![]() |
Personel United Kingdom (UK) Royal Marine Band tampil di Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (27/6/2025). © Fauzan/Antara |
Taman Lapangan Banteng, yang biasanya dipadati warga yang sedang berolahraga, berfoto OOTD, atau mencari sinyal internet gratisan, sore itu berubah menjadi arena pertunjukan diplomatik bergaya mars militer. Jumat, 27 Juni 2025, Royal Marine Band dari Inggris tampil gagah—lengkap dengan seragam dan nada-nada khas parade kolonial—di tengah suasana tropis nan lembap khas Jakarta. Dan ya, Jakarta pun seolah-olah sejenak menjadi bagian dari Inggris Raya, tanpa harus melewati proses visa yang rumit.
Acara ini bukan sembarang konser. Ini adalah bagian dari perayaan Hari Ulang Tahun ke-498 Jakarta—kota yang usianya hampir lima abad tapi tetap setia memelihara semangat macet, banjir, dan pembangunan tiada henti.
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, hadir bersama Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Dominic Jermey. Keduanya tampak bersemangat meski kemeja formal mereka jelas sedang diuji oleh suhu tropis dan semangat nasionalisme yang mendadak lintas-benua.
Dalam sambutannya, Pramono menyampaikan “apresiasi”—kata sakti yang selalu muncul di setiap pidato resmi. Ia menyatakan bahwa penampilan Royal Marine Band adalah simbol eratnya hubungan kerja sama antara Jakarta dan Inggris. Sebuah hubungan yang tampaknya terjalin melalui not-not musikal dan bukan melalui pengaspalan jalan atau penataan kabel listrik.
“Saya yakin, Royal Marine Band akan menampilkan musik yang diterima baik oleh masyarakat Jakarta,” ujar Pramono, dengan penuh keyakinan yang tak kalah dari ketika ia mengesahkan revisi anggaran DKI minggu lalu.
Konser ini tentu tidak hanya soal musik. Ini adalah bagian dari strategi branding besar: menjadikan Jakarta sebagai kota global. Sebuah konsep yang—walau belum memiliki definisi tetap—selalu menjadi bahan andalan dalam pidato pejabat yang suka menonton TED Talk.
Menurut Pramono, kerja sama dengan universitas seperti Nottingham akan mendorong peningkatan kualitas SDM Jakarta. Karena, tentu saja, mengundang band militer dari Inggris dan menandatangani MoU dengan universitas luar negeri secara otomatis membuat warga Jakarta lebih pintar dan jalanan lebih lancar.
Tak lupa, sang gubernur menyinggung inisiatif luar biasanya: membuka Taman Lapangan Banteng 24 jam. Inspirasi ini ia dapatkan dari taman-taman di London. Rupanya, setelah menonton tupai berlarian di Hyde Park pukul 2 pagi, Pramono mendapat ilham untuk membiarkan warga Jakarta juga merasakan nikmatnya ruang terbuka di dini hari—meskipun kemungkinan besar akan digunakan untuk hal-hal yang tidak dimaksudkan dalam brosur wisata.
“Sejak dibuka 24 jam, antusiasme masyarakat luar biasa,” ujar Pramono, dengan nada puas. Memang luar biasa: warga Jakarta kini bisa jogging, rebahan, atau TikTok-an di bawah lampu taman pukul 3 pagi, ditemani nyamuk dan kenangan masa lalu.
Duta Besar Inggris Dominic Jermey tak ketinggalan menyampaikan betapa ia merasa “terhormat” atas kesempatan ini. Ia menegaskan bahwa konser Royal Marine Band bukan hanya ajang pamer talenta, tetapi juga diplomasi budaya yang memperkuat hubungan Inggris-Indonesia. Sebuah hubungan yang telah lama terjalin sejak era VOC, kolonialisme, dan ekspor teh.
“Ini bukan hanya soal musik, tapi juga memperkuat persahabatan,” ujar Jermey, sambil tersenyum diplomatis. Pernyataannya diiringi dentuman trompet dan tabuhan snare drum, seolah-olah menjadikannya soundtrack dari pernyataan geopolitik yang lembut tapi tegas.
Kerja sama dengan Nottingham University juga turut dielu-elukan, meskipun belum dijelaskan apakah mahasiswa Jakarta akan otomatis mendapat beasiswa atau hanya mendapat kunjungan Zoom dari dosen Inggris yang memakai jas tweed dan aksen tebal.
Salah satu momen penting dalam acara ini adalah penegasan Pramono bahwa Lapangan Banteng adalah simbol keterbukaan Jakarta. Dibuka 24 jam, taman ini kini menjadi arena ekspresi warga—dari latihan angklung hingga konten TikTok slowmo.
Tentu saja, keputusan ini lahir dari inspirasi yang tinggi: taman-taman Eropa. Karena, seperti yang kita semua tahu, meniru kota Barat adalah formula sakti untuk menjadi kota global, walaupun Jakarta dan London berbeda 11 jam waktu dan 11 meter kedalaman banjir.
Namun, bukan berarti keputusan ini tanpa risiko. Karena taman yang buka 24 jam bisa berarti lebih banyak tempat ngumpul anak muda yang nongkrong sambil makan mie gelas, lebih banyak titik rawan untuk kenangan mantan, dan tentunya, potensi konser dadakan oleh band marching dari negara-negara sahabat lain yang ingin unjuk gigi.
Penampilan Royal Marine Band berlangsung dengan khidmat dan harmonis, meski sebagian warga tampak sibuk merekam dengan ponsel, mengunggah ke Instagram Stories dengan filter merah-putih. Musik militer khas Inggris berkumandang, memecah suasana Lapangan Banteng yang biasanya diisi dengan teriakan bocah main skateboard.
Band memainkan lagu-lagu klasik dengan presisi militer yang luar biasa. Penonton terpukau. Sebagian bingung. Sebagian lagi mengira ini adalah bagian dari parade 17 Agustus yang datang terlalu awal.
Bagi Gubernur Pramono dan Dubes Jermey, konser ini adalah bukti bahwa musik bisa menyatukan bangsa—bahkan bangsa-bangsa yang dulunya pernah saling menjajah atau dijajah.
Setelah konser berakhir, masyarakat berbondong-bondong mengambil foto dengan para musisi Inggris, yang tampak kebingungan apakah harus memberi hormat atau membentuk jari “peace” seperti yang diajarkan oleh panitia lokal.
Para pejabat tersenyum di depan kamera media, menandai berakhirnya acara yang penuh semangat, optimisme, dan (sedikit) bau seragam berlapis di bawah matahari tropis.
Royal Marine Band telah meninggalkan Jakarta, namun nada-nada mereka masih bergema di hati para pejabat dan warga yang sedang berpikir apakah taman yang buka 24 jam akan segera dilengkapi fasilitas Wi-Fi atau malah jadi tempat nongkrong baru para pemuda berbakat mengamen dengan ukulele.
Jika diplomasi budaya bisa diiringi mars, maka Jakarta mungkin tinggal selangkah lagi menuju London. Atau setidaknya, menuju taman kota yang tidak jadi tempat pacaran saja. Maka mari rayakan ulang tahun ke-498 ini dengan tepuk tangan, selfie, dan tentunya, mars dari negeri yang dulu dikenal dengan British Empire—kini dikenal sebagai mitra taman 24 jam dan konser kebangsaan lintas benua.