![]() |
Rudal Iran otw pangkalan AS di Qatar. © Stringer/Getty Images |
Iran serang pangkalan AS di Qatar, dan dunia tercengang bukan karena rudalnya, tapi karena... notifikasinya. Ya, rudal dijatuhkan, tapi dengan etika tinggi khas era digital: ada pemberitahuan dulu. Ini bukan lagi perang zaman batu. Ini perang beradab—dengan reminder.
Kalau biasanya perang terjadi mendadak, kali ini Iran menyampaikan rencana lewat jalur diplomatik. Isinya kurang lebih: “Hai AS, mohon maaf, nanti malam kami akan kirim 14 rudal ke pangkalan Al Udeid, sekadar balasan karena kalian lempar bom 30 ribu pon ke fasilitas nuklir kami kemarin. Salam damai.”
Presiden Donald Trump—dengan kharismanya yang seperti mix antara sales properti dan komentator WWE—langsung menanggapi dengan hangat. “Terima kasih Iran atas pemberitahuannya. Tidak ada yang terluka, jadi semua baik-baik saja.” Kalau bukan soal perang, kita bisa kira ini soal pesta ulang tahun anak tetangga.
Bayangkan skenario ini: seseorang melempar granat ke rumah Anda. Lalu Anda membalas dengan meriam, tapi bilang dulu, “Bro, minggir ya, saya tembak sebentar lagi.” Dan yang dilempar malah bilang terima kasih. Begitulah kira-kira perang Iran-AS sekarang. Bukan soal siapa lebih kuat, tapi siapa lebih sopan.
Iran serang pangkalan AS di Qatar dengan rudal, tapi bukan untuk melukai—konon cuma untuk menyampaikan pesan. Semacam lempar botol berisi surat di tengah perang. Dan karena diberi tahu, semua personel Amerika bisa tiarap sambil live tweet: “Guys, rudal datang jam 8 malam. Don’t worry.”
Trump menyebut langkah Iran itu sebagai “pertanda baik.” Tentu saja, dalam dunia Trump, kalau Anda melempar rudal tapi sopan, itu disebut niat damai. Yang tidak sopan itu kalau Anda melempar rudal sambil diam-diam.
Serangan ini adalah reaksi atas tindakan Amerika menjatuhkan bom seberat 30.000 pon ke fasilitas nuklir bawah tanah Iran. 30.000 pon, bos! Kalau ini makanan, bisa buat buka warteg se-Jakarta selama seminggu. Tapi Iran tak membalas dengan brutal. Mereka balas dengan efisiensi dan ketertiban.
Begini modelnya:
- AS menjatuhkan bom?
- Iran balas dengan rudal ke pangkalan.
- Tapi sebelum itu, mereka kirim kabar ke AS dan Qatar.
Serangan ini lebih tertib daripada sebagian besar agenda rapat DPR. Bahkan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, menyatakan Iran siap balas lagi kalau AS masih berulah. Tapi jangan khawatir, kemungkinan mereka akan broadcast jadwalnya dulu via email.
Sikap Trump terhadap perang ini sangat... Trump. Alih-alih marah karena pangkalan militernya diserang, dia malah sibuk bikin status di Truth Social sambil mengucapkan selamat kepada Iran karena tidak membunuh siapa pun.
Bahkan Trump terlihat lebih puas dengan etika serangan Iran daripada kualitas lobi Kongresnya sendiri. Ia mengatakan bahwa pemberitahuan itu adalah “tanda niat baik” Iran. Lalu ia menyerukan agar Israel mengikuti contoh Iran.
Serius, kalau Iran dapat piagam “Penyerang Terbaik dengan Etika”, mungkin Trump yang akan menyerahkannya langsung, lengkap dengan jabat tangan dan foto bareng.
Dalam gaya khas salesman yang doyan branding, Trump kemudian menyebut konflik ini sebagai “Perang 12 Hari.” Seperti nama miniseri Netflix. Bedanya, ini bukan drama politik, ini benar-benar perang sungguhan. Tapi dalam tangan Trump, semua bisa dipoles jadi konten.
Dia menyampaikan selamat kepada Israel dan Iran karena punya stamina dan kecerdasan untuk mengakhiri perang. Sebentar—jadi, yang jago perang itu bukan yang menang, tapi yang tahu kapan berhenti?
Belum ada pengakuan resmi dari Iran atau PBB soal gencatan senjata, tapi Trump sudah bikin pengumuman lengkap. Seolah dia bukan Presiden AS, tapi Event Organizer Perang Dunia.
Sementara Iran sibuk mengatur rudal dan AS sibuk mengatur narasi, Israel pun mengirim sinyal bahwa mereka juga ingin segera menyudahi kampanye militernya. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut bahwa mereka “sangat, sangat dekat” untuk mencapai tujuan. Tidak dijelaskan tujuannya apa, tapi yang jelas mereka mulai lelah.
Pejabat senior Israel juga katanya sudah ngobrol ke AS bahwa mereka pengin buru-buru selesai. Entah karena alasan kemanusiaan atau kehabisan peluru—yang jelas, mood-nya sudah ingin pulang dan nonton Netflix.
Yang membuat perang ini unik adalah suasananya. Tidak ada teriakan. Tidak ada darah. Tidak ada invasi brutal. Hanya saling kirim rudal dengan notifikasi dan diplomasi. Bahkan serangan rudal Iran itu disebut Trump sebagai “respons lemah”—semacam kritik sopan: “Eh, kamu balasnya kurang greget, lain kali yang lebih ‘boom’ ya.”
Dunia belum pernah menyaksikan model konflik seperti ini. Ini seperti duel koboi, tapi semua orang saling menyapa dulu. Perang rasa seminar internasional.
- Rudal datang, tapi dikabari 3 jam sebelumnya.
- Pangkalan Amerika kosong, hanya ada kamera CCTV.
- Trump nonton live dari Gedung Putih sambil makan popcorn.
- Iran kirim surat permohonan maaf via fax karena dentuman terlalu keras.
Sebagian publik bertanya: apakah ini sungguhan perang? Atau cuma simulasi geopolitik buat jaga rating kampanye? Dunia bingung. Biasanya perang diiringi ledakan dan pengungsi. Sekarang, perang dikemas rapi, tanpa korban, dengan pernyataan resmi penuh pujian.
Yang lebih aneh lagi: tidak ada pihak yang benar-benar marah. AS tidak ngotot membalas. Iran juga tidak ngamuk. Israel bahkan sudah bosan. Ini seperti sinetron yang rating-nya turun dan semua aktor pengin move on.
Iran serang pangkalan AS di Qatar adalah babak baru dalam drama geopolitik dunia. Tapi kali ini bukan soal ledakan, tapi soal notifikasi. Dunia menyaksikan perang yang penuh tata krama. Sebuah ironi, karena di tengah dunia yang makin brutal, ternyata rudal bisa dilempar dengan sopan.
Namun, jangan terlena. Meski tidak ada korban, ini tetap perang. Di balik diplomasi dan tweet Trump yang penuh senyum, ada konflik senjata yang nyata. Kita patut waspada, sebab jika semua serangan ke depan berbasis notifikasi, jangan-jangan perang selanjutnya akan hadir di notifikasi ponsel Anda:
“Iran mengirim rudal ke lokasi Anda. Buka aplikasi untuk melihat rincian.”