Di dunia yang semakin terobsesi dengan sabun antibakteri dan tisu basah aromaterapi, masyarakat di Kecamatan Air Hangat, Kabupaten Kerinci, punya cara tersendiri untuk membersihkan diri: mereka ramai-ramai mandi di sungai sambil disiram air jeruk limau. Ini bukan semata aktivitas spontan warga yang bosan dengan air PDAM, melainkan bagian dari tradisi Mandi Balimau, prosesi sakral yang menjadi bagian dari upacara adat Kenduri Sko—sebuah perayaan lima tahunan yang menggabungkan spiritualitas, nostalgia, dan jeruk.
Ribuan warga dari Desa Sawahan Jaya, Desa Air Tenang, dan Desa Koto Baru tidak sekadar menyambut air mengalir, tapi juga menyambut kesempatan untuk “disucikan” oleh para tetua adat yang berdiri gagah di atas panggung, menyiram air limau dengan gaya yang, kalau diperlombakan, bisa masuk cabang atletik tradisional.
Menurut Kepala Desa Koto Baru, Heri Purwanto, tradisi Mandi Balimau ini bukan hanya ajang guyuran massal. Ini adalah upaya “penyucian diri,” mempererat persatuan masyarakat, dan bonusnya—membawa kesembuhan dari penyakit. Sebuah klaim yang cukup ambisius, mengingat dunia kedokteran belum secara resmi memasukkan “air limau siraman tetua” dalam daftar metode penyembuhan.
Jeruk limau, buah kecil yang biasanya hanya jadi teman sambal, naik pangkat jadi alat pembersih spiritual. Dalam tradisi Mandi Balimau, air jeruk limau bukan lagi sekadar cairan asam, melainkan perantara gaib untuk menghapus dosa dan mengusir penyakit. Tidak heran jika peserta tampak begitu khusyuk ketika air itu menyentuh kulit mereka—mungkin antara percaya sedang disucikan atau takut mata pedih.
Namun jangan salah, ini bukan praktik sembarangan. Air yang disiram oleh tetua adat bukan hasil racikan GrabKitchen. Air ini melewati tahap seleksi adat yang tak kalah kompleks dari ujian masuk CPNS. Masyarakat percaya, saat air bercampur limau menyentuh tubuh, ada energi leluhur yang ikut meluruhkan beban hidup, tagihan listrik, dan mantan yang belum move on.
Mandi Balimau hanya bagian dari kemeriahan Kenduri Sko, sebuah upacara adat yang diadakan setiap lima tahun sekali. Jika tahun politik saja muncul lima tahunan dan sudah begitu riuh, maka Kenduri Sko tak mau kalah. Bedanya, Kenduri ini tidak menyuguhkan janji kampanye, melainkan siraman limau dan doa adat.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi bagi masyarakat Kerinci, itu justru menciptakan rasa rindu yang mendalam. Seolah-olah tubuh dan jiwa benar-benar menantikan waktu untuk dibersihkan dengan gaya adat. Bayangkan saja: kita mandi setiap hari, tapi tetap merasa kotor. Tapi kalau sudah disiram air limau oleh tetua adat, entah kenapa semuanya terasa lebih ringan. Mungkin ini bukti bahwa rasa bersih juga bisa datang dari rasa hormat kepada tradisi.
Amelia, salah satu warga yang ikut dalam prosesi, menyatakan kebanggaannya bisa ikut tradisi Mandi Balimau. Katanya, ini bukan hanya soal mandi, tapi tentang menyatu dengan leluhur. Sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa ketika tubuh dan jiwa disiram bareng-bareng di sungai, ada semacam upgrade spiritual yang tak bisa ditemukan di spa mewah Jakarta.
Apakah ini berarti masyarakat Kerinci lebih spiritual daripada warga kota? Tidak juga. Mereka hanya punya cara yang lebih wangi dan meriah dalam mengelola dosa dan silaturahmi.
Dari sisi luar, tradisi Mandi Balimau bisa tampak seperti festival basah-basahan. Tapi di balik tawa dan guyuran air limau, ada nilai kolektif yang kuat. Ini bukan mandi biasa. Ini adalah prosesi yang menyatukan warga dari berbagai usia, status, dan latar belakang—semuanya berkumpul dalam satu sungai untuk menjalani ritual penyucian diri secara komunal.
Kita hidup di zaman ketika individualisme semakin merajalela. Tapi dalam tradisi ini, kita melihat betapa kuatnya nilai kebersamaan. Tidak ada kelas ekonomi dalam sungai. Semuanya basah bersama. Dosa besar atau kecil, semuanya disiram dengan air jeruk yang sama.
![]() |
Para Ninik Mamak memercikkan air limau kepada warga dalam tradisi Mandi Balimau di aliran Sungai Batang Merao, Desa Air Tenang, Kerinci, Jambi, Kamis (26/6/2025). © Wahdi Septiawan/Antara |
Kepala desa menyebut bahwa tradisi ini juga bisa membawa kesembuhan dari penyakit. Sebuah klaim yang menarik untuk diteliti lebih lanjut oleh WHO. Tapi untuk sementara, kita terima saja bahwa kadang tubuh lebih cepat sembuh jika merasa diperhatikan dan dihargai oleh komunitas.
Dan memang, siapa tahu air limau yang disiram oleh pemangku adat mengandung zat ajaib yang belum ditemukan oleh laboratorium barat. Atau bisa jadi, semua ini hanya efek placebo yang sangat lokal dan sangat menyenangkan.
Di tengah dunia modern yang mengandalkan sabun antibakteri, gel pembersih tangan, dan essential oil aroma lavender, tradisi Mandi Balimau hadir sebagai pengingat bahwa kadang air sungai dan sedikit jeruk limau cukup untuk merasa “bersih.” Bukan hanya bersih secara fisik, tapi juga secara sosial dan spiritual.
Tradisi ini menolak tunduk pada industrialisasi kebersihan. Ia bertahan sebagai manifestasi budaya yang percaya bahwa kesucian tidak selalu datang dari botol plastik dan label "dermatologically tested." Kadang, cukup dari seember air jeruk dan doa penuh niat baik.
Lebih dari sekadar ritual, tradisi Mandi Balimau adalah metafora hidup. Bahwa kita, sebagai masyarakat, harus siap dibasahi bersama, dibersihkan bersama, dan kalau perlu—dikerok bersama dari dosa sosial yang menumpuk. Karena pada akhirnya, budaya bukan hanya soal warisan, tapi tentang bagaimana kita menyentuh air yang sama dan keluar sebagai manusia yang (minimal) lebih segar dari sebelumnya—tidak seperti Bahlil.
Mungkin tidak semua dosa bisa luruh oleh air limau. Tapi jika itu cukup untuk membuat kita merasa bersatu, maka tradisi ini layak dirayakan. Dan siapa tahu, di tengah semua guyuran itu, ada beberapa luka yang sembuh, beberapa dendam yang larut, dan beberapa ketawa kecil yang membuat hidup terasa manusiawi lagi.
Dan sungai pun mengalir, membawa air, jeruk, dan mungkin—sedikit-sedikit—pengampunan.