![]() |
Pesawat B-2. © Gary Hershorn/Getty Images |
Dalam dunia penuh tipu daya politik internasional, ada satu pelajaran penting dari sejarah: kalau Donald Trump bilang "mari kita berdiplomasi," sebaiknya cek dulu apakah pesawat pengebom B-2 sudah tinggal landas.
Tanggal 22 Juni 2025, Amerika Serikat resmi menambah koleksi “Oops, I did it again” di kancah global. Mereka menyerang Iran dengan penuh gaya: rudal, jet siluman, bom pemecah beton, dan tentu saja, pidato megah Trump yang isinya lebih cocok jadi monolog film aksi murahan ketimbang pernyataan presiden. Dunia dikejutkan, Iran marah, Israel bertepuk tangan.
Satu minggu sebelumnya, dunia sempat berharap. Donald Trump, dengan gaya khasnya yang lebih cocok jadi bintang reality show daripada pemimpin negara adidaya, mengumumkan “jeda dua pekan untuk diplomasi.” Eropa bersorak, Iran siap berdiskusi, dan diplomat-diplomat dunia mulai membuka folder PowerPoint bertuliskan Peace Plan 6.0.
Tapi, tak satu pun dari mereka menyadari bahwa sembari dunia sibuk menyeduh teh diplomasi, Trump dan Netanyahu sedang menyeduh sesuatu yang lebih eksplosif: skenario Call of Duty edisi Timur Tengah.
Mari telusuri absurditas ini lewat lini masa yang lebih cocok disebut countdown to chaos.
- 10 Juni 2025: AS kirim 300 rudal hellfire ke Israel. Diplomasi? Ah, itu hobi orang yang masih percaya Santa Claus.
- 12 Juni 2025: Israel siap menyerang Iran. Jet tempur sudah dandan, bom sudah pakai parfum, tinggal tunggu aba-aba dari Trump.
- 13 Juni: Israel menyerang artileri pertahanan udara Iran. Sebagai pembuka selera, katanya.
- 14 Juni: Iran membalas. Ratusan rudal meluncur ke Tel Aviv. Israel makin semangat, dan AS mulai geser kapal induk.
- 16-20 Juni: Di atas meja rapat G7, sambil makan croissant, para pemimpin Barat sepakat: Iran salah. Sementara di belakang layar, bom GBU-57 MOP sudah loading di perut pesawat B-2.
- 21 Juni: Satelit rekam truk pasir di sekitar reaktor nuklir Iran. Sinyal: target sudah dikunci. Kedubes AS dikosongkan, diplomat cabut, dan yang tertinggal hanya suara mesin jet tempur.
22 Juni 2025. Pukul 03.00 pagi waktu Teheran. Di saat Iran sedang terlelap (atau mungkin tengah membuka perundingan), langit Iran berubah jadi kembang api raksasa. Jet-jet siluman AS mengebom Natanz dan Fordo, reaktor nuklir kebanggaan Iran. Israel menyusul dengan jet-jet yang seperti tak sabar menuntaskan PR geopolitik mereka.
Trump, seperti biasa, langsung menggelar konferensi pers penuh percaya diri. Ia menyatakan, "Dengan ini, saya telah menyelamatkan dunia!" Entah dunia yang mana. Dunia Marvel mungkin.
Panggung geopolitik Timur Tengah memang rumit, tapi kalau kita ringkas: Netanyahu butuh Trump, Trump butuh kemenangan. Keduanya tidak butuh perdamaian, apalagi diplomasi.
Bagi Netanyahu, perang adalah satu-satunya hal yang bisa bikin warga negaranya lupa kalau dia sedang diburu kasus korupsi. Bagi Trump, ledakan di Iran bisa jadi soundtrack kampanye. Dan untuk dua pria yang lebih suka bermain perang-perangan dibanding politik nyata, diplomasi hanyalah hiasan di meja makan.
Koalisi Netanyahu diisi oleh kelompok sayap kanan yang yakin bahwa Palestina adalah taman bermain Israel. Mereka ingin supremasi total, bukan kompromi. Dan siapa musuh utama mereka? Iran. Maka serangan ini bukan hanya strategi, tapi obsesi.
Iran tentu saja tidak duduk manis sambil menyeduh teh saffron. Mereka menuduh Israel menyerang tanpa provokasi, dan menyatakan hanya membalas serangan. Bahkan, sebelum serangan dari AS dimulai, Iran sudah evakuasi isi reaktor. Tak ada korban jiwa, tapi ada satu korban: akal sehat dalam politik luar negeri.
Ayatollah Khamenei tetap pada posisi: nuklir bukan buat senjata. Tapi siapa percaya? AS sudah kadung percaya bahwa semua laboratorium di Iran menyimpan rencana bom atom dan bukan resep membuat pupuk.
Ironisnya, Direktur Intelijen Nasional AS sendiri, Tulsi Gabbard, pada Maret 2025 menyebut: "Tidak ada bukti Iran membuat senjata nuklir." Tapi, sejak kapan fakta mengalahkan keinginan Trump dan Netanyahu?
Dunia bertanya-tanya: kenapa Trump tetap menyerang? Karena ia tahu dunia akan diam. Inggris, Australia, Jepang, semua ikut-ikutan diam—atau justru malah membenarkan.
Satu-satunya suara lantang datang dari negara-negara yang biasa dicap "anti-Barat": Venezuela, Kuba, dan segelintir negara Arab yang sudah bosan jadi ajang baku tembak antarambisi.
Antonio Guterres dari PBB mengeluh seperti dosen yang murid-muridnya bandel. Tapi siapa peduli pada PBB ketika Trump pegang remote rudal?
Warga Iran, warga Israel, warga Gaza—semuanya jadi pion. Di Teheran, warga mulai panik. Di Tel Aviv, warganya bingung: “Katanya perang Hamas sudah cukup?” Tapi elite politik hanya tertarik pada satu hal: kekuasaan.
Dan sementara warga sipil dunia menatap layar TV dengan tegang, Netanyahu dan Trump mungkin tertawa kecil sambil mengangkat gelas—bukan untuk merayakan damai, tapi karena operasi militer mereka berjalan sesuai rencana.
Jika berpikir ini akhir cerita, salah besar. Iran tidak akan diam. Israel akan terus menyerang. AS akan pura-pura kaget, lalu kembali ikut campur. Dan diplomasi? Ya, diplomasi akan tetap hidup—di brosur-brosur kampanye pemilu.
Seperti yang dikatakan seorang warga Iran yang diwawancarai media Barat, “Kami muak dengan pemerintahan kami, tapi bukan berarti kami mau dijajah lewat rudal.” Sebuah pesan penting untuk siapa pun yang masih percaya perubahan bisa datang dari luar, pakai bom, bukan dari dalam lewat warga negaranya sendiri.