Tiap bulan Juni, tepatnya di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, berlangsung ritual tahunan yang dikenal dengan nama Perang pandan atau Mekare-kare. Tapi jangan bayangkan ini semacam Street Fighter versi lokal. Ini ritual sakral. Ya, sakral... yang sekarang disaksikan sambil makan es krim oleh turis dengan kamera 4K dan gaya duduk yang lebih cocok buat nonton konser K-pop ketimbang ritual perang suci.
Dengan senjata daun pandan berduri dan tameng rotan, para pemuda desa adu keberanian dalam laga satu lawan satu. Konon, tradisi ini adalah bentuk penghormatan kepada Dewa Indra. Tapi hari ini, penghormatan itu kadang lebih besar diarahkan pada kamera DSLR dan sorakan influencer spiritual palsu.
Perang pandan tahun ini digelar pada 22 dan 23 Juni. Jadwalnya tertera rapi di poster digital, lengkap dengan jam mulai pukul 12.30 WITA. Seolah bukan ritual, tapi event TikTok Live. Kita kini hidup di era di mana ritual berdarah pun harus punya event page, biar gampang di-share ke WhatsApp grup keluarga turis.
Apakah maknanya masih utuh? Apakah para pemuda yang maju ke arena memahami filosofi Dewa Indra yang mengalahkan Maya Denawa? Atau mereka hanya tahu, “Pokoknya saya harus tampil keren, soalnya kemarin Bli bule dari Swedia bilang saya fotogenik.”
Sakral memang kata yang mulia, tapi entah kenapa makin lama makin mirip caption Instagram.
Ritual ini memang bukan untuk lemah hati. Daun pandan berduri tajam digenggam seperti senjata warisan, dan luka-luka berdarah dianggap bukti keberanian, bukan kekalahan. Sayangnya, luka itu kini lebih sering jadi konten Reels berdurasi 15 detik, lengkap dengan filter vintage dan backsound gamelan remix.
Tradisi ini pernah melambangkan kemenangan spiritual. Kini, ia lebih mirip gladiator show yang dibalut budaya. Apakah ini bentuk modernisasi? Atau malah banalitas terhadap makna sakral?
Kalau dulu luka ditangisi ibu karena anaknya berani demi dewa, sekarang luka difoto dan diposting dengan hashtag #PandanChallenge #Blessed.
Menurut adat Bali Aga, tradisi Mekare-kare bukan hanya soal berkelahi. Ini latihan mental, simbol kejujuran, kehormatan, dan pengabdian. Tapi dalam praktiknya hari ini, kadang justru jadi panggung ego kultural: siapa yang paling "terlihat" budaya.
Sementara itu, di pojok arena, para turis sibuk bertanya, “Apakah ini diselenggarakan tiap hari?” Seakan ritual spiritual bisa dipesan ulang seperti pertunjukan tari kecak di Uluwatu.
Kalau begini terus, jangan heran kalau lima tahun lagi Perang pandan punya booth merchandise sendiri: kaus berdarah palsu, tameng mini untuk anak-anak, dan tentu saja... pandan-scented essential oil.
Mari kita jujur: Perang pandan memang “Instagrammable”. Tapi apakah itu alasan cukup untuk membiarkan esensi budayanya menguap perlahan?
Tradisi ini unik karena hanya digelar oleh masyarakat Bali Aga, komunitas yang selama ratusan tahun menjaga tradisi leluhur. Tapi ironisnya, makin banyak kamera yang menyorot, makin sedikit orang yang benar-benar paham maknanya.
Ada yang bilang ini bagian dari pelestarian. Tapi kalau pelestarian hanya berarti memperlihatkan permukaan tanpa menggali kedalaman, maka apa bedanya dengan mendandani mayat untuk pesta pernikahan?
Selesai bertarung, luka peserta disembuhkan dengan ramuan tradisional dari kunyit dan cuka kelapa. Ramuan alami ini lebih jujur dibanding motivasi sebagian penonton yang datang ke sana demi konten eksotis.
Obat itu menyembuhkan fisik, tapi tidak menyembuhkan luka budaya yang makin hari makin terdangkalkan demi likes dan sorotan kamera. Tradisi tidak butuh penonton, ia butuh pewaris. Dan kalau semua generasi mudanya sibuk jadi model dadakan, siapa yang benar-benar belajar nilai-nilainya?
Pemerintah dan lembaga kebudayaan mungkin akan membela diri: “Ini cara kita menjangkau dunia!” Tapi apakah dunia benar-benar ingin tahu makna Usaba Sambah? Atau mereka cuma tertarik pada darah segar dan aksi ala tribal warrior?
Jika pelestarian budaya hanya berarti memamerkan sisi eksotis tanpa pendidikan kontekstual, maka ini bukan pelestarian. Ini domestikasi budaya—dibuat jinak, bisa dijual, dan tidak berbahaya bagi konsumen luar.
Perang pandan seharusnya menjadi ruang pendidikan spiritual dan sosial, bukan sekadar pertunjukan gladiator dengan busana adat.
Ironisnya, mereka yang mengkritik komersialisasi budaya sering dianggap “tidak paham kearifan lokal.” Padahal justru kritik itulah bentuk cinta. Karena jika semua budaya dijadikan tontonan tanpa penghayatan, maka yang kita wariskan bukanlah tradisi, melainkan setting panggung.
Duri pandan mungkin menyakitkan, tapi lebih menyakitkan melihat budaya dijadikan festival budaya untuk mendulang likes, bukan kesadaran.
Perang pandan bisa tetap hidup—tapi bukan sebagai tontonan. Ia harus kembali ke asalnya: ruang spiritual, pendidikan karakter, dan kebanggaan komunitas. Bukan lagi sebagai agenda tahunan yang dinanti influencer spiritual setengah jadi.
Perang pandan tak butuh lebih banyak penonton. Perang pandan butuh lebih banyak pemuda yang bertarung bukan demi kamera, tapi demi makna.