![]() |
Nuklir Iran. © Majid Saeedi/Getty Images |
Mari buka lembaran baru dalam kamus kebodohan geopolitik abad ini: serangan AS ke fasilitas nuklir Iran. Sebuah langkah strategis secerdas menyalakan korek api di atas tangki LPG sambil berharap yang keluar cuma percikan romantis, bukan ledakan beraroma plutonium.
Pada Minggu, 22 Juni 2025, Amerika Serikat yang sepertinya lebih nyaman jadi sutradara film bencana daripada penjaga perdamaian dunia, memutuskan untuk menjatuhkan bom ke beberapa fasilitas nuklir Iran. Ya, nuklir, bukan ladang poppy atau gudang sandal jepit. Fasilitas yang kalau dilukai, bisa membalas dengan cara tidak sopan: melepaskan radiasi.
Langkah ini langsung mengundang kecaman dari berbagai pihak. Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, tampak seperti orang tua yang capek menasihati anak bandel. “Saya sudah bilang berkali-kali, jangan main serang-serang fasilitas nuklir,” ujarnya dari Wina, sambil mungkin mengusap jidat karena stres.
Sebelum AS ikut-ikutan main bom, Israel sudah lebih dulu membuka pesta. Pada 13 dan 21 Juni 2025, Israel menyerang tiga situs nuklir di Iran: Isfahan, Natanz, dan Fordo. AS datang belakangan, tapi bukan sebagai penonton, melainkan sebagai DJ utama yang memutar musik paling keras: bom GBU-57 MOP.
Ketika para pemimpin dunia sibuk bersuara, “Tolong, hentikan,” AS justru menjawab, “Oke, kita tambah volume!”
Masalahnya, tempat yang mereka serang bukan pos ronda, tapi fasilitas dengan uranium di dalamnya. Bahkan jika uranium yang disimpan masih level bocah—pengayaan rendah, belum sampai jadi senjata nuklir—tetap saja, dia bisa berubah jadi monster jika dilepaskan ke udara.
Buat yang lupa sejarah atau memang sengaja skip pelajaran Fisika, mari mengingat kembali dua tragedi nuklir paling terkenal: Chernobyl dan Fukushima.
Chernobyl 1986, dengan desain reaktor yang ngaco dan kru yang selevel gamer warnet, meledak dan menyemburkan radiasi sampai ke Eropa Barat. Akibatnya? Ribuan orang kena kanker, puluhan ribu dievakuasi, dan sampai sekarang masih banyak daerah yang tak bisa dihuni.
Fukushima 2011, kena tsunami dan gempa. Meski reaktornya lebih sopan dibanding Chernobyl, tetap saja menyebabkan kepanikan global dan evakuasi besar-besaran. Bedanya, ini karena bencana alam, bukan karena hasrat mengebom negara tetangga.
Lalu sekarang? AS dan Israel kayak anak-anak yang nonton dokumenter dua tragedi itu, lalu bilang: “Wow, keren! Yuk bikin sequel-nya!”
Oke, kita adil. IAEA bilang, tidak ada peningkatan radiasi signifikan di sekitar fasilitas nuklir yang diserang. Bahaya langsung memang nihil. Tapi ini seperti bilang: “Tenang, kita baru ngebut 200 km/jam tapi belum nabrak apa-apa, jadi aman kok!”
Kenyataannya, fasilitas seperti Natanz dan Fordo menyimpan uranium heksafluorida—zat yang kalau bocor bisa bikin paru-paru terbakar, atau paling tidak bikin penduduk sekitar jadi bintang sinetron radiasi. Belum lagi kemungkinan bahan-bahan itu terkena air tanah, terbawa angin, atau nyasar ke sistem irigasi. Tidak semua dampak radiasi itu langsung. Beberapa seperti investasi bodong—munculnya belakangan.
Resolusi GC(XXXIV)/RES/533 IAEA secara jelas bilang: menyerang fasilitas nuklir damai itu pelanggaran hukum internasional dan Piagam PBB. Tapi siapa peduli? Resolusi itu nasibnya seperti syarat dan ketentuan aplikasi pinjaman online—dibaca sekilas, langsung diabaikan.
Setiap kali dunia bilang, “Tolong jangan serang fasilitas nuklir,” para pemimpin dunia tampaknya malah buka Google Maps, ketik “nuclear reactor near me,” dan mulai mengincar target.
Dalam skenario ini, seperti biasa, G7 ikut rapat, kecam Iran, dan bela Israel. Di mata mereka, Israel adalah anak emas yang tak bisa salah. Kalau dia main petasan di dapur nuklir, yang disalahkan justru pemilik dapurnya.
Iran? Ya, Iran pasti punya dosa juga, terutama karena uranium-nya bikin semua orang paranoid. Tapi kita sedang bicara tentang hukum internasional yang berlaku untuk semua. Bukan “satu hukum untuk kalian, hukum istimewa buat sekutu saya.”
Yang bikin ngeri adalah, seluruh dunia sedang duduk di tribun penonton menatap panggung utama di Iran. Sementara AS dan Israel menari dengan jet tempur dan rudal, kita semua cuma bisa berharap nuklirnya tidak tersinggung dan meledak karena salah paham.
Grossi dari IAEA sudah seperti guru BP yang kelelahan: “Eskalasi militer ini membahayakan jiwa, bisa menyebabkan radiasi menyebar, dan mengganggu upaya diplomatik.” Tapi, seperti biasa, suara rasional tenggelam dalam dentuman bom dan komentar Twitter.
Serangan AS ke fasilitas nuklir Iran adalah puncak absurditas dalam geopolitik modern. Kita tidak sedang berbicara soal operasi militer biasa, tapi soal bermain-main dengan zat yang bisa bikin daratan jadi tak layak huni selama ratusan tahun. Dan semua ini terjadi hanya karena ego, dendam politik, dan keinginan mempertontonkan kekuatan.
Jika dunia masih ingin tetap punya peta yang warnanya hijau dan biru, bukan merah dan ungu karena radiasi, mungkin sudah saatnya kita berhenti memberi panggung pada para pemimpin yang mengira dunia ini gim strategi.
Atau kita bersiap saja—pakai jas anti radiasi, simpan air bersih, dan unduh semua episode Chernobyl. Siapa tahu, bisa jadi panduan bertahan hidup saat sekuelnya rilis live di Timur Tengah.