Bandung Smart City. Namanya saja sudah menjanjikan masa depan cemerlang. Kamera di mana-mana, lampu jalan yang katanya otomatis, dashboard digital, dan jargon "Bandung Juara" yang terpasang manis di setiap banner APBD. Tapi ternyata, di balik proyek canggih itu, pejabat-pejabat yang mengurusnya masih pakai metode zaman kerajaan: menyuap dan disuap.
Ema Sumarna, mantan Sekda Kota Bandung, baru saja divonis 5,5 tahun penjara karena kasus korupsi proyek Bandung Smart City. Ia terbukti menyuap dan menerima gratifikasi dalam proyek pengadaan kamera pemantau dan lampu jalan. Total cuan haram? Sekitar Rp 1,67 miliar.
Inilah Bandung: kotanya makin terang, tapi hati pejabatnya makin gelap.
Apa yang lebih ironis dari kota pintar yang pejabatnya bodoh soal moral? Jawabannya: tidak ada.
Ema menyuap anggota DPRD demi melancarkan proyek teknologi tinggi. Kamera pengawas jadi saksi bisu proyek tipu-tipu. Penerangan jalan jadi simbol kejahatan yang justru berlangsung dalam terang benderang.
Coba bayangkan: kamera pengawas di kota ini mungkin sudah cukup canggih untuk mengenali pelanggar lalu lintas. Tapi tidak cukup sakti untuk mengenali pejabat yang tengah menukar masa depan kota dengan amplop coklat berisi harapan.
Dalam sidang yang dipimpin hakim Dodong Iman Rusdiani, Ema dinyatakan sah dan meyakinkan bersalah. Bersama tiga anggota DPRD Kota Bandung—Achmad Nugraha, Riantono, dan Yudi Cahyadi—plus satu alumni dewan bernama Ferry Cahyadi, mereka kompak dalam satu hal: mengakali warganya.
Uang gratifikasi senilai Rp 676 juta dan suap sekitar Rp 1 miliar mengalir demi kelancaran proyek. Bukan untuk efisiensi, bukan untuk masyarakat, tapi untuk bagi hasil. Pencitraan kota pintar ternyata cuma topeng buat “pintar-pintaran” korupsi.
Vonis 5,5 tahun. Lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang mengusulkan 6,5 tahun. Dendanya Rp 200 juta, dengan tambahan uang pengganti Rp 676 juta. Jika tidak dibayar, Ema harus menyerahkan harta. Jika tidak punya harta, ya masuk penjara lagi dua tahun.
Lucunya, hal yang “meringankan” adalah karena dia tulang punggung keluarga. Ini selalu jadi kartu andalan para koruptor. Seolah-olah para pencopet anggaran publik ini adalah pahlawan keluarga yang sedang cari nafkah dengan sedikit “kreativitas akuntansi.”
Coba tanya ke warga biasa, yang jadi korban jalan rusak, penerangan minim, dan fasilitas publik yang usang. Mereka juga tulang punggung keluarga. Tapi bedanya: mereka tidak mencuri dari APBD.
Bandung sudah punya Smart City Dashboard, aplikasi ini-itu, dan rencana digitalisasi kota. Tapi yang hilang justru nilai dasar yang tak bisa diunggah ke cloud: integritas.
Ema Sumarna bukan satu-satunya. Ia hanya satu dari sekian banyak pejabat yang menganggap proyek publik sebagai ladang panen pribadi. Dari proyek lampu jalan hingga kamera pengawas, semuanya bisa dikapitalisasi jadi sumber penghasilan alternatif.
Bandung memang terang, tapi kalau yang duduk di kursi kekuasaan adalah mereka yang gelap mata, maka seluruh teknologi itu tidak akan mampu menyelamatkan kota dari kebodohan moral.
Kamera pengawas yang dibeli dari proyek ini seharusnya bisa merekam pelanggaran. Tapi, sayangnya, kamera tidak bisa menyorot isi hati. Kamera tidak bisa mendeteksi kebusukan yang sudah tertanam dalam struktur kekuasaan.
Bandung Smart City jadi seperti rumah mewah yang tampak kokoh di luar, tapi pondasinya dari lumpur. Yang terlihat canggih hanya alatnya. Yang mengoperasikan masih pakai mental dinasti Orde Lama.
Gratifikasi itu katanya bentuk penghargaan. Tapi di dunia birokrasi kita, itu artinya: “Terima kasih sudah membantu lancarkan korupsi saya.” Seperti acara syukuran kecil setelah maling sukses pulang tanpa ditangkap.
Ema menerima gratifikasi dan menyuap demi kelancaran proyek. Sementara warga biasa harus menunggu bertahun-tahun hanya untuk mendapat lampu jalan di kampung. Yang punya koneksi dapat proyek. Yang punya moral tinggal jadi pengamat.
Setelah vonis dijatuhkan, Ema dan pengacaranya bilang mereka "pikir-pikir." Artinya: menimbang apakah masih bisa lolos dari hukuman yang katanya sudah “adil.” Kalau nanti banding, bukan karena tidak bersalah, tapi karena masih berharap diskon lebih.
Jaksa KPK juga “pikir-pikir.” Alasannya? Harus lapor ke atasan dulu. Maka seluruh sistem hukum pun tampak seperti pertemuan alumni, di mana semua orang saling tahu, saling menghitung, dan saling menunda.
Warga? Tidak punya hak untuk “pikir-pikir.” Tagihan listrik, harga sembako, dan kualitas hidup mereka terus berjalan—tanpa diskon, tanpa penundaan.
Mimpi Bandung jadi smart city itu sah-sah saja. Tapi smart city itu bukan soal kamera canggih dan lampu LED. Itu soal akuntabilitas. Soal pemimpin yang sadar bahwa setiap rupiah dari anggaran adalah uang keringat warganya.
Selama proyek pintar dikelola oleh pejabat yang cuma pintar menyiasati hukum, kita akan terus disuguhi ironi seperti ini. Makin banyak gadget di jalan, makin banyak tikus di kantor.
Bandung tidak butuh pencitraan kota modern kalau para pengurusnya masih terjebak mentalitas zaman kolonial. Kota ini butuh reformasi moral. Butuh pejabat yang lebih takut kehilangan kepercayaan publik ketimbang kehilangan gaji haram.
Ema Sumarna kini bukan lagi pengurus dashboard kota, tapi penghuni daftar tahanan KPK. Satu demi satu, para pemain proyek Bandung Smart City masuk ruang sidang. Dan publik hanya bisa berharap—atau tertawa getir—karena tahu ini belum akhir.
Mungkin nanti akan ada proyek baru: “Bandung Morality Reboot.” Tapi sampai saat itu tiba, mari kita nikmati pemandangan kota dengan kamera pengawas yang tidak bisa membedakan penjahat dan pejabat.
Atau mungkin kita butuh satu dashboard tambahan: aplikasi pendeteksi pejabat rakus, lengkap dengan alarm suara, notifikasi publik, dan fitur auto-lapor ke KPK.
Kalau Bandung mau benar-benar jadi kota pintar, maka bersihkan dulu yang duduk di ruang rapat, bukan hanya yang lalu-lalang di jalan.