Rupiah melemah gara-gara konflik Israel-Iran

Nilai tukar rupiah tergerus akibat konflik Israel-Iran, tapi pemerintah tetap pasang wajah tenang.

Rupiah melemah gara-gara konflik Israel-Iran. © Dimas Ardian/Bloomberg
Menghitung uang. © Dimas Ardian/Bloomberg

Kalau nilai tukar rupiah bisa ngomong, mungkin sekarang dia udah nangis di pojokan sambil nyanyi lagu galau. Rupiah melemah gara-gara konflik Israel-Iran yang makin panas, apalagi ditambah bumbu khas Amerika Serikat yang suka ikut campur di mana-mana. Hasilnya? Kurs rupiah merosot ke angka Rp16.492 per dolar AS. Tapi jangan panik dulu—kata pemerintah, semua ini masih dalam batas wajar. Iya, wajar kayak cicilan KPR yang naik setiap tahun.

Konflik geopolitik itu ternyata bukan cuma urusan rudal dan bom, tapi juga bisa bikin jantung pelaku pasar keuangan berdebar-debar lebih kencang dari nonton film horor. AS yang sok jagoan ikut nimbrung di konflik Israel-Iran, dan pasar global langsung meriang. Indonesia yang duduk manis di pojokan, kena cipratan juga. Tapi seperti biasa, pemerintah kita tetap tampil tenang, cool, dan penuh kehati-hatian. Mungkin karena udah terbiasa pura-pura adem di tengah badai.

Konflik di Timur Tengah itu ibarat keributan tetangga sebelah rumah yang bunyinya sampai ke kamar kita. Israel dan Iran cekcok, AS ikut nyerocos, lalu pasar global pun muntah ketakutan. Harga minyak naik, investor kabur, dan rupiah pun ikut-ikutan tumbang.

Nilai tukar rupiah hari ini ditutup melemah. Lagi. Dan seperti biasa, pihak berwenang buru-buru meyakinkan publik bahwa ini tidak mengkhawatirkan. Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, ini cuma tekanan ringan. Katanya, "Masih dalam rentang aman."

Nah, "rentang aman" ini sering jadi kalimat sakti. Mirip seperti kata-kata “aku baik-baik saja” dari orang yang hatinya baru saja digantung. Tekanan ada, tapi katanya belum signifikan.

Deni menjelaskan, pelemahan ini sejalan dengan "mekanisme pasar normal." Oh iya, normal menurut siapa dulu, Pak? Kurs hampir tembus Rp16.500 dan itu masih disebut normal? Warga yang tiap hari belanja kebutuhan impor jelas ngerasain yang nggak normal-normal aja.

Tapi tenang, Deni juga bilang perekonomian nasional, industri jasa keuangan, dan kinerja fiskal masih stabil. Kita tunggu aja, kalau besok harga BBM naik, jangan bilang nggak ada hubungannya ya.

Lalu, pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan OJK. Ini bukan sinetron, tapi emang alur ceritanya begitu: setiap ada krisis, langsung masukin adegan rapat bareng BI dan OJK. Mungkin nanti episode berikutnya kita dikasih tahu ada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang rutin kumpul buat ngobrolin risiko.

Sebagai solusi jangka panjang, pemerintah akan memperkuat sektor strategis seperti energi dan pangan. Wah, ini lagi-lagi jadi langganan pidato tahunan. Diversifikasi energi? Udah disebut sejak zaman dinosaurus. Ketahanan pangan? Tiap musim panen selalu masuk berita, tapi kenyataannya, harga cabai masih naik-turun.

Pemerintah bilang prinsip kehati-hatian dijunjung tinggi. Ya, kita bisa lihat kehati-hatian itu dari bagaimana pejabat membuat pernyataan: aman, stabil, terkendali. Tapi tidak pernah ada satu pun penjelasan konkret soal bagaimana rupiah bisa berhenti jatuh kayak korban ghosting.

Kita ini memang bangsa yang sabar. Sudah biasa dipaksa tenang meski isi dompet makin tipis. Pemerintah bilang situasi aman, tapi belanja online udah mulai terasa lebih mahal. Harga barang-barang elektronik, bahan baku impor, bahkan sabun cuci piring bisa ikut naik karena kurs rupiah anjlok.

Sementara itu, narasi pemerintah tetap konsisten: semuanya dalam kendali. Kita nggak usah panik. Yang panik biar pelaku pasar aja. Kita cukup pasrah sambil ngitung ulang sisa saldo rekening.

Yang jadi pertanyaan adalah: kenapa pemerintah selalu reaktif? Kenapa baru sibuk ngomong mitigasi risiko setelah dolar udah naik sekian ratus rupiah? Kenapa tidak ada rencana konkrit sebelum pasar goyang? Jangan-jangan, mitigasi kita ini cuma bahasa halus dari “nanti juga beres sendiri.”

Pemerintah bilang mereka memantau, mengoordinasi, dan menyusun langkah. Tapi realitanya, pasar tetap bergejolak dan nilai tukar makin goyah. Kalau kayak gini terus, Indonesia bisa jadi negara yang “siap menghadapi krisis”, tapi tidak pernah siap menghindarinya.

Rupiah melemah gara-gara konflik Israel-Iran bukan cuma berita keuangan. Ini adalah alarm bahwa Indonesia belum cukup kuat menghadapi guncangan global. Bahwa kita masih terlalu tergantung pada faktor eksternal. Bahwa ketika Amerika Serikat ribut di Timur Tengah, nasi uduk di Jakarta bisa jadi ikut naik harga.

Wajah tenang pemerintah tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata: perkuat fundamental ekonomi, kurangi ketergantungan impor, buat kebijakan energi yang tidak cuma jadi judul PowerPoint. Jangan cuma bilang “kondisi aman” kalau tiap minggu kurs makin mendekati Rp17 ribu.

Dan tolong, jangan biarkan kita jadi terbiasa menganggap krisis sebagai rutinitas. Rakyat mungkin sabar, tapi sabar juga ada batasnya. Terutama kalau udah urusan harga sembako.

Konflik Israel-Iran boleh terjadi jauh di sana, tapi efeknya terasa sampai dapur kita. Dan selama pemerintah cuma bisa pasang wajah tenang tanpa solusi konkret, kita hanya bisa berharap semoga kurs rupiah nggak lebih cepat jatuh daripada harapan warga negara. Karena kalau ekonomi terus digantung, jangan kaget kalau nanti kepercayaan publik juga ikut melemah. Seperti rupiah.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar