Wajah buram penegak hukum di NTT

Polisi main judi dan cabuli korban pemerkosaan di kantor sendiri, publik bertanya: ini institusi penegak hukum atau lembaga stand-up comedy?
Wajah buram penegak hukum di NTT. © Herwin Bahar/Shutterstock
Polisi. © Herwin Bahar/Shutterstock

Di saat masyarakat sibuk mencicil motor dan berjuang menahan harga cabai yang tambah hari makin pedas, aparat penegak hukum di Nusa Tenggara Timur justru sibuk adu ayam dan adu syahwat. Ya, Anda tidak salah baca. Bukan menangkap maling, bukan mengurai macet, bukan pula memadamkan konflik horisontal. Tapi menyelenggarakan turnamen sabung ayam dan menyelenggarakan "layanan tambahan" kepada korban pemerkosaan. Semua paket lengkap—lokasi di kantor polisi, pemainnya anggota polisi, penontonnya masyarakat, penegaknya entah di mana.

Adalah Ajun Inspektur Satu Firmansyah, kepala Unit Reskrim Polsek Mollo Utara yang kini viral bukan karena mengungkap kasus pembunuhan atau menggerebek sindikat narkoba. Bukan. Beliau viral karena main sabung ayam.

Ya, betul. Sabung ayam. Aktivitas yang selama ini diasosiasikan dengan preman pasar dan lahan parkir liar, kini naik kelas karena dimainkan langsung oleh penegak hukum. Lebih absurd lagi, arena sabung ayam itu bukan sembarang tempat: berpagar kayu, ada wasit, penonton berjubel, dan tentu saja, ayam jago aduan yang kelak jadi korban sia-sia demi ego pejantan manusia.

Firmansyah masuk ke arena seperti petarung UFC, celana pendek dan masker terpasang, siap bertarung... atau bertaruh? Videonya viral, lengkap dengan suara ancaman kepada siapa pun yang mencoba merekam.

Kalau ini bukan parodi negara hukum, lantas apa?

Kapolres TTS, Ajun Komisaris Besar Sigit Harimbawan, menyatakan akan menindak tegas. Tentu saja pernyataan itu perlu dibumbui dengan daftar sanksi klise: teguran tertulis, mutasi, hingga penempatan dalam tempat khusus. Tempat khusus ini apakah artinya karantina moral? Entahlah.

Tapi tunggu dulu, pertanyaannya bukan soal hukumannya. Pertanyaannya, kok bisa kepala reskrim ikut taruhan ayam di depan publik dan baru ketahuan setelah viral? Di mana pengawasan internal? Atau jangan-jangan semua sudah terlalu sibuk bertaruh siapa yang jadi kapolsek berikutnya?

Jika Anda pikir sabung ayam adalah puncak absurditas, silakan duduk dan tarik napas. Karena dari Pulau Sumba, muncul kisah yang lebih gelap: seorang anggota Provost bernama Ajun Inspektur Satu Paulus Salo mencabuli korban pemerkosaan.

Bukan di rumah kosong. Bukan di gang sempit. Tapi di kantor polisi. Di ruang di mana korban datang mencari perlindungan. Di institusi yang seharusnya menjadi tempat terakhir untuk dikhianati.

Korban pemerkosaan yang datang untuk mengadu malah dijadikan objek pelecehan. Sungguh plot twist yang bahkan penulis drama Korea pun akan bilang, "Terlalu gelap, bro."

Kini Paulus Salo menghadapi sidang etik dan pidana. Syukurlah, Polri bergerak cepat. Tapi lagi-lagi, kita harus bertanya: ini kasus pertama atau hanya satu dari banyak yang tidak terekam kamera?

Dan kalau Anda pikir ini hanya dua insiden yang kebetulan terjadi berdekatan, sayangnya tidak. Kepala Polres Ngada, Ajun Komisaris Besar Fajar Widyadharma, sebelumnya juga jadi tersangka karena mencabuli anak di bawah umur. Lebih keji lagi, ia merekamnya dan mengunggah video itu ke situs porno Australia.

Bayangkan, seorang kapolres punya waktu, niat, dan keberanian untuk membuat konten eksplisit, mengedit (mungkin), lalu mengunggahnya ke situs luar negeri. Ini bukan sekadar penyimpangan. Ini industri satu orang yang berbaju dinas.

Kejahatan seksual yang melibatkan polisi aktif bukan hanya merusak moral institusi, tapi juga menghancurkan rasa percaya publik. Warga yang ingin lapor ke polisi kini akan berpikir dua kali. Takut bukan karena maling di luar, tapi karena predator di dalam.

Kepala Bidang Humas Polda NTT, Komisaris Besar Henry Novika Chandra, tentu saja berkata apa yang sudah kita hafal: "Kami tindak sesuai aturan yang berlaku tanpa pandang bulu." Tapi setelah mendengar kalimat itu berulang kali dalam setiap konferensi pers skandal polisi, kita mulai berpikir, apakah kalimat itu punya masa kedaluwarsa? Atau memang cuma template PR?

Kalau benar tindak tegas, mengapa kasus seperti ini terus terjadi berulang kali dan nyaris seragam pola kejadiannya? Apakah mekanisme pengawasan internal Polri hanya sebatas pajangan di dokumen reformasi birokrasi?

Dan mari kita jujur, ketika Polri menyebut "penegakan hukum tanpa pandang bulu," masyarakat sudah lebih dulu tertawa kecil. Karena dalam praktiknya, hukum kita sering kali seperti belati: tumpul ke atas, tajam ke bawah, dan tumpul juga ke sesama oknum.

Ironisnya, video sabung ayam yang viral itu memperlihatkan ratusan warga yang menonton sambil tertawa, bersorak, dan tentu saja bertaruh. Tapi apakah mereka benar-benar bersorak karena hiburan, atau karena sudah putus asa?

Ketika aparat penegak hukum ikut bermain dalam ruang ketidakadilan, masyarakat pun berhenti berharap. Dan ketika harapan mati, hiburan absurd pun jadi pelarian. Maka jangan heran jika masyarakat lebih suka menonton sabung ayam daripada menonton sidang paripurna. Setidaknya di arena ayam, hasilnya jelas: ada yang kalah, ada yang menang. Di arena politik dan hukum? Yang kalah selalu rakyat.

Tak cukup lagi membuat spanduk "Polri Presisi", "Zona Integritas", atau "Kami Siap Melayani Anda". Yang dibutuhkan institusi Polri adalah cermin. Bukan untuk merapikan topi, tapi untuk bercermin diri.

Sudah berapa kali publik memberi peringatan? Sudah berapa kali media menyorot? Sudah berapa kali narasi reformasi internal diluncurkan? Tapi tetap saja, dari sabung ayam hingga pelecehan, Polri di NTT menunjukkan gejala serius: institusi ini sedang demam moral.

Meski demikian, masyarakat masih punya satu senjata pamungkas: suara. Suara untuk tidak diam. Suara untuk merekam. Suara untuk bertanya. Suara untuk menolak lupa.

Karena jika tak ada yang bersuara, bukan tidak mungkin Firmansyah akan tetap bertaruh ayam setiap Minggu dan Paulus Salo akan tetap mengulangi kejahatannya tanpa gangguan. Hukum hanya hidup jika ada tekanan dari publik. Dan publik hanya bisa menekan jika tidak dibungkam rasa takut.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar