![]() |
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/2/2024). © Aditya Pradana Putra/Antara |
Dalam kabar yang cukup mengejutkan tapi tidak terlalu dramatis, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan bahwa Pemilu 2029 tidak akan lagi dilakukan secara serentak seperti tahun-tahun sebelumnya. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) langsung menyambut baik putusan ini, karena gugatan mereka akhirnya dikabulkan, meski hanya “untuk sebagian”—seperti potongan kue ulang tahun yang harus dibagi dua belas.
“Perludem mengapresiasi serta menghormati putusan MK ini dan mendorong agar pembahasan UU Pemilu dan Pilkada segera dilakukan,” tulis mereka dalam siaran pers pada Kamis, 26 Juni 2026. Masyarakat pun mengangguk pelan, tidak terlalu paham detail hukum, tapi merasa ini penting karena ada kata “demokrasi” dan “MK”.
Dalam skema baru hasil Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, pemilu tidak lagi akan dilangsungkan serentak seperti tahun 2019 dan 2024. Sebaliknya, demokrasi akan hadir dalam dua tahap: pemilu nasional lebih dulu, lalu dua tahun kemudian pemilu lokal. MK sepertinya menganggap rakyat terlalu santai jika hanya stres lima tahun sekali, jadi kenapa tidak dua kali dalam dua tahun?
“Dengan jeda waktu minimal dua tahun atau maksimal dua setengah tahun,” kata Perludem. Sebuah kalimat yang terdengar seperti jadwal rilis film Marvel, tapi ini soal nasib bangsa.
Dalam pemilu nasional, rakyat akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, serta anggota DPD. Lalu setelah dua tahun berlalu—atau dua tahun dan enam bulan, tergantung mood negara—pemilu lokal akan hadir untuk memilih DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati, serta wali kota. Karena memilih itu penting. Tapi memilih berkali-kali? Itu bonus.
Perludem tidak hanya puas dengan putusan ini. Mereka juga langsung mengusulkan agar revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada segera dilakukan agar sistem baru ini tidak menimbulkan kekacauan yang lebih besar dari antrean BBM saat harga naik.
Menurut mereka, revisi sebaiknya dilakukan dalam satu paket menggunakan metode kodifikasi agar tidak terjadi tumpang tindih aturan. Karena kalau tidak, kemungkinan besar akan muncul dua undang-undang yang saling bertabrakan seperti dua caleg yang berebut panggung dangdut kampanye.
“Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, namun hingga saat ini belum juga dimulai pembahasannya,” ujar Perludem, menyuarakan keluhan yang sangat khas: Prolegnas jalan di tempat, sementara rakyat harus jalan ke TPS dua kali.
MK dalam putusannya menyebut bahwa pemilu serentak selama ini menimbulkan kelelahan luar biasa, tidak hanya bagi petugas KPPS, tapi juga bagi rakyat yang harus menelan ratusan nama caleg dalam satu surat suara sebesar kertas koran. Jadi, keputusan untuk memisahkan pemilu dianggap sebagai bentuk kasih sayang negara: agar rakyat bisa fokus memilih satu jenis pemimpin dalam satu waktu, dan tetap bisa berpikir jernih saat memilih jenis pemimpin lainnya dua tahun kemudian.
Putusan ini tentu membanggakan, terutama bagi mereka yang punya waktu luang untuk memahami perbedaan antara DPR, DPRD, dan DPD tanpa harus membuka Wikipedia.
Meski dari segi tata kelola demokrasi pemilu dua kali ini dianggap lebih efektif, dari segi anggaran dan logistik, negara bersiap untuk petualangan baru. Dua kali pengadaan logistik, dua kali honor KPPS, dua kali drama surat suara tertukar. Tapi tenang, ini semua demi kualitas demokrasi yang tidak murah—dan tentu saja tidak instan.
Bagi para caleg, ini kesempatan emas. Mereka punya dua kali momen kampanye, dua kali janji manis, dan dua kali peluang menggantungkan baliho di pohon mangga tetangga. Demokrasi tidak pernah semenarik ini sejak pemilu pertama kali dimulai.
Di lapisan terbawah dari semua diskusi hukum ini, ada rakyat biasa yang tidak terlalu pusing dengan jadwal pemilu. Yang mereka inginkan hanya satu: agar orang yang mereka pilih tidak menghilang setelah menang.
Namun kini mereka harus menghadapi dua kali pesta demokrasi. Dua kali mencetak undangan, dua kali mengenakan batik terbaik ke TPS, dan dua kali memasang senyum di hadapan petugas pencatat sidik jari yang kadang lebih teliti dari petugas imigrasi.
“Apa ini artinya kita bakal dapat dua libur nasional?” tanya seorang warga polos yang hanya berharap bisa tidur lebih lama tanpa alasan.
Menurut Perludem, keputusan MK ini bukan hanya soal teknis pemilu, tapi tentang masa depan demokrasi Indonesia. Revisi UU Pemilu dan Pilkada harus dimanfaatkan sebagai momen untuk memperbaiki sistem dari akar, bukan sekadar membagi jadwal menjadi dua. Tapi seperti biasa, idealisme ini akan berhadapan langsung dengan kenyataan politik: rapat-rapat yang ditunda, pembahasan yang molor, dan legislator yang lebih sibuk mengunggah konten TikTok ketimbang membaca draft undang-undang.
Tapi setidaknya, dengan pemilu yang kini dibagi dua, ada lebih banyak ruang untuk harapan, janji, dan tentu saja baliho baru.
Jika semua berjalan lancar, maka Pemilu 2029 akan jadi yang paling demokratis—dan juga paling melelahkan—dalam sejarah republik ini. Tapi jangan khawatir, Perludem dukung pemisahan pemilu nasional dan lokal 2029 bukan untuk bikin rakyat bingung, tapi agar bingungnya bertahap, sistematis, dan tetap dalam koridor hukum.
Siapkan energi, siapkan KTP, dan jangan lupa: TPS sekarang punya dua musim. Musim nasional dan musim lokal. Demokrasi kini berseri—dan bersambung.