![]() |
Bahlil Lahadalia. © Yasuyoshi Chiba/AFP/Getty Images |
Dalam drama geopolitik terbaru yang melibatkan Iran dan Israel—dua negara yang tampaknya hobi saling lempar rudal sambil teriak “ini terakhir ya!”—harga BBM kembali jadi korban tak berdosa. Dan seperti biasa, warga negara Indonesia diminta bersabar, berdoa, dan menyesuaikan diri.
Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM yang biasanya berbicara soal investasi dan migas, kini mengubah nada bicaranya jadi lebih religius. Dalam forum geopolitik Lemhanas, beliau menyarankan: “Berdoa saja.” Katanya, karena yang bisa menyelamatkan kita sekarang hanyalah doa dan ikhtiar internal.
Artinya, jangan harap ada strategi nasional, manajemen energi yang kokoh, atau solusi berbasis data dan teknologi. Kita sekarang memasuki fase spiritualitas nasional: krisis minyak diatasi dengan istighfar berjamaah.
Bahlil menyebut bahwa asumsi harga minyak dalam APBN 2025 adalah US$82 per barel. Saat perang Iran-Israel meletus, dia sempat khawatir karena harga menyentuh US$79. Tapi sekarang, katanya, harga malah turun jadi US$67. Kesimpulan beliau? "Kita lihat saja perkembangannya."
Ini seperti menaruh uang tabungan di bawah bantal, lalu berharap pencuri tidak lewat malam itu. Pemerintah tampaknya terlalu santai menghadapi pasar global yang lebih lincah daripada TikTokers cari views.
Kalau harga naik, warga negara diminta maklum. Kalau harga turun? Ya tetap bayar mahal karena subsidi susah turun. Jadi apakah kita betul-betul punya strategi atau hanya sedang bermain lotre minyak dunia?
Perang Iran-Israel bikin dunia panas dingin. Terutama karena lokasi mereka berantem itu ada di kawasan krusial—Timur Tengah, tempat separuh minyak dunia keluar masuk seperti arus mudik lebaran.
Iran sempat main kartu andalan mereka: ancaman menutup Selat Hormuz. Jalur sempit yang setiap harinya dilewati sekitar 20 juta barel minyak. Ini semacam jalan tol untuk bensin dunia—kalau ditutup, semua negara bisa mogok bareng.
Goldman Sachs pun turun tangan, seperti dukun ekonomi global, memprediksi harga minyak Brent bisa tembus US$110 per barel jika Hormuz beneran ditutup. Skenario ringan saja—jika pasokan minyak Iran terganggu 1,75 juta barel per hari selama enam bulan—bisa bikin harga naik ke kisaran US$90.
Masalahnya, Iran sudah ancam tutup Hormuz sejak zaman Soeharto masih orasi. Tapi seperti sinetron yang tak kunjung tamat, adegan penutupan selat itu tak pernah benar-benar tayang. Iran paham: gertakan lebih berfaedah daripada konfrontasi. Tapi para spekulan minyak dan pejabat publik kita tampaknya tak bisa membedakan ancaman simbolik dan perang sungguhan.
Bahlil bilang Indonesia tak bisa bergantung pada negara mana pun. Ini benar, tapi faktanya, Indonesia sudah lama menggantungkan nasib BBM pada fluktuasi harga minyak dunia. Sekitar 60% kebutuhan BBM nasional masih diimpor, karena kilang kita tidak memadai dan produksi minyak domestik terus menurun.
Jadi ketika menteri bilang kita tak bisa berharap siapa-siapa, seharusnya itu menjadi sinyal bahaya untuk membenahi struktur energi nasional. Tapi yang kita dapat malah nasihat spiritual. Mungkin sudah saatnya BPJS menyediakan layanan khusus untuk “terapi batin menghadapi harga BBM.”
Coba bayangkan: Amerika menghadapi lonjakan harga minyak, lalu Donald Trump bilang, “Guys, let’s pray.” Pasar Wall Street langsung pingsan berjamaah. Tapi di sini? Doa dijadikan kebijakan publik.
Bukan berarti kita menolak doa. Tapi kalau kebijakan negara didasarkan pada harapan spiritual semata, kita sudah berpindah dari republik demokratis ke negara dongeng. Pemerintah seharusnya menawarkan antisipasi konkret, bukan minta warga negara bersiap dengan zikir massal tiap harga minyak naik.
Misalnya, kenapa tidak ada rencana cadangan bahan bakar nasional? Kenapa pembenahan kilang minyak masih jalan di tempat? Kenapa kita terus import BBM dalam jumlah besar padahal katanya punya cadangan migas strategis?
Kalau jawabannya adalah “karena doa lebih cepat dari proyek kilang,” maka kita harus jujur: Indonesia tidak punya roadmap energi, tapi punya buku yasin nasional.
Harga BBM dan perang Iran-Israel adalah duet maut yang membuat pasar minyak mudah tersulut. Tapi pemerintah seharusnya tak ikut jadi korban narasi kepanikan. Sebaliknya, mereka harus jadi jangkar stabilitas.
Warga negara tidak butuh pengingat bahwa situasi dunia tak menentu—kita sudah tahu itu dari harga cabai. Yang warga negara butuh adalah kejelasan: kapan kebijakan energi ini akan berpihak pada warga negara, bukan pada keuntungan segelintir pemain minyak.
Sementara itu, Goldman Sachs, bank yang jauh lebih jauh dari kita secara geografi dan empati, justru memberi analisis yang masuk akal. Katanya, AS dan China punya insentif besar untuk mencegah gangguan serius di Hormuz. Artinya, lonjakan ekstrem harga minyak bisa ditekan—asal semua pihak bertindak rasional.
Sayangnya, rasionalitas adalah barang mewah di tengah birokrasi kita yang lebih sibuk membagi narasi daripada menyusun solusi.
Pernah dengar istilah ketahanan energi nasional? Itu bukan mitos. Itu bisa jadi kenyataan—asal dikerjakan, bukan dikhotbahkan. Kita punya potensi energi terbarukan yang melimpah, tapi investasi kita ke arah itu seperti gerak siput di jalan tol.
Jika saja pemerintah benar-benar serius, setiap ancaman geopolitik global tak harus diterjemahkan ke dalam bentuk kenaikan harga BBM. Tapi kita terlalu nyaman menyalahkan “situasi global” setiap kali ada lonjakan harga.
Bahlil benar satu hal: semua negara mementingkan diri sendiri. Maka pertanyaannya: kapan Indonesia mulai mementingkan warga negara dalam soal BBM?
Harga BBM dan perang Iran-Israel memang membuat suasana global tidak pasti. Tapi ketidakpastian bukan alasan untuk menyerah dan hanya mengandalkan doa. Pemerintah harus menunjukkan bahwa mereka masih punya otoritas dan kapasitas untuk melindungi warga negaranya—bukan sekadar jadi juru bicara nasib.
Doa itu penting. Tapi doa tanpa strategi, hanya akan menghasilkan sabar yang melelahkan.
Dan untuk saat ini, warga negara Indonesia sudah terlalu sabar menghadapi harga BBM yang fluktuatif, kebijakan energi yang setengah matang, serta pejabat publik yang lebih suka bicara “berdoa” daripada “berbuat.”
Kalau pemerintah terus menyerahkan nasib energi ke langit, jangan salahkan warga negara kalau suatu hari nanti mereka juga menyerahkan surat suara mereka ke yang lebih realistis.