![]() |
KUHAP. © Viktor Block/Getty Images |
Bayangkan: seorang polisi menangkap warga tanpa surat penahanan. Jaksa menahan tersangka berdasarkan “feeling,” bukan bukti. Dan hakim memberi vonis pakai logika “tampang bersalah.” Selamat datang di Indonesia, negeri di mana KUHAP lebih sering dibaca untuk dimanipulasi ketimbang ditaati.
Maka ketika frasa revisi KUHAP bermartabat digembor-gemborkan lagi tahun ini, reaksi publik bisa ditebak: antara skeptis dan jengah. Sejak kapan martabat dipulihkan lewat pasal-pasal yang disusun oleh elit yang gemar kompromi dan tak akrab dengan kata transparansi?
Setiap pidato resmi selalu diawali dengan kalimat sakti: “KUHAP yang baru harus menjunjung tinggi hak asasi manusia.” Tapi kenyataannya, HAM dalam sistem peradilan pidana kita seperti tamu tak diundang. Kalau pun hadir, cuma dijadikan dekorasi meja makan rapat kerja.
Padahal, Komnas HAM sudah menjerit dari 20 Juni kemarin. Mereka mengajukan 10 rekomendasi yang masuk akal, seperti: memperkuat keadilan restoratif, menguji alat bukti yang diperoleh secara haram, dan mengatur kembali hak saksi, korban, serta terdakwa. Semua demi memastikan hukum tak lagi menjadi pisau yang hanya tajam ke bawah.
Tapi jangan terlalu berharap. Rekomendasi yang masuk akal biasanya justru tenggelam di rapat-rapat yang dikuasai logika politik transaksional.
Mari kita bicara jujur: Prolegnas bukanlah kalender reformasi, tapi kadang hanya daftar PR yang dicopy-paste tiap tahun. RUU KUHAP sudah masuk prioritas, tapi belum tentu masuk prioritas nurani legislatif.
Mereka lebih sibuk menyusun strategi elektoral 2029 ketimbang menyusun hukum acara pidana yang melindungi warga negara. Dan jangan kaget kalau dalam pembahasan nanti, pasal-pasal soal perlindungan HAM justru dihapus “demi efisiensi hukum.” Efisiensi? Atau biar gampang ngebegal dengan prosedur legal?
Komnas HAM menyarankan agar keadilan restoratif harus lewat persetujuan korban yang ditegaskan lewat pengadilan. Ini penting. Supaya korban tidak ditekan untuk “damai” dengan pelaku sambil diberi amplop tipis dan janji kosong.
Tapi problemnya: keadilan restoratif sering dipelintir jadi akal-akalan. Terutama dalam kasus yang melibatkan orang kuat, orang tajir, atau orang yang punya koneksi dengan aparat. Jangan sampai nanti revisi KUHAP justru melegitimasi mekanisme "maaf, damai, selesai," ala sinetron stasiun TV swasta.
Salah satu poin kunci revisi KUHAP bermartabat adalah pengujian admisibilitas alat bukti. Artinya, bukti harus dikumpulkan dengan cara sah dan bermoral. Tidak boleh ada pemaksaan, penyiksaan, atau jebakan ninja dari aparat.
Tapi jangan terlalu yakin. Di negeri ini, CCTV bisa tiba-tiba hilang, rekaman bisa terpotong, dan barang bukti bisa berpindah tangan seperti sulap. Kalau pasal ini tidak dipertegas, maka semua alat bukti akan tetap bisa “diatur”—asal pelakunya punya akses ke ponsel oknum.
RUU KUHAP katanya juga akan memperjelas koneksitas, terutama soal “titik berat kerugian.” Maksudnya, untuk menentukan apakah suatu perkara masuk ranah sipil, pidana, atau militer. Tapi, mari kita realistis: definisi titik berat bisa berubah tergantung siapa yang berat sebelah.
Jika tidak diawasi ketat, pasal ini akan menjadi karet lentur yang bisa dibentuk sesuai selera kekuasaan. Apalagi kalau yang diperiksa adalah jenderal, bos BUMN, atau anak pejabat.
Setiap pembahasan RUU di DPR selalu diawali dengan jargon: “untuk menciptakan hukum yang berkeadaban.” Tapi faktanya, warga negara biasa masih dipenjara karena mencuri sendal, sementara koruptor bisa diskon hukuman karena “berkelakuan baik” di penjara ber-AC.
Kalau KUHAP hanya jadi kumpulan prosedur teknis tanpa jiwa HAM, maka hukum kita tak lebih dari kalkulator: menghitung siapa yang bisa beli keadilan, bukan siapa yang benar-benar butuh perlindungan.
Setelah DIM ditandatangani Kementerian Hukum, bola ada di DPR. Harapannya sih, parlemen membahas RUU ini secara transparan dan partisipatif. Tapi pengalaman mengajarkan kita bahwa pembahasan RUU lebih mirip rapat OSIS yang penuh lobi, bukan diskusi akademik.
Kalau warga negara tidak ikut mengawal, pasal-pasal bermasalah akan lolos diam-diam. Dan ketika KUHAP baru disahkan, barulah kita sadar: “Lho, kok makin ribet? Kok makin memihak aparat?”
Revisi KUHAP bermartabat artinya mengubah struktur, bukan sekadar tata bahasa. Bukan menambah pasal asal-asalan atau merapikan ejaan, tapi menanam ulang fondasi hukum pidana kita agar lebih manusiawi, adil, dan tak bisa dimainkan seenaknya.
Jika pasal-pasal kritis soal HAM, bukti sah, koneksitas, dan perlindungan saksi dikompromikan, maka revisi ini akan jadi kosmetik belaka: cantik di atas kertas, busuk dalam praktik.
Hukum yang tidak menjunjung HAM adalah hukum mati. Ia hanya hidup dalam teks, tapi membusuk dalam praktik. Ia tidak melindungi, hanya mengancam. Tidak memihak keadilan, hanya berpihak ke kekuasaan.
Maka jika kita sungguh ingin revisi KUHAP bermartabat, jangan serahkan seluruhnya ke elit legislatif yang rapatnya lebih banyak ditunda daripada dijalankan. Warga negara harus ikut memantau, mengkritisi, dan menagih janji. Supaya KUHAP yang baru benar-benar jadi suar keadilan, bukan sekadar dokumen formal yang dijadikan tameng oknum.