![]() |
Palu hakim patah. © Valerii Evlakhov/iStock |
Selamat datang di negeri keadilan berbiaya premium, di mana ruang sidang tidak lagi jadi tempat mencari kebenaran, tapi ladang transaksi. Ya, inilah republik yang menyaksikan hukum berubah jadi katalog diskon: pasal bisa dinego, vonis bisa dikorting, asal isi amplop sesuai standar industri. Dan sekarang, pemerintah hadir membawa solusi instan nan ajaib: naikkan gaji hakim! Katanya, kenaikan gaji hakim akan hentikan jual beli keadilan.
Sayangnya, logika ini terdengar seperti meyakini bahwa penyebab korupsi adalah karena kurang uang jajan. Padahal kalau kita mau jujur, uang bukan satu-satunya alasan para hakim itu bisa berubah dari "wakil Tuhan" jadi "makelar surga".
Mari kita buka lembaran realitas: suap ratusan juta, bahkan miliaran, terus mengalir ke ruang peradilan. Mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, disebut-sebut menerima aliran uang sebesar Rp915 miliar. Kalau suapnya segede itu, masa iya masalahnya cuma karena gaji kurang?
Kenaikan gaji hakim tidak akan hentikan jual beli keadilan kalau watak dasarnya tetap sama: ambil amplop, tutup mata, dan goyang palu. Jadi, percayalah, kenaikan gaji itu bukan jaminan kalau hukum akan kembali suci. Sebaliknya, bisa jadi justru jadi tarif baru. Sogokan dinaikkan sekalian menyesuaikan gaji.
Hari ini, yang miskin hanya bisa duduk diam sambil meratap di pojokan ruang sidang. Sedangkan para konglomerat, politisi, dan pengusaha hitam datang dengan kuasa hukum dan koper penuh harapan. Bukan harapan akan keadilan, tapi harapan agar pasal bisa ditafsir ulang dengan sedikit persuasi dan sebotol bir dingin di belakang layar.
Keadilan di negeri ini sudah lama disubkontrakkan. Dari kasus perdata hingga pidana, semuanya bisa dinegosiasikan asal saluran uangnya lancar. Maka kenaikan gaji hakim tidak akan hentikan jual beli keadilan selama hukum masih tunduk pada isi dompet, bukan pada moralitas.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024, hakim golongan IIIa yang baru setahun kerja gajinya naik 280%. Dari Rp2,78 juta jadi Rp7,79 juta. Itu belum termasuk tunjangan yang jumlahnya bikin tukang parkir bengong: tunjangan ketua pengadilan bisa mencapai Rp56,5 juta per bulan. Jadi, sekali lagi, apa benar para hakim ini korupsi karena lapar?
Rasanya tidak. Ini bukan soal kebutuhan dasar, ini soal kerakusan. Bukan soal perut, ini soal mental. Kenaikan gaji boleh saja, tapi jangan berharap moral ikut naik otomatis. Integritas tidak bisa dibeli dengan PP baru atau tunjangan jabatan.
Presiden Prabowo Subianto, dengan semangat reformasi instan, mengatakan kenaikan gaji demi mencegah hakim tergoda suap. Tapi apakah memang sesederhana itu? Jangan-jangan, yang terjadi justru sebaliknya: dengan naiknya harga "moral", maka harga beli keadilan juga naik.
Mau suap putusan? Siapkan dana ekstra. Dulu cukup Rp100 juta, sekarang harus Rp500 juta. Karena, hey, cost of living hakim juga meningkat, man. Ini adalah hukum ekonomi versi Mahkamah Amplop: semakin tinggi gaji, semakin tinggi pula harga kompromi.
Solusi gaji ini jadi makin terlihat konyol kalau kita melihat akar masalah sebenarnya: lemahnya sistem pengawasan dan buruknya manajemen sumber daya manusia. Banyak hakim lahir dari sistem rekrutmen yang tidak transparan, penuh titipan, bahkan nepotisme. Ketika masuk lewat jalur belakang, jangan heran kalau isi pikirannya juga orientasinya ke belakang—ke rekening belakang.
Pengawasan? Coba tanya siapa yang benar-benar pernah disidang karena mempermainkan vonis. Bahkan kalau ketahuan sekalipun, seringkali sanksinya hanya mutasi, bukan pemecatan. Seolah-olah mempermainkan keadilan adalah kesalahan administratif, bukan pelanggaran etika berat.
Pertanyaan mendasar sebenarnya bukan "berapa gaji hakim", tapi "seberapa berintegritas hakim itu?" Gaji besar tanpa integritas adalah seperti jas Armani di tubuh maling. Kelihatan mewah, tapi bau amisnya tetap tercium.
Apalagi, negara sudah memberikan banyak fasilitas: rumah dinas, tunjangan tinggi, keamanan. Jadi, jika masih korup, itu bukan karena negara pelit, tapi karena pribadi yang memang rakus. Kenaikan gaji hakim tidak akan hentikan jual beli keadilan jika kita tetap rekrut orang-orang yang salah dari awal.
Kalau pemerintah serius ingin memperbaiki wajah peradilan, jangan hanya mengelap keringat dengan uang. Lakukan reformasi menyeluruh. Perbaiki sistem rekrutmen, tingkatkan pengawasan, perkuat Komisi Yudisial, dan berikan ruang bagi publik untuk ikut mengawasi kinerja hakim.
Dan, tolong, jangan terus-terusan memakai logika malas: "mereka korup karena miskin." Karena yang kita lihat, justru mereka korup karena tahu tidak akan dihukum. Sistemnya rusak, pengawasnya tidur, dan budaya hukum kita lebih cocok disebut hukum rimba digital, di mana yang kuat dan berduitlah yang menang.
Sekarang mari kita cek hasil dari kebijakan ini beberapa tahun ke depan. Apakah jumlah kasus korupsi berkurang? Apakah putusan pengadilan lebih konsisten dan adil? Atau justru kita akan lihat daftar gratifikasi yang makin gila-gilaan nilainya?
Jangan sampai kebijakan ini justru menjadikan ruang sidang sebagai pasar swalayan keadilan, di mana harga vonis ditentukan oleh supply dan demand. Jika itu yang terjadi, maka bangsa ini tidak sedang maju—kita hanya mengganti spanduk reformasi dengan promosi gaji baru.
Keadilan bukan barang dagangan, dan hakim bukan kasir supermarket. Tapi selama logika negara masih percaya bahwa harga nurani bisa ditentukan lewat tunjangan jabatan, maka kenaikan gaji hakim tidak akan hentikan jual beli keadilan. Yang berubah hanya harga. Isinya tetap sama: busuk.