![]() |
Palu hakim. © Max Zolotukhin/Shutterstock |
Lima bulan sudah Paulus Tannos—buron kelas sultan spesialis pengadaan KTP elektronik—diamankan oleh lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Tapi jangan salah paham. Diamankan bukan berarti ditahan di sel pengap sambil menyesali dosa. Tidak. Paulus Tannos justru sibuk meniti karier baru sebagai pesulap hukum: menghilang dari tanggung jawab, muncul dengan kewarganegaraan baru, dan mengantongi paspor diplomatik dari negara Afrika Barat, Guinea-Bissau. Kalau bukan nyata, ini layak masuk plot film Netflix.
Sejak ditangkap CPIB pada 17 Januari 2025, publik menunggu-nunggu saat dramatis: Tannos mendarat di Halim, dijemput KPK, dan disorot kamera sambil menunduk penuh dosa. Tapi alih-alih adegan tangkap-tangan, kita malah disuguhi babak baru: Tannos resmi menjadi warga negara Afrika, pakai paspor diplomatik, dan menolak pulang secara sukarela.
Kalau koruptor lain cukup pura-pura sakit atau ngumpet di apartemen, Tannos naik level. Dia bukan hanya menolak pulang, tapi juga menuntut hak hukum di Singapura sebagai "pendatang legal." Sah. Rapi. Komplit. Dan tentu, menyebalkan.
Padahal, Paulus Tannos bukan nama baru dalam leksikon para pelahap anggaran negara. Sejak 2019, dia sudah ditetapkan sebagai tersangka. Posisi dia di PT Sandipala Arthaputra, yang terlibat dalam proyek KTP-E 2011–2013, menempatkannya di jantung dugaan korupsi masif bernilai triliunan.
Teman-temannya sudah diciduk. Isnu Edhy Wijaya dan Husni Fahmi sudah lebih dulu menikmati pemandangan jeruji, lengkap dengan bonus denda ratusan juta. Miryam S Haryani bahkan sudah masuk dan keluar penjara—bahkan dapat diskon vonis—dan kini masuk lagi sebagai tersangka baru. Tapi Tannos? Masih bebas, masih kaya, dan sepertinya sedang menyusun rencana wisata ke Afrika Selatan pakai visa diplomatik.
Kita pernah bangga dengan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura. Tanda tangan sudah, senyum-senyum sudah, konferensi pers sudah. Tapi ketika kasus konkret muncul, semua orang seperti baru sadar: ternyata menangkap buron dengan perjanjian ekstradisi itu ibarat mencoba memanggil kucing tetangga dengan suara anjing. Ribet.
Double criminality jadi syarat. Hak hukum warga jadi pertimbangan. Prosedur banding terbuka. Dan Paulus Tannos paham betul celah itu semua. Ia menjelma dari tersangka jadi pemain catur internasional yang mahir menggerakkan pion hukum antarnegara.
Setiap kali muncul kasus begini, kita disuguhi orasi heroik dari pejabat. "Kita akan kejar sampai ke ujung dunia!" katanya. Tapi nyatanya, negara ini lebih sering mengejar dari balik meja rapat.
Pemerintah Indonesia mengaku sudah melobi lewat jalur hukum dan diplomatik. Tapi tampaknya surat diplomatik kita kalah pamor dari paspor diplomatik Guinea-Bissau. Ibarat duel, kita bawa aturan, dia bawa imunitas.
Mau dikata apalagi? Negara seharusnya jadi harimau hukum. Tapi di hadapan Tannos, hukum Indonesia ngos-ngosan: berdiri, tapi tak bergerak lebih mirip boneka hukum.
Kalau biasanya koruptor cukup lari ke Singapura, beli apartemen, dan main golf, Tannos bikin standar baru. Dia bukan hanya kabur, tapi membuat karir dari pelariannya. Mulai dari berpindah warga negara, jadi diplomat gadungan, sampai berdebat dengan negara dalam ruang sidang internasional.
Dia seperti mengatakan: "Kalau mau mencuri, sekalian canggih!" Dan ironisnya, negara seolah mengangguk-ngangguk.
Pemerintah katanya sedang intens komunikasi diplomatik. Tapi kalau komunikasi itu hasilnya nol, maka itu bukan diplomasi. Itu curhat. Yang dibutuhkan bukan lagi sekadar nota diplomatik sopan, tapi tekanan keras, diplomasi imperatif yang menunjukkan bahwa negara ini punya harga diri.
Tannos sudah menampar wajah hukum kita lima bulan berturut-turut. Jika kita masih sibuk menyusun strategi dan surat balasan, maka jangan salahkan generasi muda kalau mulai percaya bahwa korupsi itu bukan dosa, tapi taktik.
Meme "koruptor kabur ke luar negeri lalu bilang sakit" sudah terlalu usang. Tapi Tannos berhasil menyuntikkan nyawa baru dalam template lawas ini. Dia bahkan tidak butuh dokter palsu. Cukup modal paspor dari negara eksotik dan pengacara yang mengerti loophole hukum internasional.
Sementara itu, negara kita malah sibuk menghitung dana pemulangan, membuat tim koordinasi, dan mengatur konferensi pers yang hanya mengulang: "Kami serius."
Ini yang paling mengkhawatirkan. Jika negara tidak mampu memulangkan Tannos, maka pesan yang tersampaikan ke publik adalah: lari dulu, nanti bisa dinegosiasi. Ganti kewarganegaraan, bawa paspor diplomatik. Game over.
Tannos bisa menjadi role model koruptor masa kini. Bukannya menyesal, malah jadi inspirasi. Bukannya ditangkap, malah jadi simbol betapa kacaunya sistem hukum kita.
Paulus Tannos kabur lima bulan. Bukan lima hari. Bukan lima minggu. Tapi lima bulan sejak ditangkap CPIB, dan hingga kini Indonesia belum bisa membawa pulang satu lembar jubahnya pun.
Kalau negara kalah menghadapi seorang buron, jangan salahkan warga negara jika suatu hari mereka bertanya: siapa sebenarnya yang lebih kuat, negara atau paspor Guinea-Bissau?
Dan satu hal lagi: tolong jangan sampai kasus ini jadi serial Netflix. Bisa-bisa judulnya nanti "The Great Escape: From Jakarta to Bissau" dan kita cuma dapat kredit di bagian "based on true incompetence."