![]() |
Petugas konservasi pusaka museum melakukan jamasan atau ritual pembersihan keris di Museum Keris Nusantara, Solo, Jawa Tengah, Kamis (26/6/2025). © Maulana Surya/Antara |
Bulan Suro kembali hadir, dan bersama dengannya datang pula ritual jamasan pusaka. Di sinilah budaya Jawa menunjukkan komitmennya yang mengharukan terhadap benda-benda tajam penuh filosofi—keris dan tombak, yang diasosiasikan dengan wibawa, leluhur, dan tentu saja, potensi karat.
Ritual jamasan pusaka adalah prosesi pembersihan benda pusaka, terutama keris, yang dilakukan dengan penuh khidmat dan kekhusyukan. Tapi jangan salah paham. Di balik bau bunga dan minyak melati yang menguar, ritual ini sebenarnya adalah konser kolosal antara keyakinan mistik dan tutorial membersihkan logam berkarat ala zaman Majapahit.
Konservator Museum Pusaka Taman Ismail Marzuki, Nasip Hadiprayitno—seorang pria yang telah menggosok keris lebih lama dari umur demokrasi Indonesia—mengatakan bahwa ritual ini sebenarnya fleksibel. “Tidak harus satu suro, itu hanya prosesi saja,” ujarnya. Tapi tentu, dalam urusan kepercayaan, fleksibilitas kadang kalah pamor dari seremoni.
Sebagaimana resep turun-temurun untuk merawat kulit wajah, merawat keris pun perlu tahapan yang presisi. Pertama, siapkan air kembang. Lalu siapkan juga air jeruk nipis—karena, konon, karat lebih takut dengan buah asam ketimbang deterjen modern. Setelah itu, siapkan air warangan: campuran arsenik yang bisa membuat motif keris tampak memesona, sekaligus mengingatkan kita bahwa kadang tradisi dan racun bisa jalan beriringan.
Air jeruk nipis digosokkan dengan lembut ke bilah keris, ibarat lulur mistis untuk menghilangkan dosa karat masa lalu. Setelah motif keris mulai “terlihat kembali”, keris dicelup ke air biasa, digosok dengan sabun, dan dikeringkan. Ritual ini ditutup dengan baluran minyak melati. Bukan hanya agar keris berkilau, tapi juga agar menebarkan wangi spiritual yang memesona para penonton.
Jika ini bukan bentuk tertinggi dari eksfoliasi budaya, lalu apa?
Pertanyaan mendasar dalam ritual jamasan pusaka adalah: apakah ini bagian dari konservasi benda bersejarah atau ajang membangun hubungan emosional dengan besi tajam? Nasip sendiri secara jujur menyatakan bahwa pembersihan keris sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, tak harus malam satu Suro. Tapi masyarakat kita, yang mencintai suasana magis lebih dari efektivitas, memilih tanggal mistik demi kesan khidmat.
Bahkan untuk benda mati seperti keris, masyarakat Jawa percaya ada “isi” atau “tuah”. Ini semacam daya gaib atau aura—sifat spiritual yang bisa meningkat jika keris dicuci dengan penuh doa, kembang, dan sedikit racikan berbahaya.
Tentu saja, dalam realita sains modern, arsenik adalah zat berbahaya yang sebaiknya dihindari. Tapi dalam konteks budaya, warangan adalah bahan sah untuk menghidupkan motif keris, sekaligus menegaskan bahwa dalam setiap tradisi, ada ruang untuk sedikit risiko kimiawi.
Jamasan pusaka tidak hanya ritual cuci-cuci biasa. Ia adalah panggung tempat mistik dan logika beradu manja. Di satu sisi, kita diajak percaya bahwa keris punya tuah. Di sisi lain, kita diberi tutorial yang sangat teknis tentang bagaimana menggosok karat dan menumbuhkan kembali motif bilah. Campuran antara spiritualitas dan teknik perawatan logam ini membuktikan satu hal: di Indonesia, bahkan benda mistik pun butuh rutinitas kebersihan.
Dan tentu saja, membaca doa sebelum mencuci keris adalah bagian penting dari prosesi. Doanya bisa doa apa saja, kata Nasip. Artinya, Tuhan juga fleksibel soal karat, selama kita sopan dan mencuci dengan niat yang lurus.
Bagi sebagian orang, keris adalah pusaka keluarga. Bagi sebagian lagi, ia adalah objek konten YouTube bertema supranatural. Tapi dalam konteks budaya Jawa, keris lebih dari sekadar senjata atau benda tajam. Ia adalah simbol. Simbol kejayaan, simbol pewarisan nilai, dan—tidak jarang—simbol betapa kita suka memberi makna berlebihan pada benda mati.
Pertanyaan seperti “apakah keris ini sakti?” akan mendapat jawaban filosofis semacam, “tergantung siapa pemiliknya”. Atau bahkan, “tergantung niatnya disimpan untuk apa”. Dalam dunia modern, benda logam biasanya hanya dinilai dari berat dan kadarnya. Tapi keris? Ia dinilai dari “isi” tak kasatmata yang katanya bisa memengaruhi nasib rumah tangga hingga politik nasional.
Ritual jamasan pusaka mungkin terlihat kuno, tapi justru di sanalah letak daya tariknya. Di tengah masyarakat yang semakin digital, ritual ini hadir sebagai pengingat bahwa kita masih menyimpan keyakinan pada hal-hal di luar jangkauan sensor. Bahwa kita percaya bahwa benda bisa berjiwa, bahwa karat adalah kutukan, dan bahwa air kembang lebih efektif dari WD-40 jika didampingi doa yang tepat.
Mungkin benar bahwa pembersihan keris bisa dilakukan kapan saja. Tapi malam satu Suro memberi latar mistik yang tidak bisa dihadirkan oleh Selasa sore biasa. Seolah-olah, karat bisa lebih takut pada malam keramat.
Ritual jamasan pusaka juga menimbulkan dilema kecil: apakah ini bentuk apresiasi terhadap budaya leluhur, atau sekadar glorifikasi terhadap benda tajam berumur ratusan tahun? Di sisi museum, keris harus dirawat agar tidak rusak. Di sisi masyarakat, keris harus disimpan agar tuahnya tetap kuat.
Dalam logika budaya Jawa, keduanya bisa benar. Keris adalah pusaka, senjata, simbol spiritual, sekaligus koleksi pribadi. Dan untuk benda serumit ini, pembersihannya tentu tidak bisa sembarangan. Harus pakai jeruk, air bunga, arsenik, dan tentu saja: doa penuh harapan.
Pada akhirnya, ritual jamasan pusaka bukan hanya soal membersihkan benda. Ia adalah cara masyarakat untuk menenangkan diri. Mungkin tidak semua orang bisa menjelaskan secara logis kenapa keris harus dicelup ke air arsenik. Tapi semua akan sepakat bahwa ada kepuasan tersendiri saat motif keris muncul kembali dan wangi melati tercium samar-samar.
Ritual ini bukan hanya untuk keris—tapi juga untuk pemiliknya. Karena dalam budaya kita, kadang lebih mudah membersihkan benda pusaka daripada membersihkan sejarah atau niat di hati sendiri.
Dan di situlah letak kecantikannya: ritual jamasan pusaka adalah upaya membersihkan karat di dunia luar sambil membiarkan karat-karat kecil di dalam pikiran tetap lestari, sebagai pengingat bahwa kita belum sepenuhnya modern—dan mungkin tak pernah ingin benar-benar jadi demikian.