![]() |
Logo PBB. © Ludovic Marin/AFP/Getty Images |
Sudah 80 tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri dengan janji manis: “Kami hadir agar dunia tak lagi perang.” Tapi kenyataannya? PBB kini lebih mirip resepsionis hotel bintang dua—selalu angkat telepon, mencatat keluhan, tapi tak pernah bisa menyelesaikan apa-apa. Hanya beda satu: hotel itu tak punya lima tamu tetap yang bisa lempar veto ke kepala manajer kapan saja.
Dari Rusia menginjak Ukraina, Israel menghujani Gaza, hingga Amerika ikut-ikutan mengebom Iran, PBB tetap di tempat: duduk rapi, keluarkan pernyataan prihatin, lalu diam seperti patung lilin di museum konflik global.
PBB gagal cegah perang global bukan cuma kalimat kritis, tapi sudah jadi kenyataan yang membentur kepala warga sipil dari Kharkiv sampai Khan Younis.
Pusat masalahnya? Dewan Keamanan PBB. Tempat di mana lima negara—Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan China—main Monopoli sambil bawa bom atom di tas kerja mereka. Mereka pegang hak veto. Jadi, jika satu saja tidak suka suatu resolusi, seluruh dunia harus angkat tangan.
Contohnya? Rusia memveto gencatan senjata Ukraina. AS memveto penyelesaian konflik Gaza. Dan sisanya? Berdebat soal paragraf ketiga dalam draf resolusi sambil minum kopi mahal.
Kata Richard Gowan dari International Crisis Group, PBB sudah batuk-batuk sejak Perang Dingin selesai. Setelah gagal tangani genosida Rwanda, mereka sempat bangkit. Tapi sekarang? Jatuh bangun seperti boyband era 2000-an yang cuma laku di negara asal.
Kita sudah mendengar soal "reformasi Dewan Keamanan" sejak CD masih jadi alat penyimpanan utama. Tapi hasilnya? Nol besar. Mungkin karena Dewan Keamanan bukan mau direformasi, tapi justru menikmati kekacauan sebagai ajang unjuk kekuatan.
Joe Biden sempat memberi harapan pada 2022: memberi kursi tetap ke Jepang, Jerman, India, bahkan perwakilan Afrika dan Amerika Latin. Tapi seperti janji politisi pada umumnya, ide itu tenggelam begitu pemilu usai. Begitu Trump kembali ke Gedung Putih, kata multilateral langsung dicoret dari kamus diplomatik Amerika dan diganti dengan Make America (and Israel) Great Again. Diplomasi diganti monolog Twitter. Dan PBB? Kembali jadi penonton tak berdaya sambil menanti iuran tahunan yang makin seret masuk.
Kalau kamu berharap PBB akan turun tangan menyelamatkan warga sipil, mungkin kamu juga masih percaya bahwa unicorn itu nyata. Lihat saja Gaza: Israel bombardir habis-habisan sejak 2023, dan PBB? Baru bisa berkata “kami prihatin” setelah 10.000 nyawa melayang dan bangunan setara satu kota luluh lantak.
Sudan? Sahel? Yaman? Armenia vs Azerbaijan? Konflik-konflik itu seperti anak-anak tiri yang tidak pernah diundang ke pesta resolusi. PBB memang mengutuk. Tapi siapa yang takut kutukan kalau kenyataannya itu hanya berakhir di siaran pers dan tidak pernah jadi tindakan?
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres bukannya diam. Ia meluncurkan program “UN80” yang katanya sih, ingin mereformasi lembaga itu secara menyeluruh. Tapi kalau caranya seperti sekarang, reformasi PBB ini seperti memperbaiki rumah bocor dengan tisu dapur.
Katanya, UN80 ingin mengembalikan diplomasi multilateral, wadah negara kecil untuk bersuara, dan penyelesaian sengketa yang adil. Tapi bagaimana mau adil kalau lima negara superpower bisa menekan tombol veto seperti main gim arcade?
Menariknya, Norwegia—negara kecil yang lebih sering disangka tempat shooting Frozen—malah lebih rasional daripada negara-negara veto. Wakil Menteri Luar Negeri Andreas Kravik datang ke Jakarta mengajak negara-negara kekuatan menengah untuk kompak. Ia tahu, membujuk lima raksasa egois itu mustahil. Jadi, ia ajak negara lainnya untuk pelan-pelan menyunat kekuasaan berlebih mereka.
Proposal Norwegia simpel tapi cerdas: pilah-pilah lembaga dan program PBB yang bisa langsung dibenahi. Urutkan dari yang paling berantakan sampai yang agak bisa diselamatkan. Bukan reformasi tambal sulam, tapi reformasi dengan otak dan prioritas.
Satu masalah yang jarang dibahas: PBB sekarang lagi bokek. Banyak negara mulai malas bayar iuran. Dan seperti biasa, AS adalah salah satu biangnya. Sejak era Trump, AS makin sering ogah-ogahan ikut organisasi multilateral. Lalu sekarang dia balik lagi, tapi malah sibuk main perang sama Iran. Jadi kalau PBB tak punya dana, ya jangan salahkan kalau mereka hanya bisa “menyuarakan keprihatinan” tanpa bisa kirim satu pun pasukan atau bantuan nyata.
Presiden Majelis Umum PBB Dennis Francis sudah pasrah. Dalam sidang MU PBB November 2023, dia bilang kalau PBB nyaris lumpuh karena Dewan Keamanan terlalu banyak “keretakan.” Kalau Dewan Keamanan adalah grup WhatsApp, isinya cuma admin semua, dan setiap diskusi selalu diakhiri dengan, “Maaf, veto dulu ya.”
Francis bahkan bilang stasis DK PBB sama buruknya dengan konflik itu sendiri. Alias, ketika tidak bergerak, kerusakannya setara dengan perang aktif. Tapi sayangnya, tidak ada negara veto yang mau melepas mainan favoritnya: kekuasaan mutlak dan keputusan sepihak.
Pertanyaannya sekarang: apakah dunia masih butuh PBB? Jawabannya: iya, tapi bukan PBB yang sekarang. Kita butuh PBB versi upgrade, bukan yang stuck di era Perang Dunia II. Kita butuh PBB yang bisa mencegah perang, bukan cuma mengamati kehancuran dari jauh sambil menyusun laporan tahunan berbahasa diplomatik nan hambar.
Jika tidak ada reformasi nyata, maka PBB gagal cegah perang global akan terus menjadi kalimat pembuka berita duka cita di seluruh dunia. Dan saat itu tiba, mungkin satu-satunya resolusi yang tersisa adalah resolusi monitor saat menonton livestream kehancuran di YouTube.