Bersyukur di festival lampion Dworowati

Dworowati Lantern Festival di Malang menghadirkan lautan lampion, ribuan ponsel, dan rasa syukur kolektif yang penuh cahaya tapi minim substansi.

Bersyukur di festival lampion Dworowati. © Muhammad Mada/Antara
Sejumlah warga menerbangkan lampion saat Dworowati Lantern Festival di Pujon, Malang, Jawa Timur, Sabtu (28/6/2025). © Muhammad Mada/Antara

Sabtu malam, 28 Juni 2025, langit Pujon, Malang, tampak seperti taman cahaya buatan yang disulap dari imajinasi algoritma Instagram. Ribuan lampion mengudara pelan, mengisi angkasa dengan warna oranye keemasan yang melambai di tengah udara pegunungan. Tapi yang lebih memukau dari lampion-lampion itu bukanlah makna spiritualnya, melainkan pantulan cahaya di lensa kamera ribuan pengunjung yang sibuk merekam, berpose, dan memastikan mereka tidak hanya hadir, tetapi juga terbukti hadir secara daring.

Festival lampion Dworowati, acara tahunan Pemerintah Desa Dworowati di Pujon, kini tak hanya jadi ritual syukur atas hasil bumi. Ia telah menjelma menjadi spektakel visual, kombinasi antara syukur agraris, promosi UMKM, dan kompetisi konten sosial media.

Pukul 19.00 WIB, ratusan orang sudah memadati lapangan utama. Mereka duduk di atas tikar, mengenakan pakaian khas daerah, atau dalam banyak kasus, jaket hoodie Uniqlo yang tetap instagramable. Seorang tokoh adat membuka acara dengan pembacaan doa panjang, menyinggung tentang panen kentang, jagung, dan harapan agar harga cabai tidak naik terlalu liar tahun ini. Doa ditutup dengan ucapan: “Semoga semua dapat berkah dari langit dan sinyal dari BTS terdekat.”

Tak lama, lampion dibagikan. Ada yang berbahan kertas ramah lingkungan, ada pula yang dari plastik tipis—karena kadang rasa syukur bisa sedikit fleksibel demi visual yang lebih tahan lama. Setiap peserta menulis harapan mereka di sisi lampion: “Semoga lulus SNBT”, “Semoga UMKM tembus Shopee Mall”, atau yang jujur: “Semoga viral, like banyak.”

Begitu aba-aba dilepas, ribuan lampion terbang bersama harapan dan sinyal kamera yang tak henti. Drone melayang di atas, fotografer profesional dan amatir berlomba memotret dari sudut terbaik. Sebab di era ini, tidak cukup hanya bersyukur, kita harus mendokumentasikan syukur itu dalam 4K dan membaginya ke seluruh dunia digital.

Desa Dworowati dikenal dengan udara sejuk dan pemandangan yang cocok dijadikan background filter TikTok. Tapi kini, desa itu naik kelas: dari desa agraris biasa menjadi destinasi spiritual-visual yang menguntungkan.

Setiap tahun, festival ini dijual sebagai perayaan atas hasil bumi yang melimpah. Tapi tahun ini, banyak yang bertanya: hasil bumi yang mana? Sebab beberapa petani justru mengeluh karena tanah yang biasa mereka tanami kini disulap menjadi area parkir dadakan demi menampung bus pariwisata dan mobil influencer.

UMKM lokal pun diberi tempat strategis di pinggir acara. Ada yang menjual kopi robusta, keripik apel, kaus bergambar lampion, dan gantungan kunci bertuliskan “Malang Terang, Hatiku Senang.” Beberapa pengunjung memang membeli, tapi sebagian besar hanya foto, tag, dan lanjut scroll.

“Yang penting kami difoto dekat UMKM, jadi bisa bilang kami mendukung lokal,” ujar seorang selebgram lokal sambil menata ulang tripod dan lighting portable-nya.

Pihak panitia mengatakan, festival lampion Dworowati adalah bentuk rasa syukur yang merangkul budaya, spiritualitas, dan ekonomi kreatif. Tapi dalam praktiknya, susah dibedakan mana yang spiritual dan mana yang sponsored post.

Di area tengah, panggung menampilkan tarian rakyat dan lantunan musik etnik. Penari menari diiringi gamelan yang disambung dengan remix DJ lokal. Ada juga sesi orasi kepala desa yang menyampaikan betapa pentingnya rasa syukur atas hujan yang datang tepat waktu dan pemuda yang kembali ke desa—meskipun hanya untuk konten.

“Ini adalah bentuk kita kembali ke akar, tapi juga memanfaatkan teknologi,” kata sang kepala desa. Dan di layar belakangnya, terpampang slideshow unggahan Instagram yang menggunakan tagar #DworowatiLantern2025.

Pengunjung mengabadikan momen penerbangan lampion saat Dworowati Lantern Festival di Pujon, Malang, Jawa Timur, Sabtu (28/6/2025). © Muhammad Mada/Antara
Pengunjung mengabadikan momen penerbangan lampion saat Dworowati Lantern Festival di Pujon, Malang, Jawa Timur, Sabtu (28/6/2025). © Muhammad Mada/Antara

Seorang pengunjung dari Jakarta menyampaikan kesannya. “Saya suka festival ini. Ini spiritual banget. Saya sampai bikin tiga reels dan lima story. View-nya luar biasa. Rasanya kayak di Thailand, tapi lebih murah,” katanya sambil mengatur filter agar lampionnya tampak lebih bersinar dari aslinya.

Di sisi lain, seorang ibu penjual jagung rebus mengeluh karena dagangannya kalah bersaing dengan booth popcorn gratis dari sponsor rokok. Tapi ia tetap tersenyum. “Namanya juga acara syukur, ya kita syukuri saja, walau yang dapat untung bukan kami.”

Perayaan syukur yang dirancang begitu sempurna hingga lupa siapa yang mestinya disyukuri. Para petani hadir, tapi jadi latar belakang. Para influencer hadir, tapi jadi pusat perhatian. UMKM tampil, tapi sering jadi spot foto ketimbang tempat belanja.

Menjelang malam, lampion-lampion terakhir mengudara. Langit Pujon tampak magis, seperti lukisan digital yang nyata. Tapi di tanah, para panitia sibuk memungut sisa-sisa kertas, plastik, dan harapan yang tak terbang.

Dari kejauhan terdengar pengumuman: “Jangan lupa follow akun resmi Festival Dworowati. Dan bagi yang belum unggah foto, gunakan tagar #SyukurBumiDworowati.” Sebab, seperti pepatah baru: Jika kamu bersyukur tapi tidak mempostingnya, apakah syukur itu benar-benar terjadi?

Festival lampion Dworowati adalah gambaran jujur zaman ini: ketika rasa syukur dibungkus cahaya indah, difoto dari berbagai angle, diedit dengan preset cinematic, dan dibagikan sebagai simbol spiritualitas instan. Ia bukan festival yang buruk. Sebaliknya, terlalu berhasil. Terlalu sempurna sebagai gabungan promosi wisata, ajang branding desa, dan ladang panen konten.

Dan dalam terang ribuan lampion, kita tak hanya melepaskan harapan ke langit. Kita juga melepaskan kenyataan bahwa di balik semua itu, ada pertanyaan kecil yang mungkin tak sempat dijawab: “Apakah kita benar-benar bersyukur, atau kita hanya sedang tampil seolah bersyukur?”

Lainnya

Tentang

Novanka Laras
Laras di sini menulis seni dan budaya.

Posting Komentar