![]() |
Pelakon mementaskan teater Abdul Muluk Reborn karya Andi Pradinata di Teater Arena Taman Budaya Jambi, Jambi, Minggu (29/6/2025). © Wahdi Septiawan/Antara |
Minggu malam, 29 Juni 2025, Teater Arena Taman Budaya Jambi berubah menjadi panggung emosi yang meledak. Bukan karena efek lampu panggung atau tata suara berteknologi tinggi, tetapi karena satu hal sederhana: kisah Suhay, pencuri ayam yang justru mencuri nurani penonton.
Pementasan Abdul Muluk Reborn, karya Andi Amao Pradinata, tidak hanya menghadirkan hiburan. Ia adalah manifesto budaya yang menyamar dalam bentuk satire. Komedi yang seolah ringan, namun menggali luka sosial yang selama ini dibungkam tawa.
Suhay bukan pencuri biasa. Ia tokoh fiksi, namun terlampau nyata. Seorang lelaki sederhana yang mencuri ayam, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk memberi makan janda tua dan anak-anak miskin. Ia tidak dibekali senjata, hanya rasa kemanusiaan dan tekad melawan ketidakadilan.
Sidang adat di dalam cerita menjadi puncak komedi sekaligus tragedi. Silat, lagu, pantun, hingga tari Melayu hadir megah, menampilkan estetika tradisi yang indah. Tapi ketika Suhay menjelaskan alasannya mencuri, ruangan berubah hening. Gelak tawa perlahan berhenti.
Yang awalnya dianggap sekadar ludruk dengan nuansa Melayu, ternyata menyimpan peluru kritik sosial yang menohok: penguasa hanya diam ketika rakyatnya lapar. Sang raja dalam cerita, yang dibungkus sebagai sosok arif, ternyata cerminan dari pemimpin yang gagal melihat penderitaan rakyatnya.
Dan pada saat itulah, panggung berubah menjadi cermin. Penonton tidak lagi melihat Suhay, tapi melihat bayangan diri mereka sendiri: sebagai warga yang pasrah, sebagai pemimpin yang abai, atau sebagai masyarakat yang lupa gotong royong.
Keberhasilan Abdul Muluk Reborn bukan hanya pada naskahnya, tapi juga pada eksekusi panggung yang berbasis improvisasi. Tak ada skrip pasti. Para pemain—Zaidan, Poer, Suwandi Wendy, Petel, Ipunk, hingga Mak Pia—hanya dibekali alur besar. Sisanya? Dibiarkan mengalir dari hati.
“Teater tradisi kekuatan utamanya pada improvisasi,” ujar Zaidan. Dan ini bukan sekadar teori. Improvisasi membuat adegan terasa hidup. Bahkan saat penonton tertawa, aktor bisa mengubah arah dialog, menambah celetukan, atau mengarahkan perhatian ke sudut lain.
Ini bukan panggung yang dipoles, tapi panggung yang bernapas. Segar, cair, dan memikat.
Meski terbungkus tawa, Abdul Muluk Reborn adalah tamparan keras bagi masyarakat modern. Isu gotong royong yang memudar, meningkatnya kesenjangan sosial, dan pemerintah yang gagal menyentuh akar masalah masyarakat miskin—semua dikemas lewat laku jenaka.
Pertunjukan ini seolah ingin berkata: jika kamu masih bisa tertawa saat rakyat mencuri untuk makan, maka kamu sedang menertawakan penderitaan yang kamu biarkan tumbuh.
Amao, sang sutradara, tidak menyangka pentas ini akan begitu meledak. Pintu teater dikunci lebih awal. Bukan karena sensor, tapi karena tempat sudah tidak muat. Penonton datang dari Jambi, Muarojambi, Batanghari, Tebo, hingga Tanjab Barat.
“Banyak yang tidak bisa masuk,” ucap Amao. Tapi ini bukan kegagalan logistik. Ini adalah kesaksian bahwa masyarakat haus akan teater yang berbicara.
Salah satu kekuatan Abdul Muluk Reborn justru pada keberaniannya merangkul anak-anak dalam pementasan. Mereka tidak sekadar menjadi figuran. Mereka belajar merespons secara spontan, menyerap rasa, dan menghidupkan dialog tanpa teks.
Ini bukan hanya panggung untuk nostalgia, tapi ruang laboratorium budaya. Tradisi tidak diawetkan seperti fosil, tetapi dirawat, dihidupkan, dan diwariskan. Improvisasi menjadi metode, dan nilai kekeluargaan menjadi filosofi dasar.
Dan di sanalah titik kebangkitan. Tradisi tak lagi statis. Ia menari bersama generasi baru, tanpa kehilangan jati diri.
“Saya pikir ini cuma lucu-lucuan soal maling ayam,” kata Rika, penonton asal Muarojambi. Tapi setelah menonton, ia diam, termenung. “Saya merasa tertampar.”
Bukan karena Suhay mencuri. Tapi karena Suhay mencuri demi mereka yang selama ini dilupakan. Dalam tokoh ini, masyarakat melihat harapan, sekaligus luka.
Rika tidak sendiri. Ratusan penonton merasakan hal yang sama. Dari tertawa keras, mereka berubah hening, lalu memberi tepuk tangan panjang seolah ingin berkata: terima kasih sudah mengingatkan.
Pentas ini tak berdiri sendiri. Ia mendapat dukungan dari berbagai tokoh penting. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Imron Rosyadi, Kepala Taman Budaya Jambi Sri Purnama Syam, Kepala Stasiun TVRI Jambi Herly Marjoni, hingga Ketua KPID Jambi Kemas Al-Fajri hadir dan menyuarakan hal yang sama: seni tradisi Jambi adalah warisan yang harus dijaga.
Tapi di balik dukungan itu, pementasan ini adalah pernyataan politik kebudayaan. Bahwa seni bukan hanya hiburan, tapi alat menyampaikan suara masyarakat—yang kadang lebih jujur daripada debat di ruang dewan.
Abdul Muluk Reborn bukan pertunjukan terakhir. Ia adalah langkah awal dari sebuah kebangkitan teater tradisi. Dalam dunia yang semakin sunyi oleh algoritma dan konten kilat, pentas ini hadir sebagai oase rasa.
Suhay mungkin tokoh rekaan, tapi ia meninggalkan jejak di hati penonton. Ia mengajarkan satu hal: kita tidak perlu jadi pahlawan untuk membuat perubahan. Cukup dengan menjadi manusia, dengan sedikit keberanian dan nurani.
Teater ini membuktikan, bahwa tradisi tak harus kuno untuk relevan. Dan satire bukan sekadar bahan tertawaan, tapi senjata lembut yang menembus dinding ketidakpedulian.