Ada pepatah bijak yang menyatakan, “jika kamu tidak bisa mengalahkan birokrasi, setidaknya ajak dia makan siang.” Dan tampaknya, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto serta Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim tidak hanya makan siang bersama di Istana Merdeka, tapi juga sepakat untuk memulai proyek bersama di wilayah perbatasan yang belum sah secara hukum.
Prabowo dan Anwar sepakat kerja sama Ambalat meski status hukum wilayah itu masih kabur seperti sinyal ponsel di tengah hutan Kalimantan. Tapi tak perlu khawatir, karena yang penting bukan legalitasnya—melainkan niat baik untuk bekerja sama sambil menunggu para ahli hukum berdiskusi selama satu generasi penuh.
Ambalat, sebuah kawasan di antara Indonesia dan Malaysia yang selalu membuat para ahli hukum internasional geleng-geleng kepala, kini mendapatkan status baru: tempat percobaan joint development dua negara sahabat.
Presiden Prabowo menegaskan, “kita ingin memulai kerja sama ekonomi melalui mekanisme joint-development.” Sebuah terobosan yang pantas mendapatkan standing ovation, sebab kita semua tahu—membangun dulu, urus legalitas nanti—adalah prinsip suci dalam banyak kebijakan visioner.
PM Anwar pun dengan penuh semangat menambahkan bahwa menunggu penyelesaian hukum bisa memakan waktu dua dekade. Nah, siapa yang sempat menunggu selama itu? Lebih baik kita mulai saja sekarang, dan semoga saat perbatasan resmi ditetapkan nanti, pabrik dan tambang di Ambalat sudah berdiri megah.
Dalam pernyataan bersama yang terdengar seperti kutipan dari novel utopia Asia Tenggara, kedua pemimpin negara bertetangga ini membuktikan bahwa batas negara bisa dinegosiasikan, tapi kerja sama harus segera dieksekusi.
PM Anwar mengakui bahwa perundingan perbatasan seringkali buntu, seperti sinyal internet di perkampungan pesisir. Tapi kerja sama ekonomi? Ah, itu bisa jalan terus, asal tidak terlalu memikirkan detail hukum yang melelahkan. Solusinya? Joint Development Authority. Sebuah istilah keren untuk “kita bagi saja hasilnya sambil pura-pura tidak lihat peta.”
Bukan hanya Ambalat yang jadi bintang dalam opera diplomasi ini. Titik-titik perbatasan lain juga ikut dibahas, seperti Kalimantan dan Sabah. Tampaknya kedua pemimpin ini ingin memastikan bahwa tidak ada jengkal tanah yang terlalu rumit untuk dikerjasamakan.
Karena, bukankah semua masalah dunia bisa diselesaikan jika para pemimpin makan siang bersama dan sepakat untuk tidak mempermasalahkan batas wilayah selama ada peluang investasi?
Pertemuan selama satu jam dilanjutkan dengan makan siang bersama, karena siapa pun tahu bahwa tidak ada keputusan penting yang bisa diambil dalam kondisi perut kosong. Mungkin saat sendok menyendok lauk, tercetuslah ide brilian: “kenapa kita tidak mulai proyek ekonomi dulu sambil menunggu negosiasi hukum yang membosankan itu selesai?”
Sambil mencicipi rendang dan teh tarik, delegasi dua negara pun tersenyum: mereka telah membuktikan bahwa makanan lezat dan itikad baik bisa mengalahkan peta politik dan batas wilayah.
Daftar delegasi dari kedua negara membentang panjang seperti berkas sengketa perbatasan itu sendiri. Dari Menlu hingga Menteri Komunikasi, semuanya hadir, mungkin berharap bisa menyaksikan sejarah baru: diplomasi tanpa peta.
Di meja makan, para menteri tersenyum sembari memikirkan bagaimana menjelaskan kepada rakyat masing-masing bahwa kita akan membangun di atas tanah yang belum jelas siapa pemiliknya, demi kebaikan bersama, tentu saja.
Diplomasi di Asia Tenggara memang terkenal lentur seperti bambu. Di tempat lain, batas wilayah mungkin menjadi pemicu perang. Tapi di sini, batas wilayah bisa menjadi peluang kerja sama, asalkan semua pihak sepakat untuk tidak terlalu mempersoalkan siapa yang seharusnya dapat apa.
Dalam skema ini, hukum adalah semacam bumbu pelengkap. Boleh ditunggu, boleh juga tidak. Yang penting kerja sama jalan dulu. Jika nanti ada yang keberatan, kita bisa duduk lagi, makan siang lagi, dan membuat pernyataan pers yang sama elegannya.
Prabowo dan Anwar saat ini tidak hanya terlihat seperti dua kepala pemerintahan, tapi juga seperti konsultan properti lintas negara. Mereka bisa melihat potensi ekonomi bahkan di wilayah sengketa. Visi mereka mengalahkan peta dan regulasi.
Mungkin kelak, jika perbatasan tidak kunjung selesai juga, kita bisa mengadopsi skema Airbnb: “Satu minggu Indonesia, satu minggu Malaysia.” Dengan ulasan dari turis: “Ambalat sangat bersahabat, walau belum jelas milik siapa.”
Apa yang hari ini dimulai sebagai skema kerja sama sambil menunggu kejelasan hukum, kelak akan dikenang sebagai inovasi diplomasi Asia Tenggara. Atau, paling tidak, sebagai babak lucu dalam buku sejarah politik luar negeri.
Anak-anak muda akan membaca: “Pada tahun 2025, dua pemimpin bijak sepakat membangun bersama di tanah yang belum mereka sepakati.” Dan mereka pun akan bertanya, “Lalu siapa yang pegang kunci proyeknya?”
Pada akhirnya, Prabowo dan Anwar telah menunjukkan bahwa batas negara hanyalah garis di peta, bukan penghalang kerja sama. Mereka membuktikan bahwa wilayah sengketa bisa menjadi ladang harmoni—selama tidak ada yang mengklaim duluan di media sosial.
Prabowo dan Anwar sepakat kerja sama Ambalat mungkin akan menjadi contoh di masa depan: bahwa selama niat baik ada, dan makan siang tersedia, tidak ada yang tidak bisa disepakati.