Momentum bersihkan demokrasi dari politik uang

Pemisahan pemilu nasional dan lokal oleh Mahkamah Konstitusi jadi momentum emas untuk memperjelas demokrasi kita yang sebelumnya terlalu multitasking.

Momentum membersihkan demokrasi dari politik uang. © Anis Efizudin/Antara
Pengendara sepeda motor melintas di depan spanduk tolak politik uang pada Pilkada 2024 di Temanggung, Jawa Tengah, Senin (25/11/2024). © Anis Efizudin/Antara

Setelah bertahun-tahun menjalani eksperimen demokrasi seperti acara reality show tanpa skrip, akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan sesuatu yang membuat kita semua bisa menarik napas lega: pemisahan pemilu nasional dan lokal. Ya, tak perlu lagi rakyat memaksakan lima pilihan hidup dalam satu hari, di bilik suara yang lebih sempit dari lemari arsip kelurahan.

Pada Kamis, 26 Juni 2025, Mahkamah Konstitusi tampil sebagai pahlawan nasional dengan menyatakan bahwa pemilu nasional (presiden, DPR, DPD) harus digelar duluan, sedangkan pemilu lokal (gubernur, wali kota, bupati, dan DPRD) menyusul paling cepat dua tahun kemudian. Akhirnya, kita tidak perlu lagi berpura-pura memahami lima lembar surat suara sambil dikejar mata panitia TPS dan suara klakson ojol.

Putusan ini seperti kopi tanpa gula: pahit, tapi jujur. Karena dalam kenyataannya, demokrasi Indonesia selama ini sudah terlalu manis dengan janji “sinkronisasi nasional-daerah” tapi pahit dalam pelaksanaannya. Karena, mari jujur: kapan terakhir kali Anda benar-benar mengenali semua calon legislatif di surat suara sepanjang tikar yoga itu?

Alasan utama pemisahan pemilu nasional dan lokal ini bukan karena MK kehabisan ide, melainkan karena mereka membaca realitas dengan sangat rasional: rakyat bukan robot. Ketika pemilu dan pilkada disatukan seperti pada 2024, hasilnya luar biasa… luar biasa melelahkan. KPU kelelahan, pemilih kelelahan, bahkan kotak suara pun mungkin sempat berpikir untuk pensiun dini.

Menurut putusan MK, tumpukan pemilu membuat isu lokal tenggelam dalam tsunami nasionalisme. Bayangkan saja: Anda ingin tahu siapa calon wali kota Anda, tapi malah disuguhi debat capres dengan topik geopolitik Laut China Selatan. Kapan bisa tahu program drainase dan harga cabe di pasar kecamatan?

Dalam sistem lama, rakyat seperti dipaksa jadi konsultan politik part-time. Dalam satu hari, mereka harus menilai kinerja presiden, mengingat nama anggota DPR, menghafal partai-partai baru dengan singkatan kreatif, hingga menilai calon gubernur yang wajahnya baru muncul seminggu sebelum hari H. Dan semua itu dilakukan sambil berusaha tetap waras di bawah tenda panas TPS.

Pemisahan pemilu nasional dan lokal memberi rakyat kemewahan terbesar dalam demokrasi modern: waktu untuk berpikir. Bayangkan, dua tahun untuk merenungkan, menilai, dan mengevaluasi. Seperti memberi jeda dalam hubungan, tapi versi konstitusional. Siapa tahu, selama jeda itu, rakyat akhirnya benar-benar membaca visi misi calon, bukan hanya mencoblos karena "kayaknya mukanya baik."

Penyelenggara pemilu, terutama KPU, selama ini sudah seperti kontestan Survivor. Mereka harus mengatur logistik lima pemilu dalam satu hari, menjaga kotak suara dari banjir, dan memastikan panitia TPS tidak tiba-tiba menghilang ke kebun belakang.

Dengan sistem baru, mereka bisa fokus pada satu pemilu dalam satu waktu. Bahkan mungkin, suatu hari nanti, kita akan melihat petugas KPU tersenyum di hari pemungutan suara—bukan karena sudah pasrah, tapi karena mereka benar-benar siap.

Partai politik selama ini seperti pengunjung all-you-can-eat buffet: ingin ambil semuanya sekaligus. Akibatnya, mereka sering lupa kalau rakyat juga butuh waktu mencerna. Dengan pemisahan pemilu nasional dan lokal, parpol dipaksa berhenti bersikap seperti influencer yang endorse 12 produk dalam satu video.

Ini saatnya partai fokus: nasional ya nasional, lokal ya lokal. Mungkin dengan begitu, mereka bisa benar-benar menyiapkan kader, bukan hanya menempelkan siapa pun yang terkenal di baliho, dari ustaz viral hingga mantan pemain sinetron laga.

Tentu saja, keputusan MK ini bukan akhir. Ini baru permulaan dari proyek besar demokrasi versi upgrade. DPR dan pemerintah kini punya pekerjaan rumah besar: merevisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Pemerintahan Daerah.

Dan tolong, revisinya jangan dilakukan seperti anak sekolah mengerjakan PR lima menit sebelum bel masuk. Ini kesempatan emas untuk menyempurnakan semua kekurangan. Dari ambang batas pencalonan presiden yang sempat bikin bangsa seperti klub eksklusif, sampai aturan kampanye yang lebih sibuk mengatur ukuran spanduk daripada substansi program.

Mari kita bicara hal tabu yang semua orang tahu tapi pura-pura tidak tahu: politik uang. Dengan jeda dua tahun antar pemilu, setidaknya amplop tidak perlu dicetak dalam jumlah yang sama besar dalam satu waktu. Setidaknya para caleg tidak perlu saling dorong di pasar demi satu senyuman emak-emak.

Dan yang lebih penting: rakyat punya waktu untuk melupakan “serangan fajar” dan benar-benar memilih berdasarkan akal sehat, bukan isi amplop yang menguap sebelum hari Senin tiba.

Pada akhirnya, pemisahan pemilu nasional dan lokal adalah kabar baik yang terlalu rasional untuk ditolak. Ini bukan sekadar keputusan teknis. Ini adalah upaya menyelamatkan demokrasi kita dari kelelahan kolektif, kejenuhan politik, dan absurditas birokrasi yang terlalu percaya diri.

Dengan sistem baru ini, kita bisa bermimpi tentang masa depan di mana pemilu tidak lagi diasosiasikan dengan stres, tenda panas, dan pilihan ganda yang membingungkan. Mungkin, suatu saat nanti, memilih pemimpin akan terasa seperti hak istimewa, bukan hukuman nasional.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar