![]() |
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra. © Muhammad Adimaja/Antara |
Kabar gembira bagi rakyat Indonesia: Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengubah wajah pemilu serentak yang selama ini terlalu menguras tenaga dan air mata. Mulai 2029, kita tak lagi dipaksa mencoblos lima kotak dalam satu hari seperti sedang mengikuti ujian negara. Ya, MK ubah pemilu serentak menjadi dua gelombang agar kita bisa mencoblos dengan tenang, nyaman, dan tentu saja penuh semangat nasionalisme—dalam dua tahap yang terpisah jauh. Karena tak ada yang lebih demokratis selain mencoblos sambil menunggu dua tahun berikutnya untuk mencoblos lagi.
Siapa sangka, kelelahan rakyat ternyata penting juga. Putusan MK ini lahir dari gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang selama ini rajin memperhatikan nasib rakyat di balik bilik suara. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa model lima kotak suara itu—yang katanya—mencederai kualitas demokrasi dan bahkan kemanusiaan.
Fokus pemilih, kata Wakil Ketua MK Saldi Isra, terlalu terpecah. Wajar. Memilih Presiden, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam satu hari memang bukan urusan remeh. Bayangkan saja memilih lima pasangan sekaligus di satu resepsi pernikahan—tentu melelahkan dan membingungkan. Kini, kita bisa bernapas lega.
MK juga memperhatikan nasib para petugas KPPS yang selama ini harus kerja ekstra dan bahkan ada yang tumbang. Kita tentu tak ingin demokrasi merenggut nyawa demi kertas suara. Karena itu, MK ubah pemilu serentak menjadi dua gelombang, agar penyelenggara bisa kerja santai dan tak harus begadang sampai subuh sambil menghitung suara yang tak kunjung selesai.
Hakim Arief Hidayat bahkan menyebutkan bahwa sistem lima kotak membuat masa jabatan penyelenggara jadi tidak efisien. Tentu kita setuju: kalau tidak bisa kerja penuh waktu, lebih baik dibagi dua saja. Siapa tahu, demokrasi bisa lebih hemat dan efisien seperti janji-janji kampanye yang tak pernah usang itu.
Satu lagi keuntungan luar biasa dari perubahan ini: isu daerah akan kembali punya panggung. Selama ini, ketika pemilihan DPRD dan kepala daerah digabung dengan pemilu presiden, urusan lokal hanya jadi figuran dalam drama besar nasional. Kini, dengan sistem dua gelombang, kita bisa fokus penuh pada janji perbaikan drainase, lampu jalan, dan taman kota yang sering dijanjikan tapi jarang diwujudkan.
Kita patut bersyukur. Setidaknya kali ini, pemilu daerah tidak lagi terselip seperti bumbu pelengkap di balik megahnya panggung nasional. Akhirnya, rakyat bisa lebih jeli menilai: mana caleg yang benar-benar peduli daerah, dan mana yang hanya sekadar pajangan baliho.
Sesuai putusan MK, Pemilu Nasional akan digelar lebih dulu untuk memilih Presiden, DPD, dan DPR. Setelah itu, Pemilu Daerah menyusul dalam jeda waktu dua hingga dua setengah tahun. Artinya, rakyat akan lebih rajin ke TPS dua kali dalam lima tahun, dengan jeda cukup panjang untuk melupakan trauma coblosan sebelumnya.
Sistem ini tidak hanya memberi waktu kepada pemilih, tetapi juga membuka peluang bagi partai politik untuk berbenah—atau paling tidak berpura-pura berbenah. Dengan waktu luang itu, mereka bisa mencari kader berkualitas, atau kalau terlalu susah, paling tidak mencari yang viral di TikTok.
Dengan pemilu yang terpisah jauh, kita tidak hanya akan lebih tenang memilih, tetapi juga punya banyak waktu untuk melihat siapa yang gagal memimpin dan siapa yang jago bikin konten. Dengan begitu, keputusan di TPS bisa lebih berbasis kinerja, bukan sekadar popularitas musiman.
Tentu saja, sistem baru ini juga memberi peluang pada pemerintah untuk lebih bersiap diri. Kalau gagal di tingkat nasional, masih bisa berharap di daerah. Atau sebaliknya. Lagipula, rakyat Indonesia dikenal pemaaf, apalagi kalau diberi kaos, sembako, dan janji perbaikan jalan.
Menariknya, MK tak ikut campur dalam masa transisi kepala daerah dan anggota DPRD hasil pemilu 2024. Semuanya diserahkan pada pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah. Karena memang di negeri ini, yang paling ahli soal masa depan adalah mereka yang paling lihai menunda-nunda keputusan.
Sambil menunggu aturan baru, rakyat diminta bersabar. Jangan salahkan kalau nanti tiba-tiba ada perpanjangan jabatan atau pengangkatan tanpa pemilu. Ingat, semua demi efisiensi dan kestabilan demokrasi.
Dengan MK ubah pemilu serentak jadi dua gelombang, kita akhirnya bisa tidur lebih nyenyak di malam hari sebelum pemilu. Tak perlu lagi khawatir mencoblos sampai bingung atau petugas KPPS tumbang kelelahan. Demokrasi akhirnya belajar: bahwa memilih pemimpin tidak harus seperti lari maraton sambil menghitung lima kertas suara.
Dan untuk mereka yang kangen dengan pemilu lima kotak—tenang saja. Di Indonesia, apa pun bisa berubah. Termasuk keputusan MK, asal momentum politik dan opini publik mendukung. Untuk saat ini, mari rayakan pemilu yang katanya lebih manusiawi, lebih berkualitas, dan tentu saja... lebih sabar menunggu.