Harga minyak naik karena serangan AS ke Iran

Krisis minyak akibat konflik AS-Iran bisa bikin Indonesia megap-megap di tengah APBN yang sudah ngos-ngosan.

Harga minyak naik karena serangan AS ke Iran. © Dimas Ardian/Bloomberg/Getty Images
Isi bahan bakar di SPBU. © Dimas Ardian/Bloomberg/Getty Images

Mari kita sambut babak baru dalam sinetron geopolitik dunia, edisi AS menyerang, Iran membalas, Indonesia ikut ngos-ngosan. Dalam episode paling panas ini, serangan Amerika Serikat ke tiga situs nuklir Iran pada Minggu dini hari waktu Teheran bukan hanya memancing rudal balasan, tetapi juga mengguncang harga minyak mentah dunia hingga mendekati 80 dollar AS per barel. Dan seperti biasa, Indonesia, sang net importer sejati, kembali menjadi korban sinetron ini yang tak pernah diundang tapi selalu menanggung beban.

Ya, harga minyak naik karena serangan AS ke Iran, dan Indonesia langsung bersiap-siap mencari oksigen karena APBN-nya bisa sewaktu-waktu kolaps tanpa aba-aba. Kenaikan harga minyak ini memang belum menyentuh angka horor seperti 2022 (ingat saat harga nyaris 120 dollar AS?), tapi pasar sudah mulai gelisah seperti mahasiswa skripsian yang belum punya judul.

Penyebabnya? Iran mulai ancang-ancang menutup Selat Hormuz. Bagi yang belum tahu, selat ini adalah semacam jalan tol utama bagi kapal-kapal pengangkut minyak dari Timur Tengah. Begitu ditutup, bisa dibayangkan betapa kacaunya dunia migas. Pasokan minyak global akan langsung sesak napas. Sebab, dari lima negara Timur Tengah saja—Arab Saudi, Iran, Irak, UEA, dan Kuwait—kontribusi produksinya mencapai 26 persen dari total produksi global.

Bayangkan kalau 26 persen itu hilang dari pasar. Itu seperti tiba-tiba 26 persen pasokan nasi padang menghilang di Jakarta—kerusuhan mungkin pecah.

Nah, kembali ke tanah air tercinta. Indonesia, yang dulu bangga sebagai eksportir minyak, kini sudah sejak 2004 menjadi net importer. Produksi minyak kita hanya sekitar 583.000 barel per hari, sementara konsumsi mencapai 1,6 juta barel per hari. Artinya, lebih dari separuh harus dibeli dari luar negeri. Jadi ketika harga minyak dunia naik gara-gara konflik AS-Iran, kita bukan sekadar terpengaruh—kita ikut tercekik.

Yang lebih dramatis lagi, harga minyak dunia saat ini memang masih di bawah asumsi APBN 2025 (82 dollar AS per barel), tapi situasi bisa berubah secepat mood netizen Twitter. Dan ketika asumsi itu ditembus, bersiaplah menyambut revisi anggaran dan... ya, potensi kenaikan harga BBM. Lagi.

Kita semua tahu pola lama ini: harga minyak dunia naik → APBN jebol → pemerintah pusing → BBM subsidi naik → warga negara ngamuk → politisi tampil ala pahlawan kesiangan.

Sayangnya, opsi ini tetap menjadi senjata utama pemerintah. Kalau ICP (harga minyak mentah Indonesia) lebih tinggi dari asumsi, maka subsidi membengkak. Kalau tak kuat menahan, BBM dinaikkan. Lalu warga negara disuruh memahami "kondisi global tidak pasti", padahal yang pasti adalah dompet makin tipis.

Sektor hilir Indonesia akan menderita karena produksi minus. Produksi sedikit, impor banyak, harga naik—ini formula sempurna untuk neraka fiskal.

PT Pertamina tampaknya tak ingin kecolongan. Kapal-kapal Pertamina kini diawasi seperti murid kelas tiga yang pegang HP di ruang ujian. Bahkan rute pengiriman minyak dari Timur Tengah sudah disiapkan untuk dialihkan ke jalur alternatif, seperti via Oman atau India.

Kita bisa lega sedikit, tapi jangan terlalu senang. Karena meskipun kapal bisa dialihkan, harga minyak tetap akan merangkak naik jika pasokan terganggu. Artinya, upaya Pertamina hanyalah plester kecil untuk luka besar dalam sistem energi nasional.

Kondisi ini memperlihatkan satu hal: Indonesia tidak siap menghadapi guncangan energi, baik dari sisi produksi maupun diplomasi. Ketergantungan pada minyak luar negeri, ditambah lifting minyak yang terus turun dari tahun ke tahun, membuat kita seperti penumpang yang duduk di bus mogok tapi berharap sampai tepat waktu.

Tahun 2019, lifting minyak kita masih 746.000 BOPD. Kini, tinggal 579.700 BOPD. Semua karena sumur tua yang makin renta. Sayangnya, regenerasi sumur migas tidak semudah regenerasi politisi di partai. Sumur butuh eksplorasi dan teknologi, bukan sekadar jargon “kita harus mandiri energi”.

Pemerintah sudah berusaha, katanya. Mulai ada proyek baru, pengeboran sumur pengembangan, dan proyek Banyu Urip yang digadang-gadang akan menyumbang tambahan 30.000 BOPD. Tapi semua ini masih seperti upaya tambal sulam di karung bocor. Selama kita tetap mengimpor lebih dari 1 juta barel per hari, kita tetap akan tertatih.

Yang bikin tambah getir, APBN 2025 sudah defisit sejak awal tahun. Artinya, lonjakan harga minyak hanya akan mempercepat langkah kita ke jurang fiskal. Revisi anggaran tak terhindarkan. Dan karena pemilu baru saja usai, siapa pun yang menang tak akan bisa menghindar dari kenyataan pahit ini.

Kalau harga minyak menyentuh 90 atau bahkan 100 dollar AS per barel, pemerintah harus memilih: jaga subsidi dan utang membengkak, atau kurangi subsidi dan warga negara ngamuk. Di titik ini, pilihan kita bukan lagi antara buruk dan baik, melainkan antara buruk dan lebih buruk.

Harga minyak naik karena serangan AS ke Iran hanyalah babak baru dari kisah panjang ketergantungan energi Indonesia. Kita terlalu lama memelihara ilusi bahwa harga minyak bisa dikendalikan dengan doa dan slogan “kita optimis”. Faktanya, selama kita tetap bergantung pada impor, setiap konflik di Timur Tengah adalah bom waktu bagi perekonomian nasional.

Jadi apa solusinya? Investasi migas dalam negeri? Diversifikasi energi? Penghematan? Semua itu sudah lama disebut, tapi eksekusinya seperti sinetron Ramadan: panjang, lambat, dan kadang lupa jalan cerita.

Sampai saat itu tiba, kita cuma bisa berharap, semoga para pemimpin kita tidak lagi mengandalkan keberuntungan geopolitik untuk menjaga harga BBM. Karena kalau strategi energi kita masih seperti ini, bukan hanya harga minyak yang naik—tapi juga tekanan darah warga negara.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar