![]() |
Gerobak pengepul barang bekas. © Nawaitesuga/iStock |
Mari mulai dengan pepatah yang katanya bijak, katanya cerdas, dan katanya tidak bisa dibantah: angka tidak pernah bohong. Benarkah begitu? Mungkin benar, tapi hanya jika kita hidup di dunia yang masih percaya unicorn itu nyata dan korupsi bisa hilang lewat slogan.
Karena, angka tidak pernah bohong itu omong kosong kalau yang pegang angka adalah mereka yang gaji bulanannya saja lebih tinggi dari garis kemiskinan versi BPS. Dalam dunia nyata, angka bukan cerminan kebenaran absolut. Angka itu seperti plastik: bisa dibentuk, dilenturkan, bahkan didaur ulang tergantung siapa yang pegang cetakannya.
Data kemiskinan Indonesia, misalnya. BPS dengan muka tebal dan tabel-tabel penuh warna pastel menyebut hanya 8,57% warga negara Indonesia yang miskin. Itu artinya, sekitar 24 juta jiwa dari 285 juta penduduk. Wah, lumayan lah. Pantas pemerintah selalu bilang: kita terus menurunkan kemiskinan. Tentu saja, kalau standar kemiskinan ditaruh di level "asal masih bisa makan nasi putih pakai garam," siapa pun bisa terlihat kaya.
Namun, Bank Dunia tidak segan membuang lensa selfie BPS yang penuh filter. Menurut mereka, dengan standar global, 68% warga negara Indonesia miskin. Ya, dua dari tiga orang! Itu bukan lagi lampu kuning. Itu sirine merah!
Kok bisa beda sejauh itu? Jawabannya ada pada satu istilah magis yang hanya dimengerti birokrat dan ekonom: purchasing power parity alias PPP. Versi 2021 yang kini digunakan Bank Dunia mengubah garis kemiskinan global dari US$6,85 menjadi US$8,30 per hari untuk negara macam Indonesia yang katanya kelas menengah atas. Dengan standar ini, mendadak jutaan warga yang tadinya diklaim "tidak miskin" oleh BPS, sekarang menjadi warga miskin.
Standar kemiskinan BPS tampaknya didasarkan pada asumsi bahwa selama seseorang bisa bernafas dan tidak hidup di dalam gorong-gorong, maka ia bukanlah orang miskin. Mereka tidak peduli apakah orang itu bisa bayar sekolah anaknya, punya akses air bersih, atau harus puasa Senin-Kamis bukan karena religius, tapi karena memang nggak ada makanan untuk dimakan.
BPS seolah mengatakan, "Tenang, kalian tidak miskin kok. Kalian hanya sedang menjalani hidup minimalis dengan paksaan." Sementara itu, data Bank Dunia justru memberi tamparan: hidup dengan US$8,30 per hari di Jakarta bukan berarti sejahtera, itu berarti orang harus memilih antara makan siang atau bayar ongkos pulang.
Angka tidak pernah bohong bisa jadi benar… jika disusun oleh malaikat. Tapi di dunia ini, angka disusun oleh manusia. Dan manusia punya kepentingan. Entah itu menaikkan citra di masa kampanye, mengejar insentif lembaga, atau sekadar ingin terlihat sukses di presentasi.
Angka bisa jadi alat pembohongan publik paling elegan. Tidak ada yang mencurigai statistik. Semua percaya karena ada grafik, tabel, dan presentasi dengan pointer laser. Padahal, kenyataannya bisa berbeda 180 derajat. Maka dari itu, jangan percaya angka mentah—tanyalah siapa kokinya.
Solusinya? Bukan memilih salah satu, tapi mengakui bahwa standar kita terlalu rendah. Kalau garis kemiskinan versi global jauh lebih tinggi, kenapa harus bertahan dengan standar lokal yang jelas-jelas membuat kemiskinan terlihat seperti prestasi?
Pemerintah harus berhenti memakai angka seperti riasan di wajah. Warga butuh cermin, bukan filter. Dan BPS harus sadar bahwa peran mereka bukan jadi tukang sabun pencuci citra, tapi penyedia data yang jujur dan berguna.
Meningkatkan garis kemiskinan nasional agar setara dengan standar global bukan tanda kegagalan. Justru sebaliknya: itu adalah pengakuan jujur bahwa kemiskinan itu nyata dan butuh ditangani. Jangan takut angka kemiskinan melonjak jika standar dinaikkan. Takutlah jika terus hidup dalam angka palsu, sementara warga negara hidup dalam penderitaan yang nyata.
Indonesia butuh data yang merefleksikan kenyataan, bukan sekadar memuaskan hasrat konferensi pers. Naikkan ambang batas. Sesuaikan dengan harga telur yang tidak kenal kompromi. Sesuaikan dengan biaya sekolah yang makin tinggi dan harga kos-kosan yang bikin anak muda betah tinggal di rumah orang tua sampai ubanan.
Karena ini bukan dongeng yang bisa ditutup dengan kalimat "dan mereka hidup bahagia selamanya." Tidak, kita sedang bicara kenyataan. Dan kenyataan tidak selalu menyenangkan, apalagi jika dikemas dengan angka-angka cantik yang tak punya rasa malu.
Angka tidak pernah bohong mungkin bisa jadi slogan di kaus motivasi. Tapi dalam dunia nyata, ketika statistik digunakan untuk menipu publik dan menyembunyikan kegagalan, maka angka itu bukan lagi cermin realitas. Ia sudah jadi topeng. Dan kita semua dipaksa untuk menari dalam pesta kebohongan yang dibiayai APBN.
Selamat datang di republik angka, di mana kemiskinan bisa didefinisikan ulang agar terlihat kaya.