Uang 915 miliar yang lupa dari mana asalnya

Kasus Zarof Ricar jadi tontonan pengadilan yang menghibur sekaligus menyedihkan: lupa asal uang 915 miliar dan emas 51 kg.
Uang 915 miliar yang lupa dari mana asalnya. © Asprilla Dwi Adha/Antara
Barang bukti. © Asprilla Dwi Adha/Antara

Pernahkah Anda lupa di mana menaruh uang 10 ribu? Wajar. Lupa kata sandi e-mail? Biasa. Tapi kalau Anda lupa pernah menyimpan 915 miliar tunai dan emas seberat 51 kilogram di dalam rumah sendiri, selamat—Anda setingkat dengan Zarof Ricar.

Zarof Ricar bukan sembarang beliau. Beliau bukan pesulap, bukan petani emas, bukan CEO unicorn. Beliau mantan pejabat di Mahkamah Amplop yang sekarang sedang jadi terdakwa dalam kasus suap dan gratifikasi, dengan tuntutan 20 tahun penjara dan denda 1 miliar. Tapi yang membuat publik lebih tercengang daripada jumlah tuntutan adalah pernyataan ikoniknya: "Saya lupa uang itu dari mana."

Penyidik Kejaksaan Agung menemukan uang tunai 915 miliar dan emas 51 kilogram di rumah Zarof. Tempat penyimpanannya? Brankas pribadi di kamar tidur. Sebuah konsep minimalis: kamar, ranjang, brankas triliunan, dan tentu saja, memori yang rusak.

Menurut pengakuannya dalam sidang, sebagian dari uang itu berasal dari perkara kasasi perusahaan gula. Dari situ, katanya, dia mendapatkan 50 miliar. Jadi masih ada 865 miliar yang entah muncul dari mana. Emasnya? Jangan tanya. Dia juga lupa.

Istri dan anaknya? Kompak. Mereka semua mengaku tak tahu menahu soal isi brankas di kamar tidur itu. Mungkin brankas itu punya kehidupan sendiri, seperti kulkas yang tiba-tiba penuh saat Anda lupa belanja.

Ketika duduk sebagai saksi dalam sidang terdakwa lain, Zarof kerap membuat hakim menghela napas panjang. Pernyataan seperti "saya lupa," "saya tidak tahu," dan "saya tidak ingat" menjadi kalimat paling sering diucapkan, mengalahkan doa pembuka sidang.

Ketua majelis hakim bahkan sempat bertanya, "Bapak terlalu banyak urus perkara, ya, sehingga lupa?" Sebuah sindiran yang lebih menusuk daripada dakwaan jaksa.

Publik mungkin berharap Zarof akan membawa catatan ke sidang, semacam daftar "uang gratifikasi hari ini dari siapa saja." Tapi sayangnya, menurut pengakuan Kejagung, catatan yang ditemukan di rumah Zarof hanya berisi beberapa nomor perkara. Sisanya? Kosong seperti ingatannya.

Dalam pleidoinya, Zarof mengaku menyesal. Beliau menyalahkan kelalaian menyimpan triliunan rupiah dan puluhan kilogram emas di rumah. Lalu mengaku ingin menjadi pribadi yang lebih baik di usia senja.

Sebuah kalimat dari pleidoinya patut dibingkai dan digantung di dinding kantor KPK: "Semoga perkara ini menjadikan saya pribadi yang lebih baik."

Kalimat itu setara dengan "maaf ya, saya tidak sengaja" setelah menabrak rumah tetangga dengan truk tronton.

Lebih lanjut, Zarof juga menyatakan bahwa jaksa tidak mampu membuktikan dari mana gratifikasi itu berasal, kapan terjadinya, untuk siapa, dan dalam konteks perkara apa. Maka, beliau meminta majelis hakim membebaskannya dari segala tuntutan.

Sebuah strategi yang brilian: kalau uangnya tidak bisa dijelaskan, maka hukumannya juga sebaiknya dihapus.

Zarof dituntut 20 tahun penjara. Tapi publik lebih tertarik pada pertanyaan sederhana: bagaimana seseorang bisa "lupa" asal-muasal uang satu triliun?

Apakah uang itu datang dari celengan? Dari arisan peradilan? Dari khayalan kolektif mafia hukum? Kita tidak tahu. Tapi satu hal yang jelas, kejahatan korupsi kini tampil dalam format yang lebih canggih: disamarkan sebagai hilang ingatan.

Zarof bahkan sempat ditetapkan sebagai tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) karena Kejagung curiga uang dan emas itu dikumpulkan dari aktivitas ilegal saat beliau bekerja di MA dari 2012 hingga 2020. Tapi aliran uangnya masih dalam investigasi. Karena, ya, transaksi tunai memang susah dilacak—kecuali dompetnya ngomong.

Dari rumah Zarof, penyidik menemukan catatan perkara. Tidak banyak, kata Kejagung. Tapi cukup untuk membuka peti lain: perkara suap empat hakim di kasus CPO. Jadi, seperti domino, uang dan emas Zarof perlahan menjatuhkan batu-batu korupsi lainnya.

Namun penyelidikan bukan tanpa hambatan. Banyak transaksi dilakukan tunai, banyak pihak yang enggan bersuara, dan tentu saja, para pelaku utama yang mungkin masih aktif duduk di kursi pengadilan, kejaksaan, atau bahkan MA itu sendiri.

Peneliti hukum menyebut ini sebagai fenomena mafia peradilan yang mengakar. Tapi publik lebih mengenalnya sebagai "lucu-lucuan pengadilan."

Bahwa kasus ini bisa membuka borok besar dalam sistem hukum Indonesia. Tapi tampaknya, demi stabilitas peradilan, ada yang lebih nyaman disimpan di laci—atau di brankas.

Sebab, kalau semua dibuka, maka akan terlihat bahwa Zarof bukan satu-satunya pemain. Beliau hanya perantara. Mesin utamanya: para hakim, pengacara, panitera, dan tokoh-tokoh hukum yang mungkin namanya belum disebut… karena belum tiba saatnya.

Rabu, 18 Juni 2025, sidang vonis Zarof akan digelar. Apakah dia akan divonis sesuai tuntutan, dibebaskan seperti Ronald Tannur, atau diberi bonus ingatan kembali oleh majelis hakim?

Publik menanti. Bukan karena percaya pada keadilan, tapi karena tak sabar ingin tahu episode selanjutnya.

Apakah emas 51 kilogram itu akan dikembalikan sebagai barang bukti yang tak terbukti? Apakah Zarof akan menulis buku "Cara Melupakan Uang 915 Miliar dan Tetap Hidup Bahagia"?

Atau mungkin Kejagung akan membuka babak baru, di mana semua tokoh drama hukum ini akhirnya muncul ke permukaan, tak bisa lagi bersembunyi di balik toga dan meja sidang.

Satu hal yang pasti: Indonesia tidak kekurangan pengadilan. Yang kita butuhkan hanya pengingat memori yang lebih kuat daripada kesaksian penuh "saya lupa."

Dan mungkin, satu pengadilan satire yang benar-benar menertawakan absurditas hukum kita.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar