Gowok: Kamasutra Jawa bukti ranjang tak hanya milik lelaki

Gowok: Kamasutra Jawa bukan hanya ajarkan Kamasutra Jawa pada para pria, tetapi menegaskan hak seksual dan spiritual perempuan di ranjang.

Gowok: Kamasutra Jawa buktikan ranjang bukan milik lelaki. © MVP Pictures/IMDb
Lola Amaria sebagai Nyai Santi. © MVP Pictures/IMDb

Lupakan Kamasutra India. Kita punya versi lokal yang lebih dalam, lebih simbolik, dan tentu saja, lebih “ngapak”. "Gowok: Kamasutra Jawa" adalah film terbaru Hanung Bramantyo yang secara nekat, cerdas, dan cukup nekad, membongkar tradisi yang selama ini dianggap tabu: seks sebagai seni, bukan dosa. Dan yang paling penting, seks sebagai ruang emansipasi perempuan.

Lho, serius? Iya, serius. Tapi tenang, film ini bukan film “bokep”, meski kata “kamasutra” bikin alis orang langsung naik. Film ini justru jadi sindiran halus—dan kadang tidak terlalu halus—kepada budaya yang selama ini membisukan hak seksual perempuan. Dan Hanung, seperti biasa, tidak bermain di zona nyaman.

"Gowok: Kamasutra Jawa" yang diproduksi MVP Pictures dan Dapur Films ini tayang perdana di International Film Festival Rotterdam dan langsung bikin banyak festival barat bengong: ini film erotik, budaya, spiritual, atau semuanya sekaligus?

Kita diperkenalkan pada Ratri, seorang yatim piatu yang diasuh oleh Nyai Santi, seorang gowok legendaris. Gowok bukan sekadar dukun ranjang, tapi juga guru kehidupan. Merekalah yang mengajarkan pada lelaki-lelaki bangsawan cara memperlakukan istri—bukan cuma “di ranjang”, tapi juga dalam relasi emosional.

Devano Danendra sebagai Kamanjaya muda dan Alika Jantinia sebagai Ratri muda di Gowok: Kamasutra Jawa. © MVP Pictures/IMDb
Devano Danendra sebagai Kamanjaya muda dan Alika Jantinia sebagai Ratri muda. © MVP Pictures/IMDb

Ratri muda (Alika Jantinia) jatuh cinta pada Kamanjaya (Devano Danendra), cowok ganteng bangsawan yang katanya sih serius. Eh ternyata, dia cuma main-main dan nikah sama perempuan lain. Klasik. Tapi sakitnya gak klasik—dendam Ratri pun dipupuk dengan manis selama dua puluh tahun.

Fast forward dua dekade kemudian, Ratri dewasa (Raihaanun) ketemu lagi sama si brengsek Kamanjaya (sekarang diperankan Reza Rahadian). Dan plot twist-nya: Kamanjaya bawa anaknya, Bagas, buat belajar Kamasutra Jawa ke tempat Nyai Santi. Dan siapa yang jadi mentor Bagas? Ratri, dong.

Di sinilah kita tahu: Ratri tidak lupa. Dan tidak memaafkan. Tapi apakah ia akan berhasil membalaskan dendam dengan cara paling epik: melalui hasrat dan pengetahuan tubuh?

"Gowok: Kamasutra Jawa" tidak cuma menyajikan kisah asmara berbalut dendam. Ini adalah eksplorasi mendalam tentang seksualitas sebagai sesuatu yang spiritual dan filosofis, bukan sekadar aktivitas biologis.

Raihaanun sebagai Ratri dan Reza Rahadian sebagai Kamanjaya di Gowok: Kamasutra Jawa. © MVP Pictures/IMDb
Raihaanun sebagai Ratri dan Reza Rahadian sebagai Kamanjaya. © MVP Pictures/IMDb

Dalam budaya Jawa, seks adalah ilmu. Bukan sekadar teknik, tapi juga energi batin yang bisa diolah, dipahami, dan dimaknai. Hanung ingin mengembalikan itu ke layar lebar. Dalam dunia yang menganggap ranjang hanya milik lelaki, film ini berkata: hei, perempuan juga punya otoritas di sana.

Ratri dan para gowok bukan hanya “penghibur”. Mereka guru. Mereka pengetahuan itu sendiri. Dan lewat tubuh, mereka menyampaikan pelajaran tentang cinta, tanggung jawab, dan kelembutan.

