Setiap anak Sunda generasi lawas pasti punya kenangan berlari-lari sambil main ucing sumput di kebon belakang rumah, atau bersaing seru main sorodot gaplok sampai tangan merah. Tapi sayangnya, semua itu kini lebih akrab dalam bentuk cerita dibanding pengalaman nyata. Maka, seperti biasa, solusi paling populer di republik penuh seminar ini adalah: bikin festival.
Dan begitulah festival permainan rakyat Jawa Barat kembali digelar—dengan format yang sama, retorika yang sama, dan ambisi besar untuk “mengenalkan dan melestarikan permainan rakyat kepada gen Z”. Tapi, seperti tahun sebelumnya, hasil akhirnya sama saja: permainan yang harusnya dimainkan, malah dipentaskan. Disaksikan. Ditepuki. Lalu dilupakan.
Mari kita tarik napas dan telusuri daftar permainan rakyat yang disebutkan dalam festival ini: sorodot gaplok, congklak, cingciripit, peupeusingan, galah, egrang, sapintrong, bebedilan, dan seterusnya. Nama-nama yang eksotis, unik, bahkan cukup ampuh membuat anak TikTok bertanya, “Itu nama brand makanan atau mantra Hogwarts?”
Permainan-permainan ini tentu punya nilai luhur. Katanya, bisa menumbuhkan kejujuran, sportivitas, empati, dan kebersamaan. Dulu anak-anak bahkan rela berkeringat, bau matahari, dan berdebu demi main peupeusingan. Tapi itu dulu, ketika bermain adalah kebutuhan, bukan barang langka.
Sekarang? Permainan itu dibingkai dalam drama musikal, di panggung ber-AC, dengan naskah yang rapi dan aktor anak-anak berseragam. Lalu kita bertanya: kenapa nilai-nilainya tidak nyampe ke mereka? Ya karena yang dipraktikkan bukan permainan, tapi performansi. Anak-anak lebih sibuk menghafal gerak ketimbang mengalami keseruannya.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Iendra Sofyan, dengan bangga menyebut festival ini sebagai bagian dari implementasi UU No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dan tentu saja semua dikemas manis dengan istilah “nilai adiluhung”, “kreativitas lokal”, dan “penguatan karakter”.
Tapi bagaimana penerimaannya di lapangan? Ketika anak-anak SD dan SMP ditanya, “Setuju nggak kalau ke sekolah tanpa gadget?” mereka menjawab dengan kompak dan spontan: “Tidaaaaak!”—dengan nada seperti baru saja ditawari pindah ke zaman batu.
Inilah disconnect yang terjadi terus menerus. Kita menganggap bahwa budaya hanya bisa tumbuh jika gadget dimusuhi. Kita berpikir bahwa dengan menghapus HP dari genggaman anak-anak, mereka otomatis akan kembali bermain sasalimpetan di halaman. Padahal, masalahnya bukan pada keberadaan teknologi, tapi pada minimnya ruang dan relevansi permainan rakyat dalam kehidupan anak-anak hari ini.
UPTD Pengelolaan Kebudayaan Daerah Jawa Barat mengatakan, festival ini digelar agar permainan rakyat bisa hidup kembali. Tapi hidup di mana? Di atas panggung teater? Di brosur kebudayaan? Atau di kepala para pejabat yang meyakini bahwa semua bisa diselesaikan lewat medley drama musikal?
Permainan rakyat lahir dari ruang terbuka, bukan dari panggung tertutup. Ia bukan tontonan, melainkan pengalaman. Ia bukan soal mengingat nama-namanya, tapi soal berkeringat dan tertawa bersama teman-teman sebaya.
Namun kenyataannya, permainan rakyat justru dipentaskan seperti opera: ada naskah, ada aktor, ada koreografi. Seolah-olah yang kita kejar adalah estetika, bukan pengalaman bermain yang organik. Seolah-olah nilai kebersamaan bisa dipelajari dari tepuk tangan penonton, bukan dari rebutan egrang bambu.
Generasi Z bukan musuh budaya. Mereka hanya tak mengenal permainan itu karena tak pernah diajak bermain. Yang mereka tahu hanyalah bahwa bermain kini dilakukan di ruang virtual. Dan kalau pun ingin mengenalkan permainan rakyat, maka caranya bukan lewat penampilan teatrikal yang justru membuat mereka makin asing terhadap esensinya.
Menonton anak-anak tampil dalam balutan lagu daerah sambil memperagakan kelom batok mungkin menghibur, tapi tidak mendekatkan mereka dengan permainannya. Apalagi kalau setelah tampil, mereka balik lagi ke grup WA sekolah dan game Roblox. Artinya: tidak ada yang berubah, kecuali durasi mereka menahan bosan saat tampil di festival.
Jika pemerintah ingin generasi Z akrab dengan permainan rakyat, maka caranya bukan dengan melarang gadget. Tapi justru dengan memasukkan permainan rakyat ke dalam format digital yang bisa mereka akses. Buat versi game-nya. Bikin konten edukatifnya di TikTok. Jadikan permainan rakyat bagian dari keseharian, bukan sekadar tontonan tahunan.
Bayangkan jika setiap SD di Jawa Barat punya jam bermain kaulinan barudak lembur seminggu sekali. Bayangkan kalau ada ruang publik yang menyediakan peralatan untuk main galah asin atau babalonan sarung. Bayangkan kalau sekolah membiarkan anak-anak kotor, bau matahari, dan tertawa tanpa sensor di halaman belakang.
Tapi tentu saja semua itu lebih sulit daripada bikin festival dua hari dengan baliho besar dan pidato-pidato heroik. Karena membangun ruang bermain memerlukan komitmen jangka panjang, bukan sekadar pencitraan tahunan.
Kita butuh lebih dari sekadar mengenang masa kecil di depan mikrofon. Kita butuh tindakan nyata yang membuat permainan rakyat kembali hidup dalam bentuk yang relevan. Bukan sebagai pertunjukan, tapi sebagai gaya hidup.
Akhirnya, seperti biasa, kita melihat lagi upaya pelestarian budaya yang penuh semangat tapi miskin pendekatan. Di satu sisi, kita ingin anak-anak mencintai budaya lokal. Di sisi lain, kita memperlakukannya seperti museum yang hanya boleh dilihat, bukan dijalani.
Festival permainan rakyat Jawa Barat adalah contoh sempurna bagaimana niat baik bisa tersesat dalam romantisme. Permainan rakyat bukan benda mati. Ia hanya perlu ruang untuk hidup kembali—bukan dalam bentuk pidato pejabat, bukan dalam larangan gadget, tapi dalam aksi nyata di dunia tempat anak-anak benar-benar berada.