Rudal Iran bikin Qatar tutup langit

Iran menembakkan rudal balasan ke pangkalan AS Al Udeid, Qatar menutup langitnya sehari sebelum dibuka kembali.

Rudal Iran bikin Qatar tutup langit. © AFP/Getty Images
Rudal Iran mendarat di Qatar. © AFP/Getty Images

Di era digital ini, bahkan rudal pun tampaknya butuh izin masuk. Iran serang pangkalan AS di Qatar dengan gaya yang hampir bisa disamakan dengan notifikasi WhatsApp: cepat, langsung, dan (katanya) sopan. Tapi bukan berarti tanpa efek. Qatar langsung menutup wilayah udaranya. Tidak untuk selamanya, tentu saja—cukup sehari, seperti toko yang tutup karena ada perbaikan AC.

Iran menembakkan rudal ke Pangkalan Udara Al Udeid, tempat mangkalnya kekuatan militer AS di Qatar, sebagai balasan atas aksi AS yang menjatuhkan bom ke tiga fasilitas nuklir Iran. Dan seperti biasa, respons Trump datang dengan kecepatan tweet dan gaya khas anak OSIS yang baru menang pemilihan ketua: penuh percaya diri, dan sedikit bingung.

Menurut Korps Garda Revolusi Iran, mereka meluncurkan enam rudal balistik—baik jarak pendek maupun menengah—ke pangkalan Al Udeid. Enam rudal, bukan sembarang angka. Itu disebut sebagai jumlah yang “sebanding” dengan jumlah bom yang dijatuhkan AS ke situs nuklir Fordo, Natanz, dan Isfahan. Jadi ini bukan perang, ini matematika dendam.

Yang menarik, Iran menegaskan bahwa rudal itu tidak ditujukan untuk mengancam Qatar. Tidak ada niat untuk menyakiti negara sahabat, katanya. Bahkan mereka ingin menjaga persaudaraan. Ya, jadi begini logikanya: “Maaf kami lempar rudal ke rumah tetanggamu, tapi percayalah, kami tetap cinta kamu.” Ini bisa jadi contoh komunikasi paling absurd abad ini.

Qatar sendiri seperti anak kost yang rumahnya dijadikan arena lempar-lemparan sepatu oleh dua tetangga yang bertengkar. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed al-Ansari, menyatakan bahwa Qatar punya hak untuk menanggapi secara langsung dengan cara proporsional.

Pertanyaannya: seperti apa “cara proporsional” dari negara yang langitnya baru saja dipakai sebagai jalur rudal? Buka kembali wilayah udara sambil pasang kamera CCTV?

Yang jelas, Qatar sempat menutup langitnya. Langit bukan milik siapa-siapa, tapi dalam geopolitik, menutup langit bisa lebih dramatis daripada menutup hubungan pertemanan di Facebook.

Dunia internasional pun ikut nimbrung. Menteri Luar Negeri Jerman menyebut serangan Iran sebagai “jawaban yang dikalibrasi.” Sebuah istilah yang terdengar seperti review mesin espresso, bukan perang.

Prancis lewat Emmanuel Macron meminta semua pihak menahan diri. Arab Saudi tiba-tiba jadi tetangga baik, menawarkan dukungan ke Qatar. PBB, tentu saja, tidak mau ketinggalan meski gagal cegah perang global. Sekjen Antonio Guterres melalui juru bicaranya menyerukan agar semua pihak kembali ke jalur diplomatik.

Kalau dunia ini panggung, maka Iran dan AS sedang rebutan jadi aktor utama. Dan Qatar, lagi-lagi, jadi panggungnya.

Donald Trump, presiden AS sekaligus raja komentar instan via Truth Social, seperti biasa tidak kehilangan panggung. Dalam komentarnya, ia menyebut bahwa serangan Iran sudah diperkirakan dan... sangat lemah. Seolah sedang mengulas makanan pedas yang ternyata cuma level satu.

Menurutnya, ini saat yang tepat bagi Iran untuk kembali ke meja perundingan. Dan tentu saja, ia menganjurkan Israel untuk melakukan hal yang sama. Trump memang selalu punya bakat jadi guru BK dalam dunia internasional: semua disuruh damai, sambil ngasih nilai siapa paling “berani.”

Serangan rudal Iran ini disebut-sebut sangat mirip dengan yang terjadi tahun 2020—waktu Iran membalas serangan AS yang membunuh Jenderal Qassem Soleimani. Sama-sama ke pangkalan AS, sama-sama diberi tahu sebelumnya, dan... sama-sama tidak menimbulkan korban.

Apakah ini pertanda bahwa Iran sudah punya template serangan versi diplomatis? Mirip seperti email resmi yang sudah ada formatnya: salam pembuka, maksud dan tujuan, lampiran rudal, salam penutup.

Menurut The New York Times, serangan ini “dirancang dengan teliti agar semua pihak punya jalan keluar.” Ini bukan perang, ini lebih seperti exit strategy dengan ledakan kecil.

Dengan dunia internasional meminta ketenangan, Iran menegaskan bahwa serangan itu hanya untuk menegaskan posisi, bukan untuk eskalasi. Seperti pasangan yang mengirim pesan panjang ke mantan: “Saya tidak ingin kembali, tapi kamu harus tahu aku marah.”

Sementara itu, Trump terus bermain narasi. Dengan menyebut serangan Iran sebagai “sangat lemah,” ia menyampaikan bahwa AS tetap kuat, tenang, dan siap berdamai... jika lawannya sudah capek.

Israel, meskipun belum muncul dalam berita utama, tetap disebut Trump sebagai pihak yang “perlu didorong” menuju damai. Seolah-olah ini bukan konflik dunia, tapi pertengkaran antara dua anak TK yang perlu disemangati agar saling peluk.

Yang jadi persoalan besar bukan hanya siapa menembak siapa, tapi bagaimana semua pihak begitu lihai memanipulasi persepsi publik. Rudal jadi pesan. Langit ditutup bukan karena takut, tapi karena pertimbangan strategis. Serangan balasan disebut “dikalkulasi,” “proporsional,” dan “terukur.”

Ini seperti dunia sepakat bahwa konflik itu tidak masalah, asal estetik dan ada justifikasi naratif yang kuat. Bahkan rudal balistik kini punya misi PR: menjelaskan niat baik lewat jalur ledakan.

PBB, Uni Eropa, negara-negara Teluk, semua seperti bingung antara menyalahkan atau memaklumi. Sebab setiap tindakan perang sudah disampaikan dengan penjelasan panjang. Seolah-olah kalau niatnya “bukan untuk menyakiti,” maka dampaknya tidak perlu dihitung.

Iran serang pangkalan AS di Qatar bukan sekadar aksi militer. Ini adalah babak terbaru dalam teater geopolitik, di mana rudal adalah bagian dari dialog, dan langit negara bisa tutup buka seperti pintu kamar mandi umum.

Ketika serangan dibungkus sebagai tanggapan “terukur,” dan ketika pemimpin dunia lebih sibuk mengatur narasi daripada menghentikan konflik, maka yang perlu dihentikan bukan hanya senjata, tapi juga absurditas kolektif.

Perang bukan lagi soal menang atau kalah. Ini soal siapa yang paling kreatif menamai ledakan.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar