![]() |
Lima tersangka kasus dugaan korupsi proyek jalan di Sumatera Utara mengenakan rompi tahanan usai diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (28/6/2025). © Indrianto Eko Suwarso/Antara |
Ada satu hal yang tak pernah absen dari proyek pembangunan jalan: lubang. Lubang bukan hanya di aspal, tapi juga di sistem. Lubang yang menganga lebar dan siap menelan separuh anggaran negara. Dan seperti biasa, lubang itu bukan terjadi karena alam, melainkan ulah tangan manusia—lebih tepatnya, tangan-tangan pejabat dan kontraktor yang terlalu kreatif dalam mengakali angka.
Presiden Prabowo Subianto, dalam setiap pidatonya, selalu tampak begitu semangat menabuh genderang perang melawan korupsi. Tapi jalan yang baru diaspal dengan janji itu, tampaknya langsung retak sebelum kering. Karena sementara ia sibuk berbicara soal transparansi dan efisiensi, jalan-jalan di Sumatra Utara justru dikeruk bukan oleh alat berat, tapi oleh kerakusan.
Kasus korupsi proyek jalan senilai Rp231,8 miliar yang mencuat di Sumatra Utara, dan berhasil ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hanyalah salah satu potret dari industri gelap bernama “pengadaan jalan nasional.” Dalam operasi ini, Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut Topan Ginting dan pejabat Kementerian PU Heliyanto ikut masuk daftar tersangka. Mungkin bagi mereka, pembangunan jalan bukan soal pelayanan publik, tapi soal pelayanan rekening.
Dalam peristiwa ini, korupsi proyek jalan seperti upacara tahunan. Dari kepala dinas, pejabat kementerian, kontraktor, hingga—siapa tahu—anggota dewan, semua ikut mencicipi remah-remah dari tumpukan anggaran. Karena di negeri ini, rupanya pembangunan infrastruktur adalah bentuk paling konkret dari balas budi politik. Iya, kalau saja jalan itu benar-benar dibangun.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, praktik korupsi proyek jalan ini dimulai sejak tahap perencanaan. Jangan bayangkan perencanaan sebagai proses yang teknokratis dan berbasis kebutuhan warga negara. Tidak, ini lebih seperti skrip sinetron—semua aktor tahu perannya sejak awal. Kepala dinas tahu siapa yang harus "menang", kontraktor tahu berapa harus setor, dan pejabat pusat tahu kapan harus tutup mata.
Anggaran disunat 30 persen untuk suap, 20 persen untuk keuntungan kontraktor, dan hanya 50 persen yang benar-benar dipakai membangun jalan. Itupun kadang dengan semen oplosan dan aspal yang lebih cocok untuk mainan anak-anak daripada jalan nasional. Akibatnya, jalan yang seharusnya bertahan lima tahun, baru lima bulan sudah jadi kolam renang dadakan.
Di Sumatra Utara, KPK baru saja menangkap sejumlah aktor dalam proyek jalan. Tapi yang tertangkap hanyalah serpihan dari gurita besar yang mencengkeram infrastruktur negeri ini. Sebab proyek jalan tidak hanya jadi proyek pembangunan, tapi juga proyek politik. Kerap kali, proyek jalan diberikan bukan karena urgensi pembangunan, melainkan karena urgensi membalas jasa.
Si A bantu pemenangan Pilkada, maka si A dapat jatah proyek. Si B bantu lobbying di DPRD, maka si B dipastikan menang tender. Ini bukan hanya soal jalan, tapi juga tentang bagaimana demokrasi dibangun di atas aspal tipis dan fondasi kebohongan.
Tentu saja, sistem pengadaan barang dan jasa sudah mengalami digitalisasi. Tapi apalah arti digitalisasi kalau moral manusianya tetap analog? Bahkan e-catalog pun bisa diakali kalau semua aktor paham permainan.
Presiden Prabowo boleh saja berkata bahwa perang melawan korupsi harus diteruskan. Tapi pidato tanpa kebijakan itu seperti jalan tanpa aspal. Licin, berbahaya, dan mengarah ke jurang. Reformasi sistem pengadaan proyek semestinya jadi prioritas. Tapi reformasi tak akan berarti jika birokrasi tetap hobi bermain mata dengan kontraktor.
Lucunya, korupsi proyek jalan ini selalu dikaitkan dengan semangat membangun negeri. Pejabat berbicara soal konektivitas, pertumbuhan ekonomi, dan efisiensi logistik. Padahal jalan-jalan yang rusak sebelum waktunya justru menghambat ekonomi dan membuat warga negara makin terisolasi. Infrastruktur seharusnya untuk warga negara, bukan untuk makelar proyek dan pemburu rente.
Lebih parah lagi, proyek jalan kerap diklaim sebagai prestasi politik. Spanduk ucapan terima kasih kepada bupati atau gubernur seringkali lebih besar dari papan proyek. Padahal kalau warga negara tahu berapa persen dana yang benar-benar sampai ke lapangan, mungkin mereka akan lebih memilih jalan tanah daripada dibohongi terus menerus.
Jika tidak segera ada gebrakan, bukan tidak mungkin ke depan kita akan melihat proyek-preservasi jalan sebagai alat memperpanjang umur korupsi. Bukannya memperpanjang umur jalan. Seolah para pemangku kebijakan ini memiliki pemahaman unik tentang kata “preservasi”—yakni melestarikan korupsi.
Janji Presiden Prabowo untuk memberantas korupsi akan terdengar seperti lagu lama jika tidak disertai langkah nyata. Apalagi, sektor infrastruktur adalah sektor paling seksi untuk dikorupsi. Dana besar, pengawasan lemah, dan warga negara yang keburu pasrah. Sempurna.
Solusinya sebenarnya tidak rumit, tapi menyakitkan bagi mereka yang sudah terbiasa hidup dari proyek jalan. Pertama, reformasi sistem pengadaan harus benar-benar dijalankan, bukan sekadar jadi wacana. Kedua, integritas birokrasi harus dibangun, dimulai dari pemilihan pejabat daerah yang bebas konflik kepentingan.
Ketiga, transparansi penganggaran dan pelaksanaan proyek harus dijadikan standar minimum. Keempat, KPK dan lembaga penegak hukum lainnya tidak boleh hanya menangkap ikan kecil. Gurita besar harus ditangkap, diproses, dan dibongkar jaringannya sampai ke akar-akar.
Presiden harus berhenti hanya memberikan pidato inspiratif. Ia perlu mencopot pejabat yang terlibat, memaksa DPR untuk segera mengesahkan regulasi antikorupsi seperti RUU Perampasan Aset, dan memperkuat KPK agar tak menjadi penonton di tengah pesta pora anggaran.
Jika kita terus membiarkan proyek jalan menjadi lahan korupsi, maka kita sedang membiarkan negara ini meluncur cepat ke arah kehancuran. Jalan yang harusnya menghubungkan desa dan kota, justru menghubungkan niat jahat dan peluang licik. Jika Presiden ingin dikenang sebagai pemimpin yang membawa Indonesia maju, maka korupsi proyek jalan adalah tempat terbaik untuk memulai revolusi kecil itu.
Bukan dengan pidato, tapi dengan penangkapan. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan. Karena jalan masa depan bangsa ini tidak boleh terus-menerus dibangun di atas pondasi kebohongan dan disemen oleh korupsi.