Sungguh, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah adalah bukti bahwa bangsa ini tak pernah kehabisan ide untuk membuat demokrasi menjadi lebih melelahkan tapi tetap disebut "efektif". Dengan putusan bernomor 135/PUU-XXII/2024, warga negara Indonesia kini berhak ikut pemilu dua kali dalam lima tahun—sebuah prestasi stamina nasional yang layak dipertandingkan di Olimpiade Demokrasi.
Alih-alih menyederhanakan pemilihan, MK pisahkan pemilu nasional dan daerah dan menjadikannya dua hajatan politik terpisah, dengan jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun. Alasan utamanya? Agar warga negara tidak pusing dengan lima kertas suara. Tapi solusi yang ditawarkan adalah memecah kepusingan itu menjadi dua sesi: satu sesi untuk pusing memilih presiden, DPR, dan DPD; dan satu sesi lainnya untuk pusing kembali memilih gubernur, bupati/wali kota, dan DPRD. Dua kali datang ke TPS, dua kali dengar janji manis, dua kali lupa siapa yang dipilih.
Dalih dari para hakim MK terdengar sangat akademis—katanya, pemilu serentak selama ini terlalu membebani pemilih dan penyelenggara. Ya, memang benar. Tapi mengubah satu beban berat menjadi dua beban sedang tetaplah tidak menghapus rasa lelah. Itu seperti mengganti satu tas ransel 10 kg menjadi dua tas 5 kg, lalu berharap punggungmu tidak pegal.
Bagi para petugas pemilu yang selama ini kelelahan hingga meregang nyawa karena proses maraton satu hari lima surat suara, kini mereka harus bersiap menghadapi pemilu dalam dua babak. Siapa tahu, dengan membaginya jadi dua, angka kematian tidak nol, tapi hanya dibagi rata. Lelahnya tetap, nyawanya tetap taruhan, tapi setidaknya ada "jeda" untuk istirahat sebelum dilanjutkan ke sesi kedua.
Salah satu alasan utama MK pisahkan pemilu nasional dan daerah adalah demi menghindari kejenuhan pemilih. Katanya, jika terlalu sering disodori lima surat suara, warga akan asal coblos. Jadi, biar tak asal coblos, warga hanya dikasih tiga dulu. Nanti dua tahun kemudian, sisanya. Seperti membagi PR jadi dua hari, karena kita tahu, warga negara Indonesia sangat rajin mengerjakan PR bila tidak terlalu banyak.
Padahal, jenuh atau tidak, mayoritas pemilih tetap datang ke TPS karena rasa takut kehilangan hak pilih yang katanya "demokratis", bukan karena tahu siapa yang akan dipilih. Memisahkannya bukan berarti mereka akan lebih kenal kandidat. Mereka tetap akan mencoblos berdasarkan spanduk paling banyak atau siapa yang bagi sembako paling murah.
Yang lebih menarik, putusan MK ini membawa dampak sistemik pada sistem logistik pemilu. Bayangkan biaya yang sebelumnya dibakar habis dalam satu hari pesta demokrasi, kini dibakar dua kali. Mungkin ini strategi stimulus ekonomi baru. Pencetakan surat suara dua kali, distribusi dua kali, kampanye dua kali, dan tentu saja... anggaran negara dua kali.
Dan siapa yang mendapat berkah dari keputusan ini? Tentu saja bukan warga negara yang harus menyiapkan KTP dua kali untuk dicocokkan di TPS. Tapi mereka yang tahu bagaimana mengubah sistem menjadi ladang proyek: dari konsultan politik, vendor IT, percetakan surat suara, hingga industri baliho dan kaos oblong.
Para partai politik, kata hakim MK Arief Hidayat, kini harus lebih siap dalam merekrut kader. Ya, tentu saja. Karena jika tidak, mereka bisa kehabisan orang untuk dipasang sebagai calon legislatif dan calon kepala daerah. Tapi dalam praktiknya, siap-siap melihat peningkatan tajam dalam perekrutan berdasarkan satu syarat utama: mampu membiayai diri sendiri.
Dalam logika politik pragmatis, semakin sering pemilu, semakin besar peluang untuk transaksi. Kata Arief, ini bisa membuka ruang transaksional. Seolah-olah, selama ini ruang itu tertutup. Nyatanya, bukan ruangnya yang sempit, tapi justru sudah jadi mall dua lantai—tempat transaksi politik terjadi terang-terangan, bahkan bisa dicicil dan dapat diskon awal tahun.
MK pisahkan pemilu nasional dan daerah juga punya potensi memecah kesinambungan politik. Ini akan menimbulkan “fragmentasi politik”. Tapi bagi sebagian elite daerah, ini adalah berkah: panggungnya tak lagi tenggelam oleh hiruk pikuk pemilu presiden.
Kepala daerah bisa kampanye lebih maksimal. Mereka tak perlu bersaing panggung dengan capres dan caleg DPR RI. Hasilnya? Fokus pada pembangunan lokal. Atau lebih tepatnya: fokus pada bagaimana memenangkan pemilu lokal tanpa diganggu isu nasional. Tentu saja pembangunan tetap jadi janji kampanye, bukan jadi kenyataan.
Meski Mahkamah menekankan pentingnya peran warga negara, dalam dua kali pemilu ini posisi warga negara tetap sama: penonton yang datang, antri, nyoblos, lalu pulang dengan bingung siapa yang menang. Partisipasi meningkat? Mungkin. Tapi apakah pilihan warga negara lebih rasional? Itu urusan nanti. Yang penting sekarang adalah warga negara dilibatkan lebih banyak kali, walau tetap tidak lebih banyak dipahami.
Putusan MK pisahkan pemilu nasional dan daerah bisa sebagai momen “checks and balances”. Dua kali pemilu berarti dua kali cek, dua kali balance. Tapi bagi pemilih, ini bisa jadi dua kali tekanan darah naik saat menonton debat calon atau membaca brosur kampanye yang desainnya selalu norak dan minim isi.
Kini semua pihak menyerukan revisi undang-undang. DPR, pemerintah, KPU, dan Kemendagri seperti baru sadar bahwa mengubah format pemilu bukan sekadar membaca putusan MK. Ini seperti membeli kulkas baru lalu bingung kenapa colokannya beda. Akhirnya harus bongkar instalasi rumah.
Kementerian Dalam Negeri pun menyebut perlu ada “sinkronisasi regulasi”. Bahasa kerennya. Bahasa jujurnya: revisi ulang semua undang-undang, koordinasi lagi, tarik ulur lagi, dan tentu saja—rapat kerja berulang dengan biaya perjalanan dinas yang tak kalah menggiurkan.
Putusan MK pisahkan pemilu nasional dan daerah bisa saja dianggap solusi. Tapi bisa juga dianggap jebakan baru bagi demokrasi setengah matang yang belum selesai belajar berjalan. Dua kali pemilu bukan berarti dua kali lebih demokratis. Bisa jadi justru dua kali lebih bingung, dua kali lebih mahal, dan dua kali lebih mudah dimanipulasi.
Tapi siapa yang peduli? Toh yang penting, semua pihak bisa mengklaim bahwa mereka memperjuangkan hak suara warga negara. Warga negara? Tetap sibuk antre di TPS, sekali untuk presiden yang belum tentu dikenal, dan sekali lagi untuk calon kepala daerah yang baliho-nya lebih banyak dari prestasinya.
Karena pada akhirnya, demokrasi di negeri ini bukan soal memilih yang terbaik, tapi tentang mengikuti prosedur dan berharap yang terpilih tidak terlalu buruk.