![]() |
Netanyahu bisik Trump. © Kevin Dietsch/Getty Images |
Dalam pementasan teater geopolitik teranyar, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan bahwa cara terbaik untuk mengajak Iran ke meja perundingan adalah dengan mengebom tiga fasilitas nuklirnya. Diplomasi? Itu hanya hiasan kata di podium kampanye. Yang penting ledakan dulu. Maka “Trump bombardir Iran” bukan hanya headline, tapi mungkin juga nama album debutnya kalau ia nyanyi.
Trump memberi Iran dua minggu untuk berpikir: mau damai atau mau main “lempar rudal siapa lebih cepat”? Tapi belum juga Iran sempat nyalain kompor buat seduh teh, Amerika malah ngelempar hadiah tiga bom ke Fordo, Isfahan, dan Natanz. Hebat. Ini seperti ngajak tetangga ngobrol sambil bakar rumahnya.
Setelah aksinya, Trump berterima kasih kepada dirinya sendiri. Karena ya, siapa lagi yang akan berterima kasih kepada orang yang memulai perang dengan alasan “Saya tahu di mana kau tinggal”? Dialog yang bahkan terlalu dramatis buat film John Wick.
Trump bombardir Iran bukan sekadar aksi militer—ini strategi marketing personal buat memikat pemilih sayap kanan Amerika yang doyan slogan “America First, Diplomacy Later (kalau sempat)”. Dua hari setelah mengumumkan jeda dua minggu untuk “pertimbangan damai”, Trump malah mengebom tiga lokasi nuklir Iran.
Ironisnya, semua ini dilakukan sambil membawa nama Operasi Singa Bangkit, padahal yang terlihat lebih bangkit adalah ego Trump dan Netanyahu. Kedua orang ini memang mirip. Saling mendukung seperti duet musisi yang sudah tidak peduli kritik, asal masih bisa manggung.
Netanyahu memang bukan Presiden AS. Tapi jika melihat keputusan Trump, bisa saja kita tertukar. Netanyahu, yang sedang ditekan warga negara Israel sendiri karena genosida di Gaza dan kegagalan memulangkan sandera, memerlukan pengalihan isu. Maka ia mengalihkan perhatian ke Iran.
Trump, sebagai sahabat yang baik (dan calon penerima Nobel Perang), tentu langsung pasang badan. Ia tahu betul: tanpa dukungan ekstrem kanan, Netanyahu tumbang. Dan kalau Netanyahu tumbang, bisa-bisa yang ikut roboh itu lobi politik Israel di Gedung Putih.
Trump dan Netanyahu ini seperti dua orang tua yang ikut campur konflik anak tetangga karena bosan di rumah sendiri. Dan sialnya, mereka bawa senjata berat.
Iran tentu marah. Bukan hanya karena diserang, tapi karena dikhianati logika internasional. Iran bilang, “Kalau Israel berhenti menyerang, kami juga berhenti.” Tapi seperti biasa, logika hanya berlaku untuk negara yang tidak didukung veto Dewan Keamanan PBB.
Trump bombardir Iran bukan hanya menyalahi hukum internasional, tapi juga membunuh sisa-sisa kepercayaan terhadap diplomasi global. Padahal, seperti kata antropolog Narges Bajoghli, membunuh Ayatollah bukan berarti menghancurkan sistem. Iran bukan toko waralaba yang tutup kalau manajernya cabut. Sistem mereka sudah disetting untuk regenerasi otoriter.
Iran mengatakan: tidak akan ada kekuatan yang bisa membalikkan Revolusi Islam. Dan yang bilang itu bukan akun anonim di Twitter, tapi pemerintah resmi Iran. Sementara itu, warga Iran sendiri juga kebingungan: mereka tidak suka pemerintahnya, tapi lebih tidak suka diatur negara lain yang bawa bom.
Uni Eropa panik. Begitu Trump mulai nge-tweet tentang “jeda dua minggu”, para menlu dari Jerman, Inggris, dan Prancis langsung ke Swiss. Mereka berharap bisa memediasi. Tapi belum juga sempat ngobrol panjang, AS sudah lempar bom. Gagal paham versi diplomatik.
Satu-satunya pemimpin yang memberi selamat kepada Trump adalah—tentu saja—Netanyahu. Sementara itu, Antonio Guterres dari PBB bilang konflik ini “semakin tak terkendali”. Itu bahasa diplomatik untuk “nggak ada yang ngedengerin omongan saya lagi”.
Negara-negara seperti Inggris dan Jepang memilih posisi aman: minta semua pihak berdamai sambil tetap menyalahkan Iran. Negara-negara Arab seperti Arab Saudi dan Mesir sudah mulai menyusun pernyataan formal dengan nada klasik: "Tolong tahan diri." Sementara Houthi di Yaman justru senang. Ini alasan sah buat ikut pesta rudal.
Trump bombardir Iran juga mengungkap ironi di dalam negeri Amerika Serikat. Warga negaranya sudah kenyang perang. Mereka ingin pulang, bukan lagi kirim tentara. Bahkan pendukung garis keras Trump seperti Marjorie Taylor Greene merasa dibohongi. Janji kampanye Trump: AS tidak akan ikut perang lagi. Tapi kenyataannya, dia malah daftar jadi pemain utama.
Sebagian anggota DPR AS dari Partai Republik bahkan heran. Bagi mereka, menyerang Iran itu seperti membeli barang di toko diskon—bisa murah sekarang, tapi repot kemudian. Iran bukan negara yang diam saat ditampar. Dan ini bukan film Mission: Impossible di mana Tom Cruise bisa kabur dengan helikopter sambil bawa bom nuklir.
Kini dunia bertanya: apakah Trump benar-benar percaya diplomasi? Atau ia hanya aktor yang menunggu arahan dari Netanyahu sang sutradara perang? Karena sejauh ini, yang lebih banyak mengatur panggung adalah Israel.
Iran sudah ke Dewan Keamanan PBB. Tapi kita tahu bagaimana cerita itu berakhir. Amerika punya hak veto. Jadi kemungkinan besar, resolusi akan dibuang ke tong sampah diplomasi PBB yang makin penuh.
Akhirnya, warga sipil di Gaza, Teheran, Tel Aviv, dan bahkan Washington yang jadi korban. Karena para pemimpin dunia sibuk saling kirim sinyal perang, sementara warga negaranya sibuk bertahan hidup dan menghindari sirene serangan udara.
Jika diplomasi kini berarti "lempar bom, lalu ajak ngobrol," maka mungkin sudah waktunya kita ganti Kamus Besar Diplomasi Internasional. Dalam kamus versi Trump, negosiasi dimulai setelah kehancuran. Dan jika tidak berhasil? Ya tinggal lempar bom lagi.
Dunia menanti apakah Trump akan berubah, atau terus menjadi pion Netanyahu.