![]() |
Palu hakim. © Catherine McQueen/Getty Images |
Pada 25 Juni 2025, ruang sidang Pengadilan Negeri Medan tak ubahnya panggung teater yang dibuka dengan klimaks: vonis mati bagi satu bandar dan tiga kurir narkoba. Empat orang, satu peran utama, tiga figuran berdarah dingin. Total barang bukti: 40 kilogram sabu. Total rasa kemanusiaan dalam vonis: nol kilogram.
Inilah potret vonis mati kurir narkoba paling segar dari Sumatera Utara, lengkap dengan narasi “tidak ada hal yang meringankan.” Kalimat yang makin sering digunakan seolah-olah jaksa dan hakim sedang membaca manual “cara cepat mencoret manusia dari bumi dengan prosedur legal.”
Terdakwa Senta Sitepu ditetapkan sebagai pemilik dan pengendali narkoba. Tiga lainnya—Puji Minarto Nasution, Sahrial, dan Benyamin Sembiring—jelas-jelas hanyalah kurir. Tapi sayangnya, hukum kita ternyata lebih percaya pada prinsip “semua rata asal cepat.”
Seperti tumpeng syukuran kantor: lauknya sama semua, walau selera dan kebutuhan orang berbeda. Mau kamu vegan atau punya kolesterol, tetap dapat rendang.
Untungnya, masih ada satu hakim bernama Pinta Uli Tarigan yang belum menyerahkan akalnya ke palu sidang. Ia menyuarakan dissenting opinion yang sejuk di tengah gurun rasa keadilan.
Katanya, “Saya tidak sependapat dengan pidana mati yang dijatuhkan terhadap terdakwa karena rasa keadilan dan moral.”
Kalimat yang sayangnya akan segera diredam dalam dokumentasi pengadilan, seperti catatan kaki dalam novel yang tidak akan dibaca.
Hakim Pinta bahkan menjelaskan bahwa tiga terdakwa hanya kurir, punya anak, belum pernah dihukum, dan tidak menikmati hasil penjualan sabu. Tapi sayangnya, negara ini lebih menghargai “teknis hukum” daripada “rasa keadilan.” Apalagi kalau perkara narkoba. Semakin berat vonisnya, semakin terlihat “komitmen.”
Seperti biasa, narasi perlawanan terhadap narkoba dimulai dengan jargon sakral: “perbuatan tidak mendukung program pemerintah memberantas narkoba.”
Wahai bapak dan ibu hakim, vonis mati kurir narkoba tak akan memberantas jaringan narkoba. Yang memberantas itu: penegakan hukum menyeluruh, pendidikan publik, penguatan rehabilitasi, dan penghentian transaksi aparat dengan mafia.
Menjatuhkan hukuman mati pada kurir sabu itu seperti membakar nyamuk dengan bom nuklir: dramatis, tapi tidak menyelesaikan masalah.
Para kurir ini bukan Pablo Escobar. Mereka bukan pemilik gudang sabu di laut internasional. Mereka juga bukan otak jaringan distribusi. Mereka cuma orang-orang tanpa kerja tetap yang dapat tawaran “cepat kaya” dari seseorang bernama Koher—yang, tentu saja, “masih buron.”
Selalu begitu. Aktor utama kabur, figuran dieksekusi.
Sistem peradilan kita tampaknya lebih semangat mengeksekusi orang miskin yang kelaparan daripada mengejar bos besar yang bersembunyi di vila dengan 12 CCTV dan satpam berseragam.
Pernahkah kita berpikir bahwa vonis mati ini punya rasa politis? Maksudnya bukan untuk kampanye pemilu, tapi kampanye moral publik.
Vonis mati kurir narkoba itu seperti kebijakan larangan ekspor saat harga naik: simbolik, dangkal, dan menghibur media.
Masyarakat melihat “negara tegas.” Padahal, yang ditegaskan cuma rasa frustrasi, bukan keadilan.
Lalu, kapan terakhir kali kita melihat gembong narkoba kelas kakap dijatuhi hukuman mati dan benar-benar dieksekusi? Yang sering terdengar justru grasi, remisi, atau transfer ke Lapas Premium.
Banyak orang bilang, “Mereka tahu risikonya. Jadi wajar dihukum mati.” Pernyataan yang terdengar adil, sampai kamu menyadari bahwa sebagian besar pelaku narkoba kelas bawah bahkan tak paham hukum dasar.
Mereka tidak punya akses pengacara, tak paham prosedur peradilan, dan dalam banyak kasus, ditangkap lewat penyamaran yang entah legal entah jebakan.
Tapi ya begitulah, keadilan di negeri ini lebih gampang diberikan ke orang berduit daripada ke orang berseragam tahanan oranye.
Vonis mati kurir narkoba juga merupakan bentuk kegagalan negara dalam menyediakan pilihan hidup.
Kalau negara berhasil memberi pekerjaan layak, pendidikan cukup, dan lingkungan aman, mungkin Puji, Sahrial, dan Benyamin tidak akan jadi kurir. Tapi karena semua itu nihil, maka mereka hanya jadi produk kebijakan yang gagal—yang kini harus dimusnahkan agar statistik kejahatan terlihat menurun.
Bunuh manusianya, bukan bunuh sebabnya. Begitu cara kita “menyelesaikan” masalah.
Tiga terdakwa menyatakan akan mengajukan banding. Mungkin mereka masih punya harapan, atau sekadar berusaha bertahan satu tahun lagi sebelum peluru menyelesaikan semua perkara.
Banding di negara ini kadang seperti minta ganti sendal jepit di ruang pengadilan. Formalitas. Tapi siapa tahu, keajaiban dissenting opinion Hakim Pinta bisa menyelinap ke hati hakim banding.
Tapi jangan terlalu berharap. Di negara yang menjadikan kemiskinan sebagai alat kampanye, keadilan untuk kelas bawah hanyalah selingan.
Vonis mati kurir narkoba bukanlah prestasi. Ia hanya pengingat bahwa negara masih lebih suka menghukum daripada memulihkan. Masih lebih semangat menembak mati pelaku kecil daripada menembak akar persoalan sosial.
Dan selama hukum masih dipraktikkan seperti pesanan nasi kotak—cepat, seragam, dan minim rasa—maka keadilan akan selalu terasa hambar.