![]() |
Nyogok. © Yamtono Sardi/iStock |
Pernah lihat sinetron yang tidak selesai-selesai, penuh konflik murahan, akting lebay, dan tokoh antagonisnya itu-itu saja? Nah, begitulah kisah korupsi di negeri ini. Yang terbaru, kita disuguhi episode baru berjudul Korupsi di Kemenaker dan kanker birokrasi—tayang eksklusif sejak 2012, tanpa jeda iklan, dengan plot twist yang sudah bisa ditebak: uang warga negara dikuras, pelaku kenyang, publik geleng-geleng.
Kali ini, bukan soal bansos atau proyek jalan tol. Bukan pula soal mafia pupuk atau tukang mark-up anggaran. Episode kali ini lebih halus, lebih "berkelas," karena melibatkan pemerasan terhadap tenaga kerja asing (TKA). Ya, para TKA yang jauh-jauh datang ke Indonesia bukan hanya kena macet dan polusi, tapi juga harus setor upeti agar bisa bekerja. Karena korupsi di Kemenaker dan kanker birokrasi memang menyambut siapa saja, tanpa diskriminasi.
Kalau dulu preman terminal yang doyan malak sopir truk disebut "kriminal kelas teri," maka para oknum di Direktorat PPTKA Kementerian Ketenagakerjaan ini bisa dibilang "preman berdasi" yang upeti-nya lebih mahal dan prosedurnya lebih rapi. Tidak main-main, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus bahwa aksi pemerasan ini sudah berlangsung sejak 2012. Uangnya? Lebih dari Rp53 miliar. Itu baru yang terendus. Kita tahu sendiri, yang ketahuan biasanya cuma ujung es di permukaan.
Delapan pejabat dan mantan pejabat sudah jadi tersangka. Tapi yang menarik bukan hanya soal jumlah uang, melainkan bagaimana uang itu dibagi. Ya, seperti warisan keluarga. Ada sekitar Rp9 miliar yang dibagi-bagikan kepada sekitar 80 orang, termasuk office boy. Ini bukan bonus tahunan. Ini "uang dosa bersama." Biar kalau masuk hotel prodeo, rame-rame.
Modusnya klasik: TKA yang tidak mau bayar dipersulit izinnya. Yang setor lancar, izinnya mulus kayak jalan tol—yang dibangun lewat proyek lain yang juga korup. Sementara pejabatnya makan enak, pegawai lain pura-pura sibuk, dan publik? Seperti biasa: nonton sambil tepuk jidat.
Kalau bisa dipersulit, ngapain dipermudah?
Inilah prinsip hidup yang tampaknya diajarkan diam-diam dalam orientasi pegawai negeri. Meski gaji, tunjangan, dan fasilitas sudah ditanggung negara—alias uang warga negara—tetap saja beberapa birokrat merasa perlu menambah penghasilan dengan cara kreatif: memeras.
Yang lebih ironis, pekerjaan yang dipersulit itu sebetulnya adalah bagian dari tugas utama mereka. Bukan lembur. Bukan proyek tambahan. Tapi ya begitulah, di negeri ini, melayani warga negara dianggap ekstra effort. Padahal itu pekerjaan utama. Kalau dibandingkan, ini seperti tukang ojek yang minta bayaran tambahan karena sudah mengantar penumpang sampai tujuan. Lucu, bukan?
Namun tak semua tertawa. Terutama warga biasa yang ingin mengurus izin tanpa kenal siapa pun dan tentu saja tidak punya "uang pelicin." Mereka harus rela antre berhari-hari, berkas bolak-balik, dan tetap ditolak. Karena sistemnya bukan "siapa cepat dia dapat," tapi "siapa setor dia lancar."
Reformasi birokrasi? Ah, itu cuma slogan. Kita sudah bosan dengar kata "reformasi birokrasi." Sudah dua dekade digaungkan. Tapi hasilnya? Masih banyak pejabat yang menganggap meja mereka adalah tempat sakral tempat semua izin harus melewati ritual: setor dulu, baru urus.
Apakah ini salah individu semata? Tidak juga. Ini adalah kombinasi dari sistem yang lemah, pengawasan yang longgar, dan budaya organisasi yang permisif terhadap korupsi. Coba bayangkan: korupsi bisa jalan selama lebih dari 10 tahun, dan tidak ada yang bersuara. Bahkan uangnya dibagi-bagi dengan bangga. Kalau bukan karena KPK, mungkin kisah ini akan lanjut terus sampai para pelakunya pensiun dengan bahagia.
Satu-satunya harapan adalah teknologi. Bukan karena teknologi tidak bisa disuap—tapi karena komputer tidak punya rekening. Maka, segala bentuk pengurusan izin mesti digitalkan. Jangan ada ruang buat calo, buat "penjaga gerbang" yang bisa dipengaruhi oleh amplop cokelat.
Sistem perizinan mesti sepenuhnya otomatis. Masuk syarat lengkap, izin keluar. Tidak lengkap? Ditolak. Tidak ada lagi yang namanya "proses sedang berjalan" padahal berkas sudah ngendon dua bulan. Dan tentu saja, semua transaksi tercatat, semua langkah terdokumentasi.
Tapi tentu saja, teknologi hanya alat. Kalau masih dioperasikan oleh manusia yang bermental pungli, hasilnya ya sama saja. Sistem bisa dibelokkan, log bisa dihapus, dan CCTV bisa dimatikan. Maka, yang lebih penting dari teknologi adalah kemauan politik. Harus ada sanksi keras, hukuman yang memalukan, dan pembongkaran total terhadap pola-pola lama.
Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan menyuarakan keprihatinan soal korupsi kelas pegawai ini. Tapi suara saja tidak cukup. Harus ada langkah konkret. Bersihkan kementerian satu per satu. Audit internal secara menyeluruh.
Warga juga punya peran. Jangan diam saat diminta uang pelicin. Rekam. Laporkan. Jangan jadi bagian dari budaya "yang penting urusan saya kelar." Karena selama kita masih kompromi, para pemeras itu akan terus berjaya.
Korupsi di Kemenaker dan kanker birokrasi bukan hanya soal satu direktorat, tapi soal mentalitas yang menular. Kalau hari ini TKA diperas, besok bisa saja warga negara sendiri yang jadi korban. Bahkan sudah terjadi.
Dan untuk para koruptor yang masih berkeliaran, sebelum tertangkap, cobalah melamar jadi penulis skenario sinetron. Sebab kemampuan Anda membangun alur cerita kriminal dan membagi peran sudah sangat layak masuk televisi.
Kita terlalu sering menyebut korupsi sebagai "budaya." Itu keliru. Budaya adalah sesuatu yang dijunjung. Korupsi adalah penyakit. Dan seperti kanker, ia akan menyebar dan menggerogoti tubuh negara hingga lumpuh total. Maka, pengobatannya tidak bisa dengan balsem atau paracetamol. Harus dengan tindakan tegas: amputasi bila perlu.
Jadi, hentikan drama ini. Bukan dengan menulis naskah baru, tapi dengan menutup panggungnya.