![]() |
Selat Hormuz. © Giuseppe Cacace/Getty Images |
Kalau ada kompetisi internasional untuk pemicu resesi tercepat, Amerika Serikat tampaknya sedang memegang medali emas. Pada 22 Juni 2025, AS resmi mengirim “salam hangat” ke tiga situs nuklir Iran—Fordo, Natanz, dan Isfahan. Bukan dengan bunga, melainkan rudal. Dunia pun terbangun bukan oleh alarm, tapi oleh harga minyak yang tiba-tiba mendekati angka 80 dollar AS per barel.
Tentu saja, ini bukan demo senjata biasa. Ini adalah deklarasi terbuka bahwa kalau dunia belum pusing, ayo kita tambah volumenya. Dan Iran, yang tentu tak menerima begitu saja diserang saat sarapan, langsung melempar ancaman: "Kami tutup Selat Hormuz!"
Apa pentingnya Selat Hormuz? Oh, tidak banyak—cuma jalur lewat 20 persen pasokan minyak dunia. Sedikit saja. Sepele. Kecuali kalau Anda tinggal di planet Bumi dan butuh bensin buat ngantar anak sekolah.
Selat Hormuz adalah semacam "jalan tol energi" di tengah laut. Setiap harinya, sekitar 14,2 juta barel minyak dan 5,9 juta barel produk turunannya ngacir lewat situ. Angka ini setara dengan 20 persen dari produksi global.
Dan tahukah Anda ke mana mayoritas minyak ini pergi? Ke Asia! Ya, kawasan yang selain padat penduduk juga padat kebutuhan energi.
China, misalnya. Mereka impor 5,4 juta barel minyak dari jalur itu per hari. Arab Saudi jadi penyumbang utama, dan Iran juga cukup loyal mengisi 1,3 juta barel per hari buat si naga merah.
India? Tak mau kalah. Sekitar 2,1 juta barel minyak per hari mereka sedot lewat jalur ini, 53 persen total impor mereka berasal dari kawasan Timur Tengah.
Korea Selatan? 68 persen impor minyaknya meluncur dari Selat Hormuz. Jepang? Hampir semua minyak mentah mereka—95 persen—juga datang dari sana.
Jadi, ketika Iran bilang mereka mau tutup Hormuz, itu ibarat ngasih tahu dunia, “Kalian puasa minyak mulai sekarang, ya.”
Negara-negara Asia mungkin punya pertumbuhan ekonomi yang bikin iri, tapi urusan minyak, semua masih jadi anak kos yang bergantung kiriman dari Timur Tengah.
China boleh saja bikin kereta peluru dan teknologi AI, tapi tetap panik kalau Hormuz disumbat. Begitu juga India yang doyan bangun kuil raksasa, tapi belum bisa bangun cadangan energi mandiri.
Korea Selatan yang rajin bikin drama Korea dan Jepang yang bikin anime, keduanya tetap tergantung pada bensin dari Arab. Negara maju, tapi tanki masih utang.
Indonesia? Ah, negara ini sudah duluan pasrah. Minyak dalam negeri tak cukup, APBN tergantung fluktuasi Brent. Kalau harga minyak naik, kita ikut naik darah.
Sementara Asia berkeringat dingin dan Eropa mulai cari alternatif, dari Washington datanglah suara khas: Donald Trump. Sang presiden tampil bukan dengan solusi damai, tapi dengan seruan khas CEO minyak global.
“Kita harus pompa lebih banyak minyak!” serunya dari Gedung Putih.
Ya, benar. Karena tentu saja solusi dari geopolitik yang genting adalah... tambahin stok! Pompa terus! Gimana caranya dunia nggak tambah panas kalau isi bumi terus dikuras? Tapi ya, begitulah logika Trump: kalau ada api, tambah bensin.
Dan sebagai bonus, ia juga minta Iran supaya jangan tutup Hormuz dong. Persis kayak maling teriak maling.
India segera mencari jalur lain. Mereka tambah impor dari Rusia dan bilang, “Tenang, pasokan kami nggak cuma dari Hormuz, kok.” Bahasa diplomatik dari “Tolong jangan panik, harga udah naik.”
Korea Selatan? Mereka punya cadangan minyak setara 200 hari. Hebat. Tapi tetap saja, ketika banjir datang, payung sebesar apa pun bisa sobek juga.
Jepang? Kapalnya sudah disuruh hemat waktu di Teluk. Ini bukan efisiensi logistik, tapi latihan bertahan hidup.
Kalau Anda pikir penutupan Hormuz hanya soal minyak, Anda salah besar. Harga minyak itu ibarat batu pertama di domino. Setelah minyak naik, harga barang-barang naik, ongkos kirim naik, inflasi naik, dan tiba-tiba Anda sadar bahwa indomie pun sudah bukan solusi murah.
Dan ini baru potensi. Kalau Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, lalu AS memutuskan untuk menyerang balik, lalu ada negara lain ikut-ikutan... maka dunia siap-siap masuk season baru: Energy Crisis: Global Edition.
Kita sekarang hidup di dunia di mana harga minyak ditentukan oleh ego politik, bukan neraca ekonomi. Negara-negara pengimpor cuma bisa nonton dari pinggir, sambil berharap si bos-bos dunia tidak terlalu temperamental minggu ini.
Serangan AS ke Iran tidak hanya memanaskan Timur Tengah, tapi juga bikin Asia berkeringat sambil ngecek harga BBM harian.
Dan kalau Anda berpikir, “Tenang, ini pasti segera selesai,” ingatlah satu hal: sejarah konflik AS dan Iran itu seperti sinetron yang tidak pernah tamat. Cuma beda aktor, tapi konflik tetap tayang tiap musim.
Selamat menikmati ketegangan global. Jangan lupa isi bensin sebelum naik lagi. Atau sekalian beli sepeda. Siapa tahu, itu investasi masa depan yang lebih bijak.