![]() |
Kucing oren dan tikus sekarat. © Reezky Pradata/iStock |
Ada satu penyakit kronis yang tampaknya tak ingin disembuhkan oleh negeri ini: percaya bahwa semua masalah bisa selesai dengan uang. Termasuk soal korupsi. Ketika ratusan kepala daerah tertangkap mencuri uang warga negara, solusinya justru bukan memperkuat integritas, memperbaiki sistem, atau memangkas biaya politik. Bukan. Solusinya malah menaikkan gaji mereka. Iya, benar. Gaji. Seolah-olah pejabat korup karena miskin, bukan karena rakus.
Padahal, gaji besar bukan solusi korupsi kepala daerah. Itu cuma obat nyamuk di hutan kebakaran. Tidak relevan. Tidak berguna. Tapi tetap dijual ke publik seolah-olah bisa mengusir nyamuk sekaligus memadamkan api.
Buktinya sudah jelas dan terang benderang. Mari kita mulai dari pegawai negeri yang kerjanya santai tapi kantongnya tebal. Di instansi dengan remunerasi menggemukkan dompet dan hati, tetap saja ada yang tertangkap tangan oleh KPK karena tidak bisa menahan godaan untuk nyicipi anggaran negara.
Contohnya, mantan Kepala SKK Migas. Gaji resminya Rp250 juta per bulan, plus tunjangan dan segala bonus yang membuat warga biasa merasa miskin hanya dengan membaca slip gajinya. Tapi apa yang terjadi? Tetap saja tangan gatal untuk mencicipi dana haram. Mungkin uang halal rasanya kurang sedap.
Lalu ada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Selama menjabat, ia digaji lebih dari Rp12 miliar. Tapi tetap saja korupsi. Kenapa? Karena ketika keserakahan sudah jadi gaya hidup, gaji hanya jadi alasan untuk menutupi kerakusan.
Dan jangan lupakan para gubernur yang kekayaannya miliaran rupiah, tapi tetap tertarik jadi pelanggan tetap penjara Sukamiskin. Mereka tidak lapar. Mereka hanya terlalu mencintai uang dan terlalu malas jujur.
Di sinilah muncul logika terbalik yang luar biasa: karena kepala daerah banyak yang korup, maka solusinya adalah… menaikkan gaji mereka. Serius. Ini bukan naskah film komedi. Ini betul-betul usulan dari pejabat negara. Bahkan disampaikan dengan wajah serius dan nada prihatin.
Sekretaris Jenderal KPK, Cahya H Harefa, misalnya, dengan penuh keyakinan meminta pemerintah menaikkan gaji kepala daerah agar mereka tidak tergoda korupsi. Sayangnya, beliau lupa satu hal: yang bikin orang korup itu bukan karena kurang uang, tapi karena berlebih nafsu.
Menaikkan gaji pejabat demi mencegah korupsi ibarat memberi makan ular berbisa dengan harapan dia akan berubah jadi kadal jinak. Tidak hanya keliru, tapi juga membahayakan. Apalagi jika uang warga negara dipakai untuk membiayai kenaikan gaji pejabat yang belum tentu punya niat baik.
Masalah sesungguhnya ada di hulu, bukan di hilir. Akar dari korupsi kepala daerah itu bukan gaji kecil, tapi biaya kontestasi politik yang mahalnya setara dengan membangun dua kecamatan baru. Untuk menjadi bupati atau wali kota, kandidat harus menyediakan Rp20–30 miliar. Kalau mau jadi gubernur? Siapkan dana Rp30 sampai Rp100 miliar. Dan semua itu tanpa jaminan menang.
Sementara itu, gaji kepala daerah selama lima tahun hanya sekitar Rp5 miliar. Kalau kita pakai kalkulator jujur, jelas tidak sebanding. Maka jangan heran kalau setelah terpilih, banyak kepala daerah langsung sibuk mengembalikan "modal kampanye" lewat proyek fiktif, markup anggaran, atau jual-beli jabatan.
Korupsi bukan soal kebutuhan, tapi strategi bisnis politik. Dan menaikkan gaji tidak akan menghentikan bisnis ini. Justru memberi gaji lebih besar akan membuat para koruptor makin semangat ikut kontestasi. Karena untungnya berlipat: gaji legal naik, proyek ilegal tetap jalan.
Dalam dua dekade terakhir, KPK mencatat ada 167 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Tapi entah kenapa, jumlah itu tidak cukup membuat calon kepala daerah berikutnya takut. Mungkin karena penjara untuk koruptor di negeri ini lebih mirip hotel dengan menu pilihan.
Vonis ringan, remisi besar-besaran, dan bebas bersyarat yang terlalu cepat menjadi bonus tambahan. Jadi, mengapa takut korupsi? Toh kalau ketahuan, tinggal masuk bui sebentar, lalu keluar jadi "mantan" dengan kekayaan yang tetap utuh karena tidak semua bisa dirampas.
Di sini, hukum bukan lagi alat pencegah, tapi hanya formalitas. Maka jangan heran kalau korupsi jadi olahraga nasional baru. Semakin tinggi jabatan, semakin besar peluang untuk mencetak "rekor pribadi".
Kalau mau serius memberantas korupsi kepala daerah, jangan mulai dari amplop gaji. Mulailah dari sistem. Perbaiki proses rekrutmen politik. Pangkas biaya kampanye. Hapus politik balas budi. Buat aturan ketat soal perampasan aset koruptor. Dan yang terpenting: jadikan jabatan publik sebagai amanah, bukan ladang usaha.
Revisi sistem pemilihan kepala daerah agar lebih transparan dan terjangkau. Bentuk pengawasan yang independen dan tegas. Wajibkan keterbukaan dana kampanye. Dan pastikan bahwa pejabat yang ketahuan korup tidak bisa lagi nyalon.
Karena selama sistem bobrok masih dibiarkan, menaikkan gaji kepala daerah hanya akan membuat mereka makin nyaman mencuri. Uang warga negara akan terus bocor, dan kita sebagai warga negara akan terus dibodohi oleh pejabat-pejabat rakus.
Sudah cukup lama warga diminta maklum pada kejahatan pejabat. Sudah cukup sering kita disuruh sabar atas korupsi yang katanya bisa dicegah dengan tunjangan. Padahal yang mereka minta bukan solusi, tapi alasan untuk menambah fasilitas.
Kalau sistem tidak dibenahi, kenaikan gaji hanya jadi subsidi untuk gaya hidup pejabat yang tidak tahu malu. Warga negara bukan mesin ATM. Dan korupsi bukan penyakit yang bisa disembuhkan dengan honor tambahan.
Kalau memang niatnya mengabdi, seharusnya cukup dengan gaji yang layak dan amanah yang besar. Kalau masih korup juga, itu bukan karena kurang uang, tapi karena terlalu banyak serakah.
Mari berhenti menyiram tanaman korupsi dengan pupuk gaji. Sudah saatnya cabut sampai ke akarnya—dari sistem yang busuk, dari hukum yang lembek, dan dari logika sesat yang terus dipertahankan demi kenyamanan pejabat yang hidup dari uang warga negara.