![]() |
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (16/6/2025). © Fakhri Hermansyah/Antara |
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya, akhirnya buka suara soal putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Namun, alih-alih menyampaikan arah kebijakan atau roadmap yang jelas, Bima Arya memilih strategi andal pemerintah: kita pelajari dulu.
“Saya baru dapat informasinya. Kita pelajari lebih detail,” ujar Bima Arya, Kamis (26/6), sambil berdiri penuh wibawa di Kampus IPDN, tempat di mana birokrasi masa depan ditempa dengan penuh teori dan minim praktik.
Kalimat kita pelajari dulu ini dipercaya masyarakat sebagai manuver politik standar untuk mengulur waktu sampai rakyat lupa, atau setidaknya sampai jadwal rapat berikutnya muncul.
Mahkamah Konstitusi resmi memutuskan bahwa mulai tahun 2029, pemilu nasional dan pemilu daerah tidak akan lagi dilakukan serentak. Menurut putusan itu, pemilu nasional (DPR, DPD, Presiden/Wapres) akan dilakukan lebih dahulu, lalu dua tahun kemudian baru pemilu daerah (DPRD dan kepala daerah). Artinya, rakyat kini harus menyiapkan dua outfit berbeda untuk dua TPS berbeda, dan dua kali berpura-pura antusias di depan kamera TPS.
Putusan MK ini direspons hangat oleh segelintir orang yang benar-benar membaca berita hukum. Bagi sisanya, ini hanya berarti satu hal: tambahan kebingungan nasional yang disponsori oleh ketidakjelasan sistem demokrasi kita.
“Keputusan MK menjadi pandangan yuridis yang harus diperhatikan,” ujar Bima, menambahkan satu kalimat berbobot yang terdengar seperti kutipan dari buku panduan sidang skripsi jurusan Hukum Tata Negara.
Pemisahan jadwal pemilu sebetulnya sudah lama diwacanakan. Menurut Bima Arya, para akademisi, pakar, dan sekelompok elite diskusi WhatsApp sudah mengangkat isu ini berkali-kali. Namun seperti biasa, butuh lembaga sebesar MK untuk meyakinkan negara bahwa sesuatu yang sudah dibahas sejak 10 tahun lalu mungkin layak dieksekusi.
“Ini akan kita pertimbangkan dalam revisi UU Pemilu,” ujar Bima lagi, dalam nada yang menandakan bahwa pertimbangan adalah bentuk paling final dari semua komitmen politik di republik ini.
Sementara itu, rakyat masih sibuk menghitung berapa kali mereka harus mencetak KTP ulang agar bisa tetap ikut dua pemilu terpisah yang kemungkinan akan tetap penuh dengan baliho wajah senyum palsu.
Putusan MK yang membelah dua proses pemilu juga membuka peluang luar biasa untuk logistik negara. Dua kali pemilu berarti dua kali tender pengadaan, dua kali lembur petugas KPPS, dan tentu saja dua kali peluang terjadinya kekeliruan teknis yang bisa disalahkan pada force majeure.
Bagi politisi, ini seperti punya dua hari ulang tahun dalam setahun. Satu saat kampanye nasional, satu lagi saat kampanye lokal. Bagi rakyat? Ini seperti dapat dua undangan pesta tapi tetap tak ada makanan gratis.
Pemerintah melalui Bima Arya memastikan bahwa keputusan MK akan ditelaah. Penelaahan ini tentu saja akan melibatkan ahli hukum, ahli kopi, ahli ngeles, dan staf ahli bidang menunda-nunda. Semua pihak ini akan duduk bersama dalam forum yang disebut Rapat Koordinasi Tanpa Koordinasi untuk menentukan langkah selanjutnya.
“Kita letakkan dalam konteks revisi UU Pemilu,” tegas Bima, yang terdengar sangat konstitusional dan penuh pertimbangan—meskipun konteksnya belum terlalu jelas dan isinya masih berupa nanti kita lihat.
Putusan MK menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, jika tidak dimaknai ulang. Pemilu kini akan dilakukan dalam dua gelombang, dengan jeda waktu dua hingga dua setengah tahun, yang diharapkan bisa memperpanjang rasa lelah demokratis rakyat secara adil dan merata.
Putusan ini diajukan oleh Perludem, sebuah organisasi yang dengan semangat reformasi mendorong demokrasi lebih matang—dan berhasil membuat seluruh sistem jadi lebih kompleks, dengan niat yang sepenuhnya baik.
Di tengah semua diskusi serius ini, rakyat tetap menjalani hidup seperti biasa: bekerja keras, membayar pajak, dan akan tetap antre di TPS sambil selfie. Mereka tidak peduli apakah pemilu dipecah dua kali atau lima kali, selama tetap ada stiker “Saya sudah memilih” dan libur nasional.
“Yang penting TPS-nya deket sama warung kopi,” kata salah satu warga yang masih menyangka MK adalah singkatan dari Mie Kocok.
Dengan Bima Arya pelajari putusan MK soal pemisahan pemilu 2029, kita memasuki babak baru demokrasi yang makin teknis, makin rumit, dan makin tidak cocok untuk masyarakat yang hanya ingin satu hal: memilih pemimpin tanpa drama berkepanjangan.
Kalau memang pemilu dibagi dua, maka bolehlah sekalian dibagi per kuartal. Siapa tahu sistem negara bisa diatur seperti promo e-commerce: flash sale tiap tiga bulan.