![]() |
Pohon bayan raksasa di Tabanan, Bali. © Rizky Panuntun/Getty Images |
Bayangkan suatu pagi Anda sedang jogging, dan sebuah pohon akasia tua tiba-tiba menghalangi jalan Anda. Bukan karena ia tumbang, tapi karena ia sedang melakukan aksi diam menuntut keadilan. Ia baru saja membaca Should Trees Have Standing? karya Christopher D. Stone dan merasa waktunya telah tiba: ia butuh pengacara.
Di esai itu, Stone mengajukan pertanyaan monumental yang bisa membuat para pakar hukum bingung memilih antara tersinggung atau tersenyum: apakah pohon punya hak hukum? Dalam logika hukum modern, perusahaan bisa menuntut karena pencemaran nama baik—walau ia tak punya nama yang bisa dihina secara emosional. Tapi ketika pohon minta hak dasar untuk tidak digergaji hidup-hidup, kita justru memandangnya sebagai ide radikal. Luar biasa, bukan?
Christopher D. Stone bukan sekadar profesor hukum biasa. Ia adalah semacam Socrates yang tersesat dalam dunia legalistik abad ke-20. Ia tidak sedang bercanda, meskipun setiap argumennya bisa dibaca sebagai satire. Esainya mengingatkan bahwa sepanjang sejarah, kita selalu menolak memberi hak kepada sesuatu yang dianggap “tak pantas”—budak, perempuan, anak-anak, minoritas, bahkan hewan peliharaan. Lalu kita akui mereka di kemudian hari, mereke semua punya hak hukun yang sama setelah cukup banyak protes, drama, dan darah.
Jadi, jika kita menganggap gagasan bahwa pohon bisa punya legal standing adalah konyol, bukankah itu juga yang terjadi dulu soal hak pilih untuk perempuan?
Gagasan Stone menelanjangi absurditas dunia hukum yang menganggap entitas fiktif seperti “PT Gag Nikel” misalnya, bisa memiliki lebih banyak hak dibanding seekor burung hantu atau hutan tropis. Korporasi, yang bahkan tidak bernafas, bisa memiliki properti, menggugat, dan dilindungi hukum. Sementara gunung yang menghasilkan air untuk jutaan manusia? Tidak.
Inilah bagian yang bukan sekadar mengolok satu institusi, tapi seluruh kerangka berpikir. Sistem hukum ternyata tidak lebih dari permainan simbol di mana yang bisa bicara dan membayar pengacara akan menang. Maka gagasan memberi “hak hukum” pada pohon terdengar aneh bukan karena ia salah, tetapi karena ia terlalu jujur.
Stone mengusulkan bahwa pohon atau sungai bisa diwakili oleh guardian ad litem, sama seperti anak-anak, perempuan, atau kelompok minoritas dalam pengadilan. Maka kita bisa membayangkan ruang sidang di mana pengacara berkata, “Klien saya, yaitu sungai kecil di Pulau Gag, telah mengalami kerugian ekologis akibat aktivitas tambang ilegal.”
Ya, di titik ini, hukum tidak hanya terdengar absurd—ia jadi teater surealis. Tapi bukankah hukum memang demikian adanya? Toh, kita telah menyaksikan perusahaan menuntut negara karena kebijakan lingkungan dianggap “merugikan investasi” atau menuntut aktivis karena “pencemaran nama baik.”
Stone tidak sekadar membela pohon. Ia memicu pertanyaan lebih besar: jika pohon bisa punya hak, bagaimana dengan semak belukar? Lumut? Atau jamur yang hidup di batang kayu mati? Di sinilah gagasan Stone mencapai puncaknya. Ia menertawakan batas-batas yang diciptakan oleh hukum—bukan karena ia ingin menggagalkannya, tetapi karena ia ingin kita memeriksa logika absurd di baliknya.
Stone memulai esainya dengan merujuk kasus Sierra Club v. Morton di mana Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa Sierra Club tidak memiliki legal standing untuk menggugat rencana pembangunan di kawasan hutan. Mengapa? Karena yang dirugikan bukan Sierra Club, melainkan hutannya. Hutan tak bisa menggugat. Maka rencana pembangunan tetap jalan, dan hukum kembali membuktikan bahwa ia lebih peduli pada prosedur daripada keadilan.
Ironi ini menonjolkan kelemahan mendasar sistem hukum: ia hanya melindungi yang bisa bicara dalam bahasa hukum. Dan karena pohon tidak bisa berkata, “Saya keberatan, Yang Mulia,” mereka pun dianggap tidak ada.
Di Indonesia, kita bahkan belum masuk tahap debat filosofis seperti yang Stone ajukan. Kita masih sibuk membedakan antara “izin eksplorasi” dan “izin perusakan permanen.” Undang-undang yang seharusnya melindungi lingkungan justru sering menjadi pintu masuk legalisasi perusakan. Seandainya pohon di Pulau Gag membaca esai Stone, mungkin mereka akan menuntut lebih dulu ke Mahkamah Konstitusi sebelum ditebang.
Gagasan Stone bukan sekadar wacana. Di beberapa negara, seperti Selandia Baru dan Kolombia, sungai dan hutan telah diberikan status hukum sebagai entitas hidup yang bisa diwakili oleh wali hukum. Artinya, mereka bisa menggugat jika dirusak. Gila? Ya. Tapi lebih gila lagi jika kita menganggap itu lebih aneh dibanding korporasi pembakar hutan yang menggugat aktivis dengan tuduhan "pencemaran nama baik" atau “fitnah.”
Jika ide Stone benar-benar diadopsi, kita bisa membayangkan dunia hukum yang lebih berimbang. Pohon tidak akan menang semua kasus, tapi setidaknya mereka bisa ikut sidang. Demokrasi ekologis bukan soal memberi hak suara kepada pohon, tapi tentang memastikan bahwa pertimbangan lingkungan tidak hanya dibacakan dalam pidato, melainkan ditegakkan dalam hukum.
Sayangnya, yang sedang terjadi justru sebaliknya. Hukum seringkali hanya memperkuat oligarki—yang bisa membeli tanah, menebang pohon seenaknya, dan membungkam protes, semua secara legal. Maka ketika Stone mengatakan bahwa alam perlu “hak hukum,” ia sejatinya sedang berteriak: “Hukum kalian ini cacat logika!”
Jika Anda membaca Should Trees Have Standing? dan merasa geli, itu wajar. Tapi mungkin yang membuat kita tertawa bukan karena gagasan Stone terlalu aneh, melainkan karena ia terlalu jujur. Dan kebenaran, dalam dunia yang dikuasai kepentingan, memang lebih mudah ditertawakan ketimbang diterima.
Stone menulis dengan logika, tapi hasilnya justru memperlihatkan absurditas hukum. Maka kita bertanya: siapa sebenarnya yang tidak waras? Pohon yang ingin hidup, atau manusia yang ingin semua hal tunduk pada hukum buatan mereka sendiri?