KPK OTT proyek jalan PUPR Sumut, enam orang ditangkap

KPK OTT proyek jalan Dinas PUPR Sumut, ASN dan swasta kompak terbang ke Jakarta demi keadilan—atau minimal demi konferensi pers.

KPK OTT proyek jalan PUPR Sumut, enam orang ditangkap. © Fauzan/Antara
Seorang terduga kasus korupsi (kedua kiri) tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (27/6/2025) malam. © Fauzan/Antara

Dalam sebuah negeri di mana lubang jalan lebih mudah ditemukan daripada lubang hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi kembali membuktikan bahwa semangat membangun masih hidup—terutama semangat membangun jaringan korupsi yang terstruktur dan terarah. Kali ini, KPK OTT proyek jalan PUPR Sumut, dan enam orang yang diduga terlibat langsung diterbangkan ke Jakarta. Tiketnya? Bukan first class, tapi dijamin cepat dan gratis, courtesy of justice.

OTT ini terjadi di Mandailing Natal, Sumatera Utara, Kamis malam, 26 Juni. Keesokan harinya, enam orang yang terdiri dari ASN, pejabat penyelenggara negara, dan pihak swasta diterbangkan menuju Gedung Merah Putih, bukan untuk studi banding, melainkan untuk menghadapi pertanyaan demi pertanyaan dari penyidik KPK.

Menurut juru bicara KPK, Budi Prasetyo, kasus ini terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Provinsi Sumut dan proyek preservasi jalan di Satker PJN Wilayah 1. Artinya, bukan hanya satu proyek yang dijamah, tapi dua sekaligus. Kita menyebutnya "korupsi paket hemat".

Yang menarik, Budi menyebut adanya dua klaster penerimaan dana haram. Sebuah inovasi luar biasa dalam tata kelola korupsi daerah: ketika satu amplop terasa kurang, buatlah dua jalur distribusi agar semua kebagian. Di negeri ini, bahkan korupsi sudah terbagi dalam klaster—lebih rapi dari sistem zonasi sekolah.

Begitu ditangkap, keenam orang langsung diboyong ke Jakarta. Tidak ada jeda untuk menyesali perbuatan atau menyusun alibi. Pesawat sudah menunggu. Mereka mendarat di ibu kota bukan untuk liburan, tapi untuk menjelaskan mengapa jalan-jalan di Sumatera Utara penuh lubang sementara rekening pribadi mereka begitu sehat.

Sesuai prosedur, KPK punya waktu 1x24 jam sejak penangkapan untuk menentukan status hukum mereka. Namun publik, yang sudah kenyang dengan drama seperti ini, kemungkinan besar sudah bisa menebak arah cerita. Satu atau dua orang akan ditetapkan sebagai tersangka, lalu selebihnya akan tampil di konferensi pers dengan wajah lelah dan kemeja batik kebesaran. Sisanya? Kita tunggu drama sidang di Pengadilan Tipikor.

Proyek jalan di Sumatera Utara sudah lama jadi medan basah. Setiap kilometer yang dibangun sering kali tak hanya melibatkan alat berat, tetapi juga amplop tebal. Sebab di balik setiap penurunan harga satuan aspal, selalu ada markup yang misterius. Dalam kasus ini, PUPR Sumut dan Satker PJN Wilayah 1 menjadi lahan garapan yang begitu strategis—jalan diperbaiki, tapi moral justru rusak total.

Apa yang sebenarnya terjadi dalam proyek-proyek ini? Kita hanya bisa menebak. Tapi pola umumnya jelas: pemenang tender sudah diatur, pengawas proyek tutup mata, dan laporan akhir dibuat seindah mungkin—sementara lapangan hanya diaspal tipis-tipis.

Adanya dua klaster penerimaan uang haram mengindikasikan bahwa pelaku korupsi pun kini lebih rapi. Mungkin mereka telah belajar dari sistem pendidikan nasional yang berbasis zonasi. Klaster satu menangani proyek di PUPR provinsi, klaster dua di Satker PJN. Masing-masing punya spesialisasi dan tim lapangan. Tidak menutup kemungkinan, dalam waktu dekat kita akan melihat korupsi berbasis startup: scalable, agile, dan berbasis teknologi digital.

Tentu saja, ini semua masih dugaan. Namun jika benar, Indonesia bisa mematenkan sistem korupsi terstruktur ini sebagai warisan budaya tak benda.

Seperti biasa, KPK akan menggelar konferensi pers. Di sana kita akan menyaksikan parade wajah-wajah kalem, beberapa di antaranya mungkin sempat viral karena menang lomba pelayanan publik. Tapi kini, mereka duduk sejajar di hadapan media, menjelaskan bahwa mereka tidak bersalah, hanya menjadi korban sistem, atau bahkan tidak tahu-menahu soal proyek tersebut.

Beberapa dari mereka mungkin akan berkata: “Saya hanya menjalankan perintah.” Sebuah pernyataan favorit para tersangka korupsi sejak zaman orde baru.

Sementara para tersangka dibawa ke Jakarta, rakyat Mandailing Natal masih harus menunggu jalan-jalan yang rusak diperbaiki. Sebab, ketika proyek penuh korupsi, hasilnya adalah jalan yang hanya kuat dilalui saat musim kering. Saat hujan datang, semua kembali ke bentuk semula: lubang, kubangan, dan genangan air penuh harapan.

KPK OTT proyek jalan PUPR Sumut adalah pengingat pahit bahwa infrastruktur di negeri ini bukan hanya soal konektivitas, tapi juga soal siapa yang paling cepat menghubungkan proyek ke rekening pribadi. Dan ironisnya, publik sudah lelah untuk marah.

OTT ini bisa menjadi momen refleksi bagi para pejabat daerah. Tapi mari jujur: berapa banyak OTT yang sudah terjadi tanpa hasil jera? Beberapa pelaku malah kembali duduk di jabatan yang sama setelah menjalani hukuman. Seolah-olah penjara hanyalah kursus singkat sebelum naik pangkat.

Jika sistem pengadaan proyek tidak diperbaiki, jika transparansi masih jadi slogan kosong, maka proyek-proyek di daerah akan tetap menjadi ladang basah yang menggiurkan. Bukan hanya bagi pejabat, tapi juga bagi pihak swasta yang terbiasa main belakang.

Membangun jalan fisik itu mudah. Yang sulit adalah membangun jalan pikiran yang jujur. KPK OTT proyek jalan PUPR Sumut adalah satu batu loncatan. Tapi kalau batu itu hanya diinjak sebentar lalu ditinggalkan, maka pembangunan tak akan pernah selesai—dan korupsi akan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem birokrasi.

Rakyat boleh berharap, tapi tanpa perubahan menyeluruh, OTT hanya akan menjadi tontonan rutin. Semacam reality show versi hukum, yang pemain utamanya selalu datang dari sektor yang sama: Dinas, tender, dan proyek infrastruktur.

Dan kita? Kita akan terus mengeluh soal jalan rusak, tanpa tahu bahwa rusaknya bukan karena alam, tapi karena sistem yang sudah lama bocor.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar