Penyangkalan pemerkosaan '98 memperkuat impunitas

Ketika sejarah diperdebatkan, korban diperlakukan seperti rumor murahan—Fadli Zon seolah berdiri di atas kebenaran yang bisa dinegosiasikan.

Penyangkalan pemerkosaan 98 memperkuat impunitas. © Makna Zaezar/Antara
Fadli Zon. © Makna Zaezar/Antara

Dalam wawancara panas di saluran YouTube IDN Times pada 10 Juni, Fadli Zon menyangkal pemerkosaan '98. Ya, beliau dengan tenang mengatakan, "tidak pernah ada buktinya" dan menyebutnya sekadar "rumor". Padahal catatan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sudah mengakui 52 kasus pemerkosaan, 14 pemerkosaan disertai penganiayaan, puluhan gang rape di Jakarta, Medan, Surabaya. Namun bagi Fadli Zon, semua itu suara-suara sejarah yang bisa ditulis ulang—tergantung sejarawan yang ditunjuk. Jadi bukan fakta, tapi barang dagangan historis.

Makanya, suara masyarakat sipil, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas kaget bukan main. Mereka langsung meminta Fadli Zon untuk meminta maaf atau mundur dari jabatan Ketua Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan (GTK). Karena menolak fakta jelas-jelas berarti memberi lampu hijau pada siapa pun untuk menghapus bagian yang tidak nyaman dari ingatan kolektif bangsa.

Kalau di dunia jurnalistik biasa kita punya istilah fact-check, maka tindakan ini bisa dilihat sebagai history-check. Tapi Fadli Zon tidak sekadar bilang belum ada bukti; ia menolak seluruh hasil TGPF, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan saksi-saksi historis. Ia minta bukti di buku sejarah—seolah kalau terlambat masuk edisi pertama, zaman digital bisa dianggap "belum ada."

Padahal TGPF dibentuk pada 23 Juli 1998 oleh Presiden BJ Habibie, dan telah menelusuri laporan kekerasan seksual di Jakarta, Medan, Surabaya, Solo. Mereka menemukan gang rape—korban diperkosa bergiliran, di depan umum—yang sasarannya utamanya adalah perempuan Tionghoa dan minoritas lainnya. Belum lagi bukti dari psikiater, perawat, pendamping korban. Semua lengkap. Tapi Fadli Zon bilang "itu hanya cerita."

Korban dan penyintas jadi pihak yang paling tercecer. Mereka diperlakukan seperti hoaks: kalau tidak bawa saksi dan dokumen di tangan, itu tidak bisa dibuktikan. Padahal, mengungkap kebenaran sejarah tidak sama dengan membuktikan pidana di pengadilan—yang butuh bukti kuat, dua saksi, dan formalitas lainnya. Sejarah butuh kesaksian dan catatan. Dan itu sudah tersedia.

Masyarakat sipil dan akademisi juga dipinggirkan. Selama ini mereka berjuang untuk menegakkan fakta melalui TGPF. Pernyataan penyangkalan dari tokoh sekelas Fadli Zon memperkuat impunitas dan melemahkan komitmen negara di ranah hak asasi manusia.

Pernyataan Fadli Zon membuka pintu besar bagi para revisionis sejarah. Mereka bisa memilih bagian mana yang "nyaman" dan yang ingin dihapus. Harus dibuka? Iya. Dialog? Penting. Tapi jangan samakan kekerasan seksual seperti sakelar lampu yang bisa dihidup-matikan sesuka hati.

Imbasnya, negara mengaburkan ingatan kolektif tentang hak asasi perempuan di era transisi Orde Baru. Ini adalah ancaman terhadap keadilan, yang kemana-mana berjalan dengan kaki lamban. Lebih parahnya, suara penyintas bisa dipukul mundur sebagai "rumor tak berdasar," meski bukti-buktinya sudah diakui TGPF.

Koalisi Perempuan Indonesia dan Koalisi Melawan Impunitas menyampaikan 10 tuntutan tegas:

  1. Mengecam pernyataan Fadli Zon sebagai bentuk penyangkalan sejarah.
  2. Minta klarifikasi dan permintaan maaf terbuka.
  3. Batalkan jabatan GTK—karena bisa "memimpin" revisi sejarah.
  4. Stop proyek "sejarah resmi" yang bisa jadi alat propaganda.
  5. Dorong ruang partisipatif—libatkan korban dan penyintas dalam penulisan sejarah.
  6. Pertahankan laporan TGPF, Komnas HAM/Perempuan.
  7. Desak Kejagung membuka kasus di TGPF dan membentuk tim penyidik ad hoc.
  8. Tolak rehabilitasi politik Soeharto dan figur lain era Orde Baru.
  9. Pastikan negara mengakui kemanusiaan dan memulihkan korban.
  10. Ajakan publik agar terus kawal narasi sejarah.

Ini bukan drama politik murahan. Ini soal integritas bangsa, dan pengakuan serta keadilan bagi puluhan perempuan yang merdeka secara hukum, tapi terus dipinggirkan dalam sejarah.

Fadli Zon bilang: "Sejarah itu historiografi. Semua tergantung sudut pandang negara." Padahal sudut pandang itu harus berbasis data dan dialog. Bukan menghapus catatan ketika sulit berkata jujur. Revisi sejarah bukan masalah—kalau transparan, inklusif, dan berbasis fakta. Tapi jika digunakan untuk menutupi pelanggaran HAM atau kekerasan seksual—itu adalah korupsi terhadap memori nasional.

Fadli Zon membandingkan kisah Bung Tomo atau Soekarno yang oleh Belanda dianggap teroris, tetapi bagi Indonesia adalah pahlawan. Tapi ini salah konteks. Bung Tomo menghadapi penjajah, sedangkan para korban '98 menghadapi pelaku dalam negara sendiri.

Beda antara perjuangan kemerdekaan dan kekerasan terhadap perempuan yang dinafkahi negara, tapi kemudian dihapus dari sejarah resmi. Jadi analogi Fadli Zon di sini tidak hanya tidak pas—tapi menggambarkan minimnya empati dan ketidakmampuan merupakan refleksi kesalahan moral.

Memang sulit menerima bahwa suara rezim lama masih bergema, menolak suara korban. Fadli Zon menyangkal pemerkosaan '98 bukan hanya kata-kata kosong. Itu tindakan revisionisme yang melecehkan kerentanan manusia, melecehkan hak perempuan, dan melecehkan tugas negara dalam menjaga akurasi sejarah.

Bangsa ini perlu sejarah yang adil—yang mengakui semua kebenaran, tak terkecuali bagian pahit dan menjijikkan. Jika kita bisa menulis ulang kebenaran, maka kita sedang menulis ulang masa depan. Jika kita bisa menghapus kekerasan '98 dari buku sejarah, maka keadilan akan meninggalkan negeri ini selamanya.

Dan satu hal yang pasti: lupa bukan hanya kehilangan ingatan. Tapi kehilangan kemampuan untuk belajar.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar