Pada Sabtu pagi yang biasanya hanya diramaikan oleh ibu-ibu penjual sayur dan bapak-bapak pengantar galon, gedung Kantor Pelaksana Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Sumatera Utara di Jalan Busi, Medan, justru mendapat tamu tak diundang: KPK datang membawa “hadiah” berupa garis segel kuning yang menandakan kantor ini sementara ditutup karena terlalu banyak jalan tikus di dalamnya—bukan secara harfiah, tentu saja.
Sebuah tulisan menempel manis di pagar: “KPK Komisi Pemberantasan Korupsi (28/6/2025) dalam pengawasan KPK.” Kalau saja kantor itu bisa bicara, mungkin ia akan meminta cuti panjang atau sekadar menyalahkan GPS karena proyek jalannya melenceng dari rute anggaran.
Gedung tampak kosong, lebih sunyi dari ruang tunggu klinik saat hari libur. Tak ada aktivitas, hanya aura rasa bersalah yang samar menggantung di udara.
Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Operasi Tangkap Tangan (OTT) ini berkaitan dengan proyek pembangunan jalan di wilayah Sumatera Utara. Bukan jalan biasa, tapi jalan yang tampaknya terlalu mulus karena “dilapisi” dengan anggaran dan komitmen fee.
Total enam orang diamankan, namun identitasnya masih dirahasiakan. Seperti acara reality show, penonton hanya bisa menebak siapa di balik topeng jaket biru, jaket hitam, dan masker abu-abu yang malam itu diboyong ke gedung KPK.
“Besok di-update ya,” kata Budi, menjawab pertanyaan yang sebetulnya sudah bisa ditebak jawabannya sejak zaman reformasi.
Namun, satu yang pasti: proyek jalan senilai Rp12,5 miliar yang dibangun dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) ini kini berubah jalur dari "infrastruktur masyarakat" menjadi "infrastruktur penyidikan".
Manifest penerbangan pesawat Super Airjet IU-943 yang berangkat pukul 19.43 WIB dari Bandara KNIA menuju Bandara Soekarno-Hatta, tampak seperti daftar hadir kelas intensif “Etika Pembangunan Jalan”.
Nama-nama seperti Rasuli Efendi Siregar, Amar Maruf, dan Sumarno, bukan lagi sekadar pejabat lokal, tapi kini ikut dalam rombongan wisata investigatif ke Jakarta. Bedanya, mereka tak dijemput travel, melainkan petugas KPK yang ramah namun tegas.
Uniknya, ini mungkin kali pertama dalam sejarah, Super Airjet mengangkut lebih banyak barang bukti mental daripada bagasi.
Tiga dari enam orang itu tiba di gedung KPK mengenakan perlengkapan wajib OTT: jaket berwarna gelap dan masker yang menutupi lebih dari sekadar wajah—mereka juga menutupi rasa malu (mungkin).
Mereka bergantian turun dari Toyota Innova Reborn seperti tamu VIP, hanya saja alih-alih karpet merah, yang menyambut mereka adalah sorotan kamera wartawan dan pertanyaan tak terjawab.
Satu orang mengangkat jempol ke kamera—entah sebagai bentuk kepercayaan diri atau refleks gugup. Dua lainnya memilih diam. Bisa jadi mereka sedang menyusun draft jawaban “kami hanya mengikuti perintah” yang biasa dipakai saat konferensi pers.
Penyegelan tidak berhenti di Medan. Di Padangsidimpuan, kantor PT Dalihan Natolu Group (DNG) juga ikut disegel. Perusahaan ini dikenal sebagai pelaksana berbagai proyek pembangunan jalan, tapi kini juga dikenal sebagai “peserta tetap” dalam kasus OTT KPK.
Pemimpin perusahaan, Muhammad Akhirun Piliang, tak hanya aktif sebagai kontraktor tapi juga sebagai Bendahara DPD Golkar Kabupaten Tapanuli Selatan. Multitalenta, memang.
Sayangnya, namanya juga muncul dalam gugatan sengketa tanah pada 2022. Rupanya, kalau sedang tak membangun jalan, beliau sibuk membangun argumen hukum di pengadilan.
Profil DNG sendiri misterius, ibarat selebritas yang viral tapi tidak punya akun media sosial. Namun yang pasti, mereka sempat menggarap proyek jalan sepanjang 5,5 kilometer di Mandailing Natal dengan nilai kontrak Rp12,5 miliar. Kini, jarak tempuh proyek itu bisa diperpendek menjadi "5,5 kilometer menuju sel tahanan".
Menurut KPK, korupsi ini terbagi ke dalam dua klaster penerimaan uang. Benar-benar kreatif, seperti penawaran bundling internet. Ada satu untuk proyek PUPR dan satu lagi untuk Satker PJN Wilayah I. Bonusnya? Tiket ke Jakarta dan kemungkinan potongan masa tahanan bila kooperatif.
Budi Prasetyo mengatakan penyelidikan masih berlangsung. Saat ini, mereka yang diamankan sedang menikmati hospitality di Gedung Merah Putih KPK, yang sayangnya tidak menyediakan layanan room service.
Kasus ini menunjukkan satu hal: tak hanya jalan di Sumatera Utara yang penuh lubang, tapi juga sistem pengadaannya. Jalan yang seharusnya menghubungkan desa dengan kota, ternyata justru menghubungkan kantor dengan kantor: dari Satker PJN ke gedung KPK.
Masyarakat yang berharap jalan mulus demi perekonomian, justru harus puas dengan cerita OTT dan janji transparansi. Setiap tahun ada proyek jalan, tapi jalan kehidupan warga tetap sama: berlubang, macet, dan penuh risiko tergelincir—baik secara harfiah maupun politik.
OTT seperti ini sudah seperti tontonan mingguan. Ada aksi, ada drama, dan ada cliffhanger. Bedanya, rakyat tidak pernah jadi pemeran utama. Mereka cuma penonton pasif yang menyaksikan uang mereka dikutak-katik demi kenyamanan segelintir pejabat dan kontraktor.
Kini publik menanti: apakah proyek jalan ini akan dilanjutkan dengan proses hukum yang benar-benar tuntas, atau sekadar jadi jalan pintas untuk negosiasi di belakang layar?
KPK segel kantor PJN Sumut dalam OTT proyek jalan Rp12,5 miliar, dan membawa enam orang ke Jakarta. Proyek yang didanai DAK justru berubah jadi dana antarkota, lengkap dengan fasilitas pengawalan.
Apapun hasil pemeriksaan nanti, satu hal sudah jelas: ketika jalan dikerjakan dengan niat menilep, maka ujungnya bukan ke desa tertinggal, tapi ke sel tahanan yang tidak butuh aspal.
Dan seperti biasa, kita rakyat Indonesia cuma bisa menunggu jalan berubah. Bukan jalannya, tapi jalan pikir dan jalan hidup para pejabatnya.