Republik ini tak pernah kehabisan cerita jenaka dari dalam pemerintahan. Terbaru, Kejagung cegah Nadiem Makarim bepergian ke luar negeri. Bukan karena takut ia jadi dosen tamu di Harvard, melainkan agar tidak “terbang” lebih cepat daripada proses hukum. Kasusnya? Bukan soal startup atau transportasi daring, tapi pengadaan laptop Chromebook senilai hampir Rp10 triliun, yang katanya untuk mendukung digitalisasi pendidikan—meski nyatanya lebih mendukung digitalisasi dugaan markup.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa pencegahan ini berlaku sejak 19 Juni 2025 selama enam bulan. Langkah ini diambil demi memperlancar penyidikan kasus pengadaan laptop di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2019 hingga 2022—saat Nadiem masih menjabat sebagai menteri.
Menurut penyidik, proyek ini diduga penuh dengan drama teknis dan non-teknis. Pada 2019, sebanyak 1.000 unit Chromebook sudah diuji coba oleh Pustekom dan hasilnya tidak menggembirakan. Hasil uji coba menyebutkan bahwa Chromebook tidak efektif, tidak efisien, dan tidak cocok digunakan dalam konteks pendidikan nasional.
Namun seperti biasa, ketika logika tak sejalan dengan anggaran, maka muncullah solusi: ganti kajian. Kajian teknis yang sebelumnya menyarankan sistem operasi Windows diganti dengan rekomendasi baru—tentunya lebih ramah proyek—yang menyarankan penggunaan sistem operasi Chrome. Alasannya? Mungkin karena Chrome dianggap lebih "kekinian", atau karena spreadsheet tendernya lebih mudah dibuka dengan Google Sheet.
Nilai proyek pengadaan Chromebook ini mencapai Rp9,982 triliun. Dana itu terbagi dari dua sumber: Rp3,582 triliun dari dana satuan pendidikan, dan sekitar Rp6,399 triliun dari dana alokasi khusus. Jumlah yang cukup untuk membangun puluhan ribu sekolah, atau setidaknya membeli laptop dengan sistem operasi yang benar-benar dibutuhkan.
Tapi tentu, proyek nasional tak bisa sesederhana itu. Kita bicara tentang sistem birokrasi yang punya keahlian khusus dalam mengubah kebutuhan sederhana menjadi peluang besar—peluang untuk pengadaan yang ‘bernilai tambah’, terutama bagi mereka yang mengatur di balik layar.
Pada 23 Juni 2025, Nadiem Makarim akhirnya memenuhi panggilan Kejagung. Ia menjalani pemeriksaan selama 12 jam—hampir setengah hari, cukup untuk menyelesaikan coding satu startup MVP, atau cukup untuk merenungi keputusan menyetujui Chromebook saat itu.
Dalam pernyataannya usai pemeriksaan, Nadiem tampil tenang dan filosofis. “Saya hadir sebagai warga negara yang percaya bahwa penegakan hukum yang adil dan transparan adalah pilar penting bagi demokrasi,” katanya, sambil mungkin dalam hati berharap penyidik tidak menemukan versi spreadsheet yang sebenarnya.
Sayangnya, demokrasi memang butuh pengorbanan—terutama bagi para saksi yang tiba-tiba harus menjelaskan keputusan teknis dari lima tahun lalu yang kini tercium bau tak sedapnya.
Kejagung menduga adanya pemufakatan jahat—kata yang terdengar seperti plot film aksi Indonesia—antara berbagai pihak di kementerian, terutama dalam mengarahkan tim teknis agar mengganti kajian. Mereka diduga sengaja menyusun ulang laporan agar pengadaan diarahkan pada Chromebook, meski sejak awal sudah tahu bahwa itu bukan kebutuhan riil sekolah.
Jika benar, ini adalah kisah tragis di mana sistem operasi jadi tersangka. Bukan karena bug, tapi karena ia dijadikan dalih. OS Chrome mungkin tak pernah menyangka akan ditarik-tarik ke dalam pusaran hukum di negeri yang gemar menyalahkan teknologi demi melindungi pelaku manusia.
Dengan pencegahan keluar negeri yang berlaku hingga Desember 2025, mantan menteri ini punya waktu yang cukup untuk merenung—atau menyusun narasi pembelaan yang lebih meyakinkan. Bisa jadi, ia juga sedang mempersiapkan memoar bertajuk “Dari Ruang Startup ke Ruang Penyidikan: Perjalanan Seorang Reformis”.
Masyarakat tentu berharap proses hukum ini tak hanya berhenti di tataran simbolis. Sebab sejarah menunjukkan, kasus besar sering kali dibuka dengan gempita tapi ditutup dengan sunyi—lupa, lambat, atau sengaja dihentikan.
Kasus ini mengajarkan satu hal penting: bahwa proyek digitalisasi pendidikan tidak bisa sekadar dijalankan karena terdengar keren. Chromebook mungkin cocok untuk sekolah di Finlandia, tapi belum tentu cocok di sekolah pinggir pantai di NTT yang listriknya menyala dua jam sehari.
Penggunaan sistem operasi bukan hanya soal teknis, tapi juga soal kesiapan dan relevansi. Tapi dalam sistem birokrasi kita, relevansi sering kali dikalahkan oleh rekomendasi. Dan rekomendasi itu, kadang tak lahir dari kajian ilmiah, tapi dari rapat singkat yang tak pernah tercatat.
Penyidik masih mendalami kemungkinan keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus ini. Kita semua tahu, proyek sebesar ini tak mungkin berjalan sendirian. Ada tim teknis, panitia pengadaan, konsultan, vendor, dan tentu saja, penentu anggaran. Siapa yang benar-benar tahu bahwa Chromebook akan dipakai? Siapa yang mengubah kajian? Dan siapa yang menyetujui pencairan Rp9 triliun lebih untuk laptop yang sekarang mungkin sudah rusak karena tidak digunakan?
Publik menunggu transparansi. Tapi publik juga sudah terbiasa kecewa.
Kejagung cegah Nadiem Makarim ke luar negeri—sebuah langkah yang perlu diapresiasi. Tapi pencegahan fisik tidak seharusnya jadi satu-satunya strategi. Yang lebih penting adalah pencegahan mental dan moral. Sebab proyek seperti ini bukan hanya soal hardware, tapi juga software di dalam kepala pejabat.
Selama mentalitas proyek sebagai ladang bermain anggaran masih hidup, maka tak peduli apakah laptopnya pakai ChromeOS, Windows, atau Linux—korupsinya tetap bisa berjalan mulus. Teknologi bisa berubah, tapi selera lama untuk markup tampaknya masih kompatibel di semua sistem operasi birokrasi negeri ini.