![]() |
Sejumlah terduga kasus korupsi tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (27/6/2025) malam. © Fauzan/Antara |
Komisi Pemberantasan Korupsi kembali beraksi di tengah semangat membangun negeri. Dalam semangat “jalan harus tembus sampai desa”, ternyata ada juga yang ingin hartanya tembus sampai Jakarta. Maka tak heran, KPK tangkap enam orang dalam OTT Mandailing Natal, yang diduga kuat sedang memainkan peran sebagai pelumas pembangunan—bukan untuk aspal, tapi untuk aliran dana yang lebih fleksibel.
Operasi tangkap tangan (OTT) ini terjadi di Kabupaten Mandailing Natal, bukan di Medan seperti sempat beredar sebelumnya. Enam orang langsung diciduk dan diboyong ke Gedung Merah Putih, Jakarta. Mereka mungkin tak menyangka bahwa proyek yang mereka kawal di Dinas PUPR bukan hanya membangun jalan nasional, tapi juga mempercepat jalan mereka menuju penyidikan.
Menurut juru bicara KPK, Budi Prasetyo, OTT ini menyasar dugaan korupsi dalam proyek pembangunan dan preservasi jalan. Sebuah proyek yang sejatinya ditujukan untuk membuat akses warga lebih mudah, tetapi justru menjadi jalan tol pribadi bagi segelintir oknum. Katanya sih pembangunan infrastruktur—nyatanya pembangunan rekening.
OTT KPK ini bukan yang pertama tahun ini. Sebelumnya, pada Maret 2025, lembaga antirasuah juga menangkap sejumlah anggota DPRD dan pejabat Dinas PUPR di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Tampaknya, Dinas PUPR kini tak hanya dikenal karena kemampuan membangun jembatan dan jalan, tetapi juga karena jembatan-jembatan uang tunai yang menghubungkan proyek ke dompet para pejabat.
Selama ini, proyek pembangunan jalan kerap dijual kepada publik sebagai bagian dari narasi besar “membangun dari pinggiran”. Tapi ternyata di pinggiran itulah seringkali amplop-amplop mulai berpindah tangan. Kontrak proyek yang berlapis-lapis bisa berarti pula potensi pungutan berlapis-lapis—dari panitia lelang, pejabat pelaksana, hingga mereka yang duduk nyaman di kursi pengambil keputusan.
Dengan KPK tangkap enam orang dalam OTT Mandailing Natal, kita kembali diingatkan bahwa infrastruktur di Indonesia bukan hanya urusan semen dan batu, tetapi juga tentang siapa yang dapat bagian dari anggaran. Tidak heran bila jalan baru cepat rusak—mungkin karena aspalnya lebih banyak dipakai untuk melapisi laporan keuangan fiktif.
Kini, keenam orang yang ditangkap memiliki waktu 1x24 jam untuk menentukan nasib mereka. Tapi publik tampaknya sudah bisa menebak: dalam kasus seperti ini, biasanya ada yang ditetapkan sebagai tersangka, lalu drama hukum pun dimulai. Ada yang mengaku khilaf, ada yang menyebut ini fitnah politik, dan tentu saja ada yang tiba-tiba merasa sakit dan butuh dirawat intensif—bukan di rumah sakit biasa, tapi di rumah sakit dengan jaringan Wi-Fi kuat dan AC yang nyaman.
Drama OTT sudah menjadi genre tersendiri dalam politik hukum Indonesia. Kadang lebih seru dari sinetron prime time, karena tokohnya nyata dan kerugiannya bisa miliaran rupiah.
OTT ini juga kembali membuka pertanyaan klasik: mengapa korupsi proyek jalan sangat sering terjadi? Jawabannya bisa jadi karena proyek jalan adalah ladang emas: anggaran besar, pengawasan longgar, dan masyarakat awam tak tahu apakah harga aspal memang segitu mahalnya.
Dan ketika jalan sudah dibangun, tak ada yang memeriksa seberapa dalam lubang dalamnya, karena lubang terbesar justru sudah terjadi di dalam sistem pengadaan dan pelaksanaan proyek itu sendiri.
KPK tangkap enam orang dalam OTT Mandailing Natal harus menjadi peringatan: jika pejabat lokal masih menjadikan proyek sebagai celengan pribadi, maka pembangunan bukanlah kabar baik bagi rakyat, melainkan kabar buruk yang dibungkus spanduk warna-warni.
Dinas PUPR tampaknya telah menjadi salah satu instansi yang paling rawan OTT. Bukan karena mereka bekerja buruk—justru karena mereka punya kuasa besar. Mengatur proyek infrastruktur berarti mengatur arus uang dalam jumlah fantastis. Dan seperti kata pepatah lama: di mana ada anggaran, di situ ada godaan.
Sudah waktunya audit internal dilakukan lebih transparan. Tapi masalahnya, transparansi seringkali hanya berhenti di permukaan. Di atas kertas semuanya rapi. Di ruang rapat semuanya tegas. Tapi di ruang-ruang gelap, proyek bisa berubah jadi proyek pribadi. Dan ketika ketahuan, barulah wajah-wajah bersalah muncul di layar televisi sambil menutupi muka dengan map kuning.
Satu hal yang pasti, OTT ini akan masuk berita utama selama beberapa hari. Publik akan heboh, media sosial akan ramai, dan netizen akan memberikan komentar paling sarkastik. Tapi apakah ini akan mengubah pola korupsi? Sulit dikatakan. Karena, sejarah OTT KPK menunjukkan bahwa pelaku korupsi tidak pernah benar-benar jera. Mungkin karena mereka tahu, setelah satu dua tahun tahanan, mereka bisa kembali ke panggung politik—atau minimal, menikmati hasil yang tak sempat disita.
KPK tangkap enam orang dalam OTT Mandailing Natal harusnya jadi momentum pembenahan, bukan sekadar seremoni tangkap tangan. Jika tidak, maka OTT akan terus berulang, proyek akan terus dimark-up, dan rakyat akan terus menerima jalan rusak yang ditambal seadanya.
Di negeri yang penuh proyek dan janji pembangunan, kita sering lupa bahwa jalan terbaik adalah jalan yang dibangun dengan integritas. Tapi realitas hari ini menunjukkan bahwa integritas seringkali kalah cepat dari tender proyek. KPK tangkap enam orang dalam OTT Mandailing Natal hanyalah satu bab dari kisah panjang korupsi berjamaah.
Dan seperti jalan-jalan di pedalaman, kisah ini pun akan segera tertutup oleh lumpur, jika tak ada komitmen untuk membenahi sistem secara menyeluruh. Sementara itu, para pelaku bisa jadi akan berkilah, “Kami hanya ingin membantu pembangunan.” Ya, tentu—pembangunan diri sendiri.