredam dengan kalimat ajaib: “Kita sahabat.”
Dalam siaran resmi, disebutkan bahwa kedua pemimpin membahas isu bilateral, kawasan Asia Tenggara, dan masalah global yang menjadi perhatian bersama. Namun, seperti biasa, tidak dijelaskan dengan detail isu mana yang paling alot. Apakah soal palm oil? Perdagangan digital? Atau, siapa yang lebih dulu memproduksi film superhero ASEAN?
Publik hanya bisa menebak-nebak isi pembicaraan yang seringkali berakhir dengan kalimat favorit diplomasi: “Akan ditindaklanjuti dalam pertemuan teknis berikutnya.” Sebuah ungkapan yang secara halus bisa diartikan: “Nanti aja, belum ada yang siap.”
Bagi yang menonton dari rumah, sambutan Prabowo kepada Anwar lebih terasa seperti reuni alumni sekolah internasional. Sapaan hangat, pujian tanpa batas, dan ekspresi penuh kekeluargaan membuat publik bertanya: ini rapat kabinet atau acara keluarga besar ASEAN?
Tapi jangan salah. Dalam dunia hubungan internasional, menyebut pemimpin negara tetangga sebagai “sahabat seluruh rakyat” adalah strategi ampuh. Jika hubungan memburuk di kemudian hari, setidaknya pernah ada rekaman yang menunjukkan bahwa semuanya dimulai dengan niat baik dan karpet biru.
Sementara para pemimpin berdiskusi di dalam ruang ber-AC dengan bunga segar di atas meja, rakyat tetap sibuk dengan urusan sehari-hari: antrean panjang di SPBU, harga cabai yang naik-turun seperti politik lokal, dan sinyal internet yang suka hilang saat hujan turun.
Namun bagi sebagian rakyat, momen ketika Prabowo sebut Anwar Ibrahim sahabat rakyat Indonesia tetap penting. Setidaknya, itu membuktikan bahwa diplomasi bukan lagi monopoli jargon resmi, tetapi kini sudah merambah ke ranah yang lebih personal dan... nyeni.