Salah satu kekuatan terbesar film ini adalah bagaimana ia memperlihatkan perempuan sebagai subjek aktif, bukan objek pasif. Di mana-mana, kalau ngomongin seks, biasanya perempuan jadi korban, pemuas, atau figuran. Di sini? Mereka justru pemilik narasi.

Lola Amaria sebagai Nyai Santi dan Raihaanun sebagai Ratri di Gowok: Kamasutra Jawa. © MVP Pictures/IMDb
Lola Amaria sebagai Nyai Santi dan Raihaanun sebagai Ratri. © MVP Pictures/IMDb

Gowok seperti Ratri dan Nyai Santi adalah perempuan yang tahu betul tubuh mereka, tahu kebutuhan pasangan, dan tahu bagaimana mengajar lelaki agar tidak jadi egois di ranjang. Dan itu semua dilakukan bukan dengan marah-marah, tapi dengan bijak, sabar, dan sensual.

Satu hal yang bikin saya angkat jempol: penggunaan bahasa Ngapak sebagai bahasa utama film ini. Biasanya, logat Ngapak cuma muncul buat lucu-lucuan. Kali ini, Ngapak hadir sebagai bahasa cinta, mistik, dan pelajaran.

Hanung seperti bilang, “Eh, ini bahasa orang kecil loh, tapi bukan berarti kecil nilainya.” Dan itu terasa banget. Di momen-momen romantis, spiritual, sampai pengajaran sensual, bahasa Ngapak terdengar penuh nyawa. Bahkan lebih hidup daripada bahasa Indonesia standar yang kaku dan formal.

Visual film ini indah, magis, dan penuh atmosfer. Kamera bergerak pelan, pencahayaan lembut, warna-warna hangat yang bikin tiap adegan terasa sakral. Bukan sakral sok-sokan, tapi sakral yang benar-benar terasa seperti upacara budaya.

Setiap gerakan tubuh, tatapan mata, bahkan sentuhan jari, difilmkan seperti puisi. Bukan syahwat. Bukan vulgaritas. Ini bukan film buat “ngintip”, ini film buat “merenung”.

Lola Amaria sebagai Nyai Santi di Gowok: Kamasutra Jawa. © MVP Pictures/IMDb
Lola Amaria sebagai Nyai Santi. © MVP Pictures/IMDb

Cerita ini juga tidak lepas dari unsur supernatural khas Jawa. Kamajaya dan Kamaratih—dewa-dewi cinta—muncul sebagai simbol dan energi. Tapi jangan takut, ini bukan horor. Ini mistik filosofis.

Ditambah dengan latar waktu lintas dekade, mulai dari 1933 sampai 1985, penonton diajak jalan-jalan menyusuri sejarah Indonesia: dari budaya kraton sampai ranjang rakyat. Semua menyatu dalam satu narasi: bagaimana perempuan, tubuh, dan seksualitas dibentuk dan dibelenggu oleh zaman.

Dan jangan lupa: ini film Hanung. Artinya, akan ada twist. Beberapa cukup bikin jantung berhenti sejenak. Bahkan sejak awal, film ini sudah memberi warning bahwa ada konten sensitif, termasuk kekerasan dan trauma.

Ratri bukan pahlawan murni. Ia gelap, penuh luka, dan ambisi. Tapi justru itu yang membuatnya nyata. Dan ketika semuanya meledak di akhir cerita—percayalah, kamu akan terdiam di kursi bioskop.

"Gowok: Kamasutra Jawa" bukan buat semua orang. Kalau kamu alergi sama kata “seks” tapi demen nonton film horor darah muncrat, mungkin ini bukan buat kamu. Tapi kalau kamu penasaran bagaimana seksualitas bisa jadi seni, pendidikan, bahkan alat perlawanan? Maka ini perlu ditonton.

Hanung tidak cuma bikin film erotik. Dia bikin deklarasi. Bahwa perempuan tidak hanya punya hak bicara, tapi juga hak di ranjang. Bahwa tubuh bukan aib, tapi sarana pengetahuan. Dan bahwa bahasa Ngapak tidak cuma buat banyolan, tapi juga bisa bikin kamu menangis, tertawa, dan merenung dalam satu tarikan napas.

"Gowok: Kamasutra Jawa" bukan sekadar film. Ini semacam “serangan fajar” ke moral palsu masyarakat kita. Dan saya menyukainya!

Lainnya

Tentang

Novanka Laras
Laras di sini menulis seni dan budaya.

Posting Komentar