![]() |
Pulau. © Mangiwau/Getty Images |
Di negeri yang katanya kaya pulau ini, ternyata kita belum benar-benar tahu siapa punya apa. Ya, 43 pulau Indonesia dalam sengketa terdaftar resmi di buku catatan Kementerian Dalam Negeri. Bukan satu dua, tapi empat puluh tiga. Sebanyak 21 provinsi punya andil dalam urusan rebutan pulau ini. Jawa Timur, misalnya, menjadi “juara bertahan” karena paling banyak berkonflik soal pulau. Mungkin karena selain punya pulau, mereka juga punya semangat kompetisi yang tinggi.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya, datang membawa kabar ini. Dengan wajah khas pejabat yang sok tenang tapi matanya gelisah, dia menyampaikan kepada publik, “Pola sengketa ini mirip-mirip. Satu pihak mendaftar, pihak lain belum. Saling klaim, pakai bukti historis.” Mirip banget kayak rebutan warisan, cuma ini skalanya nasional dan yang diributkan adalah pulau-pulau seukuran kota kecil.
Bayangkan, 43 pulau itu bukan cuma titik di peta. Di atasnya ada tanah, mungkin ada warga, atau minimal pohon kelapa. Tapi status hukumnya? Mengambang. Gantung tanpa kejelasan: sudah ada yang merasa punya, tapi belum resmi.
Bima Arya mengatakan, biasanya pihak yang lebih rajin daftar koordinat duluan yang mengklaim punya hak. Yang belum daftar? Ya, terpaksa ikutan rebutan sambil menggalang “bukti historis”—entah itu foto jaman Belanda, surat tanah dari kakek buyut, atau video TikTok dari drone.
Lebih lucu lagi, dalam beberapa kasus, sengketanya bukan antarnegara, tapi antardaerah. Contoh paling ramai datang dari Kepulauan Riau, yang konon punya 22 sengketa wilayah dalam satu provinsi saja. Ini seperti adik-kakak dalam satu rumah, tapi masih berantem soal siapa yang berhak pakai kamar atas.
Nah, kalau kalian kira itu puncaknya, tunggu sampai dengar kabar soal Pulau Anambas. Pulau itu diduga mejeng di situs jual beli online. Iya, kamu nggak salah baca. Ada orang yang berpikir, “Ah, daripada jual kaos atau sandal, mending jual pulau aja.” Lalu dia upload foto, tulis deskripsi properti, dan mungkin kasih diskon Lebaran.
Bima Arya langsung pasang wajah serius. Katanya, tidak ada pulau yang bisa dimiliki secara pribadi 100 persen. Hukum bilang kepemilikan maksimal cuma 70 persen, sisanya negara punya. Artinya, meskipun kamu anak sultan, jangan harap bisa bilang, “Ini pulau saya, Anda dilarang mendarat!”
Tentu saja, ini bukan obrolan iseng. Kalau pulau bisa dipasang di marketplace, besok-besok kita bisa lihat promo “Beli 1 pulau, gratis pasir putih.” Mungkin Shopee bakal bikin Pulau Flash Sale, siapa tahu?
Bima bilang, sengketa muncul karena pencatatan titik koordinat belum rapi. Artinya, kita punya GPS canggih, satelit mutakhir, tapi koordinat pulau masih bisa salah input. Kalau Google Maps salah ngarahin kita ke rumah orang sih masih bisa dimaafkan. Tapi kalau koordinat pulau salah? Ya, bisa-bisa nanti negara sebelah datang minta sertifikat.
Masalahnya, ini bukan perkara sepele. Pulau itu bukan cuma tanah doang. Di bawahnya bisa ada tambang, di sekitarnya bisa ada ikan, di atasnya bisa dibangun resort. Kalau dikuasai pihak yang salah, dampaknya bisa panjang: konflik sosial, perebutan sumber daya, sampai ancaman kedaulatan.
Dari dulu, Indonesia terkenal dengan “seribu pulau.” Tapi kayaknya tagline itu harus diperbarui jadi “seribu pulau, ratusan sengketa.” Kenapa? Karena sengketa semacam ini bukan pertama kali terjadi. Dulu kita pernah punya kisah sedih soal Pulau Sipadan dan Ligitan yang lepas ke Malaysia. Jangan sampai 43 pulau ini jadi cerita berikutnya yang kita tangisi sambil nyalahin sistem.
Pemerintah, lewat Bima Arya, bilang akan berkoordinasi dengan ATR/BPN untuk membereskan pencatatan dan klasifikasi status pulau. Oke, niatnya bagus. Tapi koordinasi di negeri ini kadang seperti sinetron: lama, penuh drama, dan kadang nggak selesai-selesai.
Pulau-pulau itu harus dikunci status hukumnya. Mau disewakan? Boleh. Tapi ada mekanismenya. Mau dikelola? Oke. Tapi jangan sampai tiba-tiba nongol di listing properti online seperti apartemen dua kamar di BSD.
Kita ini bangsa yang kadang baru sadar setelah kehilangan. Baru ribut saat tanah sudah amblas, baru menjerit saat minyak habis, dan baru siaga saat pulau dijual online. Padahal, kalau dari awal pemerintah niat ngurus, pencatatan rapi, koordinat jelas, dan pengawasan ketat, semua ini bisa dihindari.
Tapi ya begitulah. Kita lebih jago bikin aturan daripada menegakkannya. Undang-undang sudah ada. Persentase kepemilikan juga sudah diatur. Tapi praktiknya? Tetap saja orang bisa ngeklaim pulau kayak klaim diskon GoFood.
43 pulau Indonesia dalam sengketa bukan sekadar angka. Itu adalah cerminan bagaimana negara mengelola wilayahnya. Kalau pulau aja bisa disengketakan, apa kabar yang lebih kompleks seperti sumber daya alam dan batas laut?
Sementara itu, warga negara cuma bisa geleng-geleng kepala. Kadang bingung mau ketawa atau nangis. Pulau dijual online? Kok bisa? Sengketa antardaerah? Gimana caranya?
Kalau negara ini tidak segera beresin data, catatan, dan hukum soal pulau, jangan heran kalau nanti kita temukan pulau Indonesia berikutnya dijual dengan caption, “Cocok untuk usaha diving dan healing.” Diskon khusus pembeli serius.
Dan kalau itu terjadi, kita semua tahu siapa yang harus disalahkan: bukan penjualnya, tapi sistem yang membiarkan pulau dijadikan barang dagangan seperti mie instan di Indomaret.
Selamat datang di Indonesia—negara kepulauan yang belum sepenuhnya tahu siapa punya pulau apa